Fiction
Tarian Merpati [6]

15 Jun 2012


<<<<  Cerita Sebelumnya

Sebentar… aku mulai merasa nyaman. Karena aku melihat sebuah sofa di sudut, berlapis kain halus dan bermotif kotak-kotak, lapang, lembut, dan hangat bagai sebuah buaian yang tak pernah letih. Karpet tebal merah muda yang terhampat di bawahnya adalah tempatku bercanda dengan Papa. Aku pernah begitu memuja ruangan tengah ini. Aku bisa bergelung di dalamnya sambil menitipkan kepenatan. Tetapi tunggu, ada sebuah sudut yang tak ingin kuingat. Sudut yang memunculkan rasa perih yang tak asing. Namun, aku tak bisa menghindar darinya.

Lihatlah sudut itu Rey, lihatlah! Kenali rasa perih itu, selami amarah itu. berdamailah dengan trauma itu, lalu bangkitlah!

Aku tumbuh oleh trauma demi trauma, dan selimutku adalah mimpi buruk. Aku tak bisa berpaling.

Tetapi, sudut itu… baiklah, akan kucoba. Aku mengingat sebuah balai-balai dari kayu jati, sandaran dan pegangannya sarat ukiran. Tetapi, tidak! Aku ingat kain pelapisnya yang kusut suatu saat, dan bantal-bantal kecil yang… oh! Mimpi-mimpi buruk itu kembali mencekikku. Leherku tercekik, dadaku sesak. Mataku penat oleh gemuruh yang datang bergelombang. Pusaran dingin menjebakku, menghempaskanku dalam sebuah labirin yang tak asing. Aku terjatuh dalam jurang tanpa dasar. Begitu gelap. Begitu cepat tubuhku menghunjam.

“Rey! Rey!” suara Valerie terdengar sangat cemas. Tangannya mengguncang-guncang tubuhku. Keringat dingin mengguyur setiap celah pori-pori. Tubuhku luruh dalam derai tangis. Tangan Val yang lembut menarikku ke dalam rengkuhannya.

“Apa yang kau lihat, Rey? Apa yang kau ingat?” tangan Val mengusap rambut, meraba kening. ”Tubuhmu begitu dingin.”

Aku tersentak. Sentuhan Val itu serupa rabaan yang membuatku muak, seperti bagian dari mimpi-mimpi burukku. Kucampakkan tubuh Val dengan kasar. Aku terjengkang ke sudut. Val terpekik kaget, lalu tergopoh-gopoh menghampiriku. Bukan Val! Sosok itu kini berwujud tubuh-tubuh kekar, tinggi kehitaman, menghampiriku. Langkahnya berat oleh kemenangan, dengan sorot mata lapat yang begitu berselera. Senyumnya penuh, menyerupai seringai.

Badanku menggigil oleh badai. Tulangku diluluhkan kengerian. Satu dua tubuh kekar mengendap-endap, hampir menyerupai gergasi. Kali ini, mereka tak bisa menyentuhku. Aku harus berlari!

“Rey!Rey!”

Mereka mengejarku. Langkahnya menderap bagai kuda yang bernafsu. Meja ini tempatku bersembunyi. Mereka tak boleh melihatku.

“Rey! Rey! Kemarilah, jangan berjongkok di situ. Kepalamu terbentur nanti,” kata mereka.

Pergi, pergilah! Karena kutahu, kalian selalu membuntutiku. Tidakkah kalian puas? Suatu saat, kalian harus dapat merasakan muntahan amarah yang selama ini membongkah di dada. Cara apa yang akan kalian pilih? Wajah tersayat-sayat? Tubuh membiru oleh dentaman kayu? Tunggu saja saat pembalasanku. Aku tak lagi dapat dibungkam dalam ketakutan. Terimalah tendangan ini, pukulan ini. Cengkeraman dan cakaran ini, bukankah nyeri? Mimpi-mimpi burukku jauh lebih nyeri.

Oh, kau cuma menyeringai. Seharusnya kau berteriak ketakutan, karena aku menjelma api, yang siap melahap keangkuhan dan kebejatanmu.

Tidak, jangan kau cekal tanganku. Persetan! Kalau berani, satu lawan satu! Bukannya mengeroyok seperti ini. Hei, ke mana aku akan kau bawa? Kamu pikir kamu bisa saja, seenaknya menyeret-nyeretku seperti ini? Kamu pikir aku kerbau, yang bisa dituntun-tuntun seenak perutmu? Hei, lepaskan aku!

Bukan, kamar ini bukan tempatku. Aku bukan anak kecil, yang bisa disuruh mencuci kaki lalu digiring ke tempat tidur. Jangan! Jangan tutup pintu itu! Buka! Buka! Buka! Persetan dengan semuanya.

Aku tidak suka dicampakkan begitu saja. Mengapa aku mengalaminya lagi, lagi, dan lagi? Siapa yang akan menolongku? Adrian! Adriaan…!

Laraku mengendap dalam serpihan awan yang mengambang di langit. Aku benci langit yang terlalu biru, karena biru dengan cepat berubah kelabu. Dan biru adalah kain tenun pelapis balai-balai jati Mama yang kusut dan terkoyak… tidak, aku tidak mau mengingatnya. Aku tahu, selalu ada beberapa laki-laki yang menguntitku. Mungkin mereka mau membunuhku. Mungkin mereka hanya ingin memamerkan dada yang telanjang, urat-urat yang bertonjolan, dari betis, lengan, dan paha. Otot-otot liat yang menunjukkan keperkasaan, untuk menindas, lalu mencampakkan. Tidak! Mereka tidak boleh melakukannya lagi.

Aku hanya merindukan seseorang. Adrian, di manakah dia pada saat-saat seperti ini?

Jendela! Kanal kebebasanku adalah jendela. Aku harus pergi, dan tak boleh meringkuk terlalu lama di sini. Salah satu dari orang-orang itu akan dapat menemukanku, membunuhku, atau bahkan mencincangku. Sebentar… aku membutuhkan sesuatu yang tajam, mungkin semacam gunting atau… nah, ini dia. Untung aku selalu menyimpan pisau lipat ini di dalam tasku.

Untunglah jendela ini tak terlalu tinggi. Dari ambangnya, aku suka menghirup aroma mawar setiap pagi. Tidak, wangi mawar tidak terlalu kuat. Namun, di situlah letak kekuatannya. Dengan mata terpejam, aku bisa meracik wanginya dengan lemon segar, harum kayu manis, atau wangi melati yang eksotis.

Dengar! Riuh orang-orang! Mereka berbicara dalam ramai kerumunan. Derai-derai itu lagi, gelombang kemarahan yang datang dan datang lagi. Tak lama lagi, pasti langit berubah kelabu. Kelabu oleh asap panas yang padat dan tebal, membubung dari onggokan ban-ban bekas yang ditumpuk dengan sengaja. Amarah itu pasti menjelang. Dan mereka tak lagi memiliki bahasa. Karena yang berbicara adalah tongkat, clurit, dan pisau. Maka kemarilah, karena aku siap menyongsongmu. Pisau akan bertemu dengan pisau.

Kalian adalah orang-orang jalang. Begitu pula aku. Kita adalah kumpulan binatang jalang, dan rumah kita adalah dunia kekerasan dan kematian.

Oh, ternyata kau berdiri di situ. Lelahkan kau menungguku? Lihatlah badan kekarmu, telanjang dadamu, dan geliat otot-ototmu. Permainan apa lagi yang akan engkau pamerkan kepadaku? Dan janganlah tertawa? Karena gigimu kuning oleh dendam yang busuk. Hai, sambutlah aku. Bukankah aku boneka yang kenyal dan ringan, menarik untuk dibolak-balik? Telungkup atau telentang, mana yang kamu suka?

Nah, takutkah kamu pada pisau ini? Lihatlah, kilatnya menentang cahaya matahari. Namun, wajahmu pucat pasi sekarang. Mengapa? Aku kira, kau tak pernah mengenal takut. Mungkin, ternyata kau lebih pengecut dibandingkan semut. Karena semut tidak pernah mengendap-endap ketika menghampiri makanan. Sedangkan kau lari.
Akan ke manakah kau? Urusan kita belum selesai. Tunggulah aku. Karena aku akan melukis siluet yang cantik di wajahmu. Ya. Diamlah di situ. Meringkuklah di pojok, duduk yang manis, dan janganlah lari. Sini, biar kutorehkan pisau ini. Diam! Jangan menepis. Lihat, gerakanmu membuat satu garis panjang tertoreh tak sengaja di tanganmu. Nah, kau lari lagi. Tunggu!

“Rey! Rey!”

Nah, mereka datang. Aku harus berlari. Derap langkah itu, orang-orang berlarian. Begitu banyak jumlah mereka. Sebagian mereka berseragam. Ya, aku ingat. Mereka juga berdiri di dekat ban-ban yang terbakar. Tetapi, mereka mengubah diri mereka menjadi patung.

Namun, cepat sekali mereka berlari. Mereka telah menyusul langkahku, menubrukku, lalu membekapkan sesuatu ke hidungku, seperti segenggam kain lembut yang dingin. Liang labirin itu kembali menganga di depanku, dan aku terisap dalam gelap.

Rumah yang asri bercat hijau. Kamarku ada di lantai atas. Namun, aku belum ingin naik. Seperti biasa, aku akan rebah sesaat di sofa empuk di depan teve. Biasanya aku juga akan memainkan piano, barang sebentar. Hanya kali ini aku terlalu lelah.

“Lalu, apa yang kau lihat?” sebuah suara yang berat dan tenang menggema dari sebuah sudut. Lalu gelap sesaat.

“Balai-balai jati kesukaan Mama. Papa membelinya langsung dari Jepara, sebagai hadiah ulang tahun Mama. Mama sangat mencintai balai-balai itu. Mama letakkan di sampingnya sebuah meja kecil, yang berhias satu vas penuh kembang sedap malam. Mama sering duduk diam-diam di balai-balai itu, menghirup aroma kembang itu dalam-dalam, seperti bermeditasi. Mama membuat bantal-bantal kecil berlapiskan kain tenun, bantal-bantal kain yang….”

Tidak bisa. Aku tidak mampu mengingatnya. Aku tidak mau mengatakannya. Tidak mungkin! Senyap sesaat. Suaraku tenggelam dalam isak tangis. Setitik perih menggigit tanganku, seperti suntikan jarum yang dingin. Aku memekik pelan. Lalu senyap. Sesaat kemudian, gambar-gambar itu melintas lagi di benakku.

“Kita bisa mulai lagi, Rey?” suara itu terdengar lagi. Aku menarik napas.

“Vonna. Meilana. Aku, Vonna, dan Meilana. Kami sedang bersantai di beranda belakang. Kami bertiga bersahabat, begitu dekat. Mereka sering memanggilku ‘Item,’ dan terkadang, kalau iseng, kupanggil mereka ‘Cina.’ Bercanda tentunya, dan mereka tak pernah marah. Kami bersahabat sejak SMA. Vonna periang dan lincah. Sedangkan Mei agak tenang dan tertutup, tetapi suka bercanda. Sofa bambu di beranda belakang itu tempat favorit kami. Udara sejuk di beranda belakang, dengan embusan angin dari pohon mangga dan beringin putih milik Mama. Sebenarnya aku dan Vonna sedang merencanakan pesta ulang tahun kecil-kecilan, kejutan buat Mei. Meilana, nama aslinya Mei Lie. Suatu kebetulan juga, dia lahir di bulan Mei. Dan pada hari ulang tahun itu….”

Suaraku tersendat di tenggorokan. Rasanya aku ingin menarikan tarian dendam. Namun, tangan dan kakiku terikat. Mataku terasa berat.

“Baiklah, jangan teruskan,” suara itu terdengar lagi. “Bagaimana Adrian? Adakah dia di antara kalian?”

“Adrian? Dia tidak suka pesta, tidak suka kumpul-kumpul hanya untuk mengobrol. Dia begitu sibuk. Dia mencintai masyarakat lebih dari segala-galanya. Tetapi, aku bangga. Tampaknya, dia mencintaiku secara dewasa.”

“Seringkah Adrian berkunjung ke rumah?”

Aku terdiam. Pusaran putih serupa asap membentuk sketsa-sketsa. Lalu gambar-gambar itu kembali nyata.

“Tidak juga. Tapi, kusuruh dia datang pada hari ulang tahun Mei. Aku dan Vonna menyiapkan pesta kecil-kecilan di rumahku. Sayang, ketika itu…,” suaraku kembali berubah menjadi derai tangis.

“Apa yang kau lihat?” tanya suara itu.

Aku melihat kepulan asap hitam, begitu pekat seperti membelah langit, begitu mengerikan serupa onggokan hitam ban-ban di penjuru ruang. Api unggun ban-ban yang mengiringi tarian amuk dan amarah. Lalu suara jerit, pekik tangis, teriakan, sorak-sorai menggema dari sudut-sudut jalan. Ada aroma darah yang meruap dari tubuh-tubuh kekar, mata-mata yang mengkilat karena dendam, semacam gejolak perasaan yang tertimbun dan ingin tumpah. Bau keringat dari tubuh-tubuh legam seketika mengingatkanku pada embusan panas yang tersengal-sengal, rabaan kasar yang membuatku mual. Itukah kau? Berdiri terpaku dan diam, apakah kau menginginkannya lagi? Namun, pisau lipatku, entah kutinggalkan di mana…. Oh, kamu tahu memanfaatkan kelemahan seorang wanita. Tidak, aku tidak mau menyerah begitu saja.

Sudut. Aku menghambur ke sebuah sudut. Selalu ada sebuah pojok yang merindukanku, seperti pelukan Mama. Aku akan bergelung di sebuah relung. Dan kau tak akan bisa menyentuhnya.

“Rey, kembalilah kemari…,” suara itu menegurku lembut.

Lihatlah, dua orang laki-laki. Apakah mereka temanmu?

“Tidaaak!” sahutku. Apakah kau mendengarnya? Bahkan aku bisa meneriakkannya dengan lantang. Kau ingin mendengarnya lagi? “Tidaaak…!” Jangan renggut aku dari buaian ini. Aku enggan melihat terang!

“Rey.…”

Sebuah suara lalu berkata kepada yang lain, “Panggil ibunya.”

Lalu pintu terkuak. Sebuah derap berlari menghampiriku. Sedu sedan mengepungku. Dipeluknya aku. Aku mendengar sebuah suara yang akrab. Namun, aku enggan memalingkan wajahku dari gelap. Gelap yang membekap paha dan dekapan lenganku.

“Rey…,” kata suara itu. Begitu lembut. “Rey, kemarilah, Nak. Ini Mama!”



Penulis: Sofie Dewayani
(Pemenang Penghargaan Sayembara Cerber Femina 2002)




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?