Trending Topic
Anak Butuh Sekolah Bukan Menikah

23 Mar 2018


Anak berhak mendapatkan semua hak dasarnya, termasuk bersekolah. (Foto: Pixabay)


Di Indonesia, setiap jam 16 anak perempuan di bawah usia 18 tahun menikah. Tidak heran jika fakta ini membawa nama Indonesia duduk di urutan ke-7, sebagai negara dengan jumlah angka perkawinan anak terbesar di dunia.

Berada di daftar 10 besar, dalam hal ini, tentu bukan sebuah prestasi. Tapi merupakan tanda bahaya yang berpotensi menggagalkan delapan gol pembangunan berkelanjutan atau SDGs.
 
Perkawinan dini juga berpotensi pada hilangnya kesempatan Indonesia untuk meraup keuntungan dari bonus demografi. Sebab, banyak dari wanita muda Indonesia yang gagal berkontribusi maksimal karena tidak memiliki pendidikan dan keterampilan cukup karena putus sekolah.
 
“Teman-teman saya keluar saat sudah kelas 2 SMA, dan ada yang tidak lulus SMP. Mereka tidak bisa kembali ke sekolah karena di desa hal ini masih dianggap sebagai aib. Mereka sulit mendapat pekerjaan karena putus sekolah dan tidak punya keahlian,” kisah Nurul Indriyani, Founder Yayasan Plan International Indonesia.

Kisahnya ini terangkat di acara diskusi bahaya dampak perkawinan anak #AKSIuntuk1JutaAnakIndonesia pada Rabu (21/03), di Jakarta.
 
Nurul yang menjadi anak asuh Plan International sejak tahun 2005 ini mengatakan, di desanya, di Grobogan, Jawa Tengah, menikahkan anak di usia muda diharapkan bisa meningkatkan kehidupan ekonomi keluarga. Padahal, yang terjadi justru sebaliknya!
 
Hasil survei kecil-kecilan yang dilakukan Nurul di desanya mengungkap bahwa tiga dari empat anak perempuan yang sudah menikah ternyata masih bergantung pada orang tua.

Hidup mereka susah, kerepotan mengurus anak, dan rentan menjadi korban kekerasan sebagai akibat dari kurang matangnya sisi emosinal mereka.
 
“Ada juga yang keguguran karena alat reproduksinya belum siap, bayi lahir cacat, atau meninggal di kandungan. Ini semua dampak buruk pernikahan anak yang saya lihat dan saya rasakan sendiri. Sebab, ibu saya pun menikah di usia anak,” lanjut Nurul yang juga lahir dari pernikahan anak.

Ibunya baru berusia 15 tahun saat menikah, dan melahirkan dirinya di usia 16 tahun. Nurul merasakan sendiri betapa berbagai kompleksitas hidup yang harus dihadapi oleh ibunya. Ia tak ingin segala dampak buruk ini berulang dan merenggut masa depan anak-anak perempuan lainnya.
 
Sedihnya lagi, perkawinan anak ini seolah “dilegalkan” oleh pemerintah. Undang-Undang Perkawinan No.1/1974 mensyaratkan usia perkawinan 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Itu pun masih bisa ditawar melalui mekanisme dispensasi nikah untuk mereka yang berusia di bawah 16 tahun!
 

Data statistik pengadilan agama di tahun 2014 saja telah mencatat adanya 11.765 putusan pengadilan agama yang mengizinkan anak di bawah usia 16 tahun untuk menikah dengan dispensasi. Mirisnya lagi, 2/3 dari jumlah tersebut berakhir dengan perceraian!

(Sumber data: Wahyu Widiana, Mantan Direktur Badan Peradilan Agama Jakarta).  

 
Ketakutan bahwa anak akan berbuat zina dan mendatangkan aib bagi keluarga menjadi alasan utama. Alasan zina ini pula yang membuat upaya judicial review untuk menaikkan usia perkawinan untuk anak perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun kalah di Mahkamah Konstitusi di tahun 2015.
 
Aktivis gender Hannah Al Rashid mengatakan bahwa adanya inkonsistensi hukum ini jelas ikut berkontribusi pada tingginya angka perkawinan anak di Indonesia. Ia juga tidak setuju jika alasan zina menjadi kambing hitam yang membuat anak-anak perempuan terpaksa kehilangan masa depannya karena menikah muda.
 
“Dari 372 perkawinan di bawah usia 19 tahun, hanya sekitar 30% yang dikarenakan hamil di luar nikah,” ungkap Hannah menyitir hasil penelitian yang berlangsung di Pacitan, Jawa Timur, dari Januari hingga Oktober 2017.
 
Alasan budaya dan berbagai stigma yang ditujukan pada anak perempuan justru menjadi penyebab utamanya. Di antaranya, seperti kebanggaan orang tua ketika anak perempuan mereka dilamar orang di usia yang masih belia. Atau adanya stigma perawan tua, ketika seorang gadis belum menikah di usia 20 tahun.
 
Hannah sangat menyesalkan, bahwa hingga saat ini banyak orang memandang isu perkawinan anak sebatas upaya pencegahan zina. Seolah-olah bahwa perkawinan hanyalah upaya melegalisasikan seks.

Padahal, ada banyak isu yang lebih kompleks dalam perkawinan yang tidak hanya menuntut kedewasaan dan kesiapan mental, tapi juga isu kesehatan dan kesiapan organ reproduksi anak.
 
“Ketika kita berhasil menghentikan perkawinan anak, kita bisa mencapai delapan gol dari SDGs. Bahkan, ketika kita bisa menunda perkawinan anak hingga beberapa tahun saja (18 tahun), kita bisa mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 1,7% dari GDP,” ungkap Hannah berharap bahwa ada aksi nyata dari political will pemerintah dan usaha kita semua untuk terus mengkampanyekan “Stop Perkawinan Anak”. Anak butuh sekolah, bukan menikah! (f)

Baca juga:
Fenomena Nikah Muda, Ini Usia Ideal Menikah Menurut Psikolog
Fakta: 11.765 Anak Menikah di Bawah Umur
'Mengintip' Perkawinan Anak di Negara Lain

 


Topic

#Pendidikan

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?