Trending Topic
Ekonom: Perkawinan Anak Bisa Gagalkan Keuntungan Bonus Demografi

4 Jul 2018


Anak-anak butuh sekolah, bukan menikah. (Foto: Pixabay)
 
Data UNICEF menyebutkan bahwa setiap hari ada 41.000 anak di dunia yang dipaksa menikah. Jika tidak diantisipasi, maka pada tahun 2030 akan ada lebih dari 150 juta anak perempuan yang menjadi pengantin anak (UNICEF 2018).

Girls Not Brides, kemitraan global yang berkomitmen mengakhiri perkawinan anak mencatat Indonesia sebagai salah satu dari 20 negara dengan jumlah perkawinan anak tertinggi di dunia. Indonesia berada di urutan ke-8 dengan angka absolut perkawinan anak 1.459.000!
 
Masih segar dalam ingatan berita viral rencana perkawinan dua siswa SMP di Bantaeng, Makassar, di pertengahan April lalu. Menyusul pada bulan Mei, berita perkawinan siswi SD dengan pemuda usia 21 tahun yang terpaksa batal karena penghulu takut terjerat hukum.
 
Drama perkawinan anak ini tidak hanya berpotensi melanggar hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kultural anak-anak, tapi juga berpotensi menggagalkan keuntungan bonus demografi di tahun 2030 yang hendak diraih Indonesia.
 
World Bank meramalkan usaha setengah hati dalam menghapuskan perkawinan anak bisa menimbulkan kerugian ekonomi dunia dengan nilai mencapai US$4 triliun! Di Indonesia sendiri, setidaknya, kerugian ekonomi akibat perkawinan anak ini akan mencapai 1% di atas nilai GDP!
 
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara, menjelaskan implikasi nyata dari ramalan kerugian ekonomi yang dipaparkan oleh World Bank di atas.
 
“Implikasi paling sederhana bisa dilihat dari rendahnya kualitas tenaga kerja,” ungkap ekonom muda yang kajiannya sering menjadi referensi kebijakan publik pemerintah ini.
 
Survei BPS (2017) mengungkap bahwa saat ini 60% angkatan kerja di Indonesia hanya berbekal pendidikan SMP, atau lebih rendah. Perkawinan anak menjadi salah satu penyumbang penting terhadap figur tenaga kerja ini.
 

“Apabila usia SMP atau SD sudah menikah, maka kesempatan untuk mencapai jenjang pendidikan lebih tinggi sangat kecil. Ini membuahkan angkatan kerja yang tidak memiliki bekal pendidikan tinggi atau keahlian dan kompetensi yang mumpuni untuk bersaing di persaingan kerja yang kompetitif baik di dalam maupun luar negeri,” jelas pria yang kajian ekonomi globalnya sering menjadi referensi banyak media internasional ini.

 
Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia oleh BPS dan UNICEF yang rilis pada tahun 2016 mengungkap bahwa anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun memiliki tingkat pencapaian pendidikan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak perempuan yang belum menikah, khususnya setelah sekolah dasar (SD).
 
Hasil studi yang dirangkum dari data Susenas (2008-2012) dan Sensus Penduduk 2010 itu juga mengungkap bahwa sepertiga lebih perempuan (usia 15-19 tahun) yang pernah menikah melaporkan Sekolah Dasar (SD) sebagai tingkat pencapaian tertinggi mereka.
 
Tingkat partisipasi sekolah remaja perempuan usia 15-19 tahun yang belum menikah sekitar 11 kali lebih tinggi dibandingkan perempuan usia 15-19 tahun yang sudah menikah. (Kemajuan yang Tertunda: Analisis Data Perkawinan Usia Anakdi Indonesia, 2016) / Foto: Pixabay.

Padahal saat ini Indonesia tengah mendorong pertumbuhan ekonomi digital yang membutuhkan tenaga-tenaga terlatih spesifik. Di antaranya para ahli TI, big data, bahasa pemograman, dan banyak lagi. Semua membutuhkan kualifikasi pendidikan dan keahlian yang tinggi.
 
Bekal pendidikan yang rendah dan minimnya keterampilan menyebabkan banyak dari mereka yang menikah muda terjebak sebagai tenaga kasar di sektor informal dengan upah minim. Alhasil, tidak sedikit dari pasangan perkawinan anak ini yang masih mendompleng penghidupan mereka kepada orang tua.
 
“Kontribusi sektor informal terhadap ekonomi tidak sebesar sektor formal. Jaminan kesejahteraan dan sosial pekerja sektor informal tidak sebaik mereka yang bekerja di sektor formal. Tidak ada jaminan pensiun, asuransi kesehatan kerja, dan banyak lagi lainnya. Pada akhirnya ini berdampak pada kesejahteraan umum di Indonesia dan berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi Indonesia secara nasional,” papar Bhima.
 
Tidak kompetitifnya pekerja Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri, ini berdampak pada rendahnya indeks pembangunan manusia atau Human Development Index (HDI). Indonesia berada di urutan 111 dari 182 negara, dan berada di urutan ke-6 dari 10 negara ASEAN.
 
“Kondisi ini tentunya sangat tidak menarik di mata investor. Sehingga, banyak investor asing yang memindahkan lokasi pabrik atau perusahaan mereka ke negara-negara lain, seperti Vietnam karena Indonesia tidak menyediakan sumber daya manusia yang mumpuni,” lanjut Bhima.
 
Potensi menurunnya produktivitas tenaga kerja akibat perkawinan anak ini secara nasional akan berdampak pada pendapatan per kapita Indonesia yang saat ini berada di kisaran US$3.000 per tahun.
 
“Pendapatan per kapita kita tidak naik, hanya di angka itu-itu saja. Ini akan membuat Indonesia terjebak dalam kelas ekonomi menengah dengan daya beli yang tidak menguat,” jelas peraih gelar Master dari University of Bradford, Inggris, ini.
 
Semua kerugian di berbagai bidang yang saling berkelindan ini pada akhirnya akan menyebabkan lambatnya pertumbuhan ekonomi secara nasional yang digambarkan dengan angka GDP.

Bhima mengatakan bahwa saat ini pertumbuhan GDP Indonesia baru berkisar 5% per tahun. Sementara, untuk bisa keluar dari jeratan kelas ekonomi menengah dan meraup bonus demografi di tahun 2030, maka pertumbuhan GDP Indonesia harus mencapai 7% per tahun.
 
Keuntungan bonus demografi ini tentunya akan sangat sulit terwujud jika Indonesia gagal melahirkan generasi unggul sebagai konsekuensi buruk dari praktik perkawinan anak.

Memang, saat ini tren perkawinan anak di Indonesia sudah menurun secara signifikan, dari 1000 anak perempuan per hari (statistik BPS, 2000), menjadi sekitar 375 anak perempuan per hari (statistik BPS, 2016). Namun, pencapaian ini hendaknya tidak membuat kita terlena. Pemerintah bersama segenap unsur bangsa harus terus berkolaborasi untuk menghapus perkawinan anak yang juga menjadi target pencapaian ke-5 dari Sustainable Development Goals (SDGs) ini di tahun 2030. (f)

Baca juga
Menghitung Kerugian Ekonomi Indonesia Akibat Perkawinan Anak
Anak Butuh Sekolah Bukan Menikah
Fakta: 11.765 Anak Menikah di Bawah Umur
Fenomena Nikah Muda, Ini Usia Ideal Menikah Menurut Psikolog


Topic

#pernikahananak, #perkawinananak, #isugender

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?