Fiction
Titi Wangsa [3]

29 Mar 2012

<<< Cerita Sebelumnya

Pak Yadi adalah sosok seorang pria bertubuh mungil, sedikit bungkuk, dan rambutnya telah memutih semua. Nicholas menaksir, usia pria itu lebih dari setengah abad. Mereka duduk mengobrol ditemani secangkir teh hangat, sekadar untuk mengusir penat yang tiba-tiba menyergap di awal hari itu.

“Sudah lama bekerja di museum ini, Pak?” tanya Nicholas, memulai investigasinya dengan gaya yang lebih manusiawi.

“Wah… sudah lama, Pak. Sejak saya masih muda pun, saya sering bantu-bantu almarhum bapak saya di sini. Dulu saya narik becak, tapi setelah Bapak meninggal dunia dan saya sudah tak kuat narik lagi, maka saya menggantikan posisi Bapak sebagai tukang bersih-bersih di sini,” jelas Pak Yadi, panjang lebar.

“Berarti, Bapak tahu persis koleksi museum ini?”

“Bisa dibilang begitu.” Pria tua itu mengangguk.

Entah bagaimana, instingnya membisikkan bahwa pria itu tahu lebih banyak tentang kondisi museum, termasuk rahasia-rahasia kotor para pengurus di dalamnya. Tapi, itu nanti. Yang terpenting sekarang mencari tahu kronologi kejadian.

“Bisa ceritakan, Pak, bagaimana Bapak bisa tahu kedua benda itu telah hilang dari teras museum?”

“Yah, pagi ini seperti biasa, saya datang pukul 05.30. Istri saya buka warung di seberang jalan itu, Pak. Jadi, tiap pagi saya bantu dia. Kalau sudah selesai, saya baru pergi ke museum untuk bersih-bersih. Sebenarnya, sampah di tempat ini tak begitu banyak seperti yang Bapak lihat. Paling-paling hanya membersihkan daun-daun kering atau rumput kering. Tapi, kalau Senin pagi seperti ini, agak beda, Pak,” kata Pak Yadi, panjang lebar.

“Bedanya?’

“Bila Senin pagi seperti ini, saya harus kerja ekstra Pak. Soalnya, sampahnya lebih banyak dibandingkan hari-hari biasa. Maklum, bila malam Minggu, halaman museum ini sering digunakan sebagai tempat nongkrong muda-mudi. Dan, mereka suka buang sampah sembarangan, seperti minuman kaleng atau puntung rokok.”

Nicholas kaget mendengar fakta mengejutkan itu. Bagaimana mungkin pihak pengelola membiarkan museum bebas terekspos dan bahkan menjadi area publik? Padahal, museum ini menyimpan ratusan bahkan mungkin ribuan peninggalan kuno bernilai ratusan juta.

Nicholas mengedarkan pandang ke area seputar museum. Memang tak ada pintu gerbang yang bisa memisahkan museum dari area publik di luar sana. Museum ini dibangun di area terbuka yang langsung berbatasan dengan jalan raya. Tak heran bila masyarakat kerap memanfaatkan halaman museum yang luas sebagai tempat nongkrong, sebab mereka bisa bebas keluar-masuk!

“Hmmm... riskan sekali,” gumam Nicholas, sambil menyeruput teh hangatnya.

Baru ia sadari, bangunan warung tenda tempat mereka me­ngobrol sekarang ini pun masih berada di satu kompleks dengan museum!

Bisa-bisanya sebuah museum yang menyimpan peninggalan kuno dibiarkan bebas terekspos seperti ini! Pikir Nicholas, gemas.

“Selanjutnya bagaimana, Pak?”

“Biasanya saya mulai menyapu dari teras museum terlebih dulu. Setelah itu, baru menyapu halaman dan mencabuti rumput kering kalau ada. Nah, pagi ini, saya juga memulai rutinitas seperti biasa. Saya menyapu teras mulai dari sisi timur, sisi yang berseberangan dengan lokasi kedua patung itu.”

Nicholas mengangguk, bisa membayangkan bagaimana pria tua itu menyapu teras museum yang tak seberapa luas dengan sapu. Debu-debu beterbangan ke udara, seperti tahun-tahun kehidupan yang telah berlalu meninggalkannya.

“Mendekati teras sisi barat museum, barulah saya melihat kejanggalan itu. Kedua patung itu….”

“Patung apa, Pak? Rama dan Sinta?”

“Bukan, Pak. Rama dan Sinta hanya ada di pewayangan, jarang berwujud patung. Patung itu Agastya dan Nandiswara,” tukas Pak Yadi cepat, seraya menatapnya keheranan, seolah dia makhluk paling bodoh di muka bumi ini. “Kedua patung itu masih di sana, tetapi tanpa kepala.”

“Tanpa kepala?” ulang Nicholas takjub. Si pencuri ini gila atau bagaimana, bisa-bisanya hanya mencuri sepotong kepala patung?!

“Ya. Bapak nanti bisa lihat sendiri di sana. Saat tahu kepala patung itu hilang, saya langsung lapor ke pos polisi di sana itu. Kebetulan, pos polisi hanya berjarak 200 meter dari museum.”

“Seingat Bapak, ada keanehan atau tidak pada hari Minggu?”

“Pada hari Minggu itu, museum tutup seperti biasa, yaitu pukul 16.00. Pengunjung lumayan banyak. Tapi, tak ada yang janggal. Biasanya yang menutup museum itu Mas Antok.”

“Mas Antok? Ada berapa pegawai yang setiap hari datang ke museum, Pak?”

“Yang resmi hanya tiga orang. Bapak Kartoyo, kepala museum ini. Ada Mas Antok, asistennya Bapak Kartoyo. Mas Erik, yang suka jelasin ke pengunjung. Kadang-kadang ada mahasiswa magang yang ikut bantu-bantu di museum.”

Alexandra menelusuri kembali catatan yang disimpannya di laptop. Temuannya kemarin benar-benar menarik hatinya. Kemarin dia telah bicara dengan sang kurator museum, Erik. Erik telah menjelaskan seluruh fakta tentang museum, meli­puti pengelolaan, struktur organisasi, dan seluruh aset yang dimiliki oleh museum.

Rasanya, tidak ada yang salah, kecuali fakta bahwa museum sudah kali kedua ini mengalami pencurian. Usaha pencurian pertama terjadi sekitar tiga tahun lalu, namun gagal. Para pencuri meninggalkan barang-barang curiannya –patung Agastya dan Nandiswara– teronggok begitu saja di halaman samping museum. Mungkinkah seseorang memergoki mereka? Atau, karena kele-lahan menggotong patung-patung itu, akhirnya sang pencuri menyerah? Tak ada yang tahu pasti. Baru pada aksi kedua ini, sang pencuri berhasil menggondol kepala patung Agastya dan Nandiswara.


Penulis: Astrid Prihatini WD


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?