Fiction
Tarian Merpati [7]

15 Jun 2012


<<<<  Cerita Sebelumnya

Semua gelap ketika tiga laki-laki bertubuh tegap membantingku ke balai-balai jati.

Benar. Itu Mama. Karena getar suaranya serupa denyut rahim yang pernah membesarkanku. Kuangkat wajahku perlahan.

“Ma…!”

“Rey…!” lalu aku dipeluknya dalam tangis. Aku tak lagi bisa menangis, Ma.

“Kemarilah, Rey, berdirilah. Mama ada di sampingmu….”

“Aku mulai ingat, Ma, aku mulai ingat….”

Mama hanya menjawabnya – lagi-lagi – dengan tangis. Belum pernah aku merasa sepedih ini.

Dua laki-laki itu – aku ingat – dr. Iskandar dan Mr. Martin. Mereka tersenyum ketika aku berdiri perlahan, dan berjalan pelan di belakang Mama.

“Ibumu telah datang dari jauh, Rey. Pasti kau akan cepat pulih.”

Aku diam, tak tahu apakah merasa sedih atau senang. Keperihan di dalam dada yang tak ingin kukenali, kini melonjak-lonjak, menarik perhatian.

Mama memapahku dan mendudukkanku di sebuah kursi. Dokter Iskandar dan Mr. Martin berbicara sebentar dengan Mama, lalu berjalan ke luar ruangan.

Di luar jendela sore telah menua, dan sorot matahari menerobos ruangan ini. Ruangan ini telah menelanjangi masa laluku begitu rupa. Sofa biru di depanku, tempat kuberbaring tadi, seperti titian yang membawaku menjelajahi kembali setiap ruang dalam mimpi burukku.

Mama duduk di sebelahku, dan memelukku. Rengkuhannya masih seperti yang dulu, saat dia menggendongku dengan kain, dan aku tersedu-sedu seperti anak kecil.

“Aku ingat semuanya, Ma…. Aku ingat semuanya… Vonna… Mei…. Di mana mereka?”

Mama hanya diam memelukku, dan matanya menerawang.

“Mengapa semua orang diam, dan menyembunyikan semuanya dariku. Mengapa, Ma?”

Namun, Mama hanya diam.

Hari ulang tahun Mei. Sebuah pesta kecil di kebun belakang telah kusiapkan hari ini. Aku sendiri yang menyiapkan jamuan ini. Rumah selalu sepi di siang hari, dan hanya Narti yang membantuku. Meilana, tidak selalu beruntung merayakan ulang tahunnya setiap tahun. Papinya pemilik toko kelontong yang tidak terlalu ramai. Rumahnya yang tidak terlalu besar terletak di sebelah toko itu, berdesak-desakan di sebuah gang kecil, di samping selokan yang selalu bau. Mei bersama empat orang adiknya bergantian menjaga toko itu. Aku sangat mengenal keluarga itu. Mereka tekun dan pekerja keras.

Aku sedang menghangatkan sup ketika telepon berdering. Suara Papa terdengar panik di ujung sana.

“Kamu jadi mengundang teman-temanmu siang ini, Rey?”

“Iya. Memangnya kenapa?”

“Situasi di jalan sedang kacau sekarang ini. Di rumah ada siapa?”

“Rey dan Narti.”

“Ke mana Ujang?”

“Ke kantor Mama. Mama minta dijemput siang ini.”

“Banyak orang menghalangi jalan, ban-ban dibakar. Kerusuhan di mana-mana. Tutup pagar rapat-rapat, dan jangan ke mana-mana. Papa yakin, rumah kita aman.”

Dadaku berdegup kencang. Vonna dan Mei! Mereka dalam bahaya!

“Teman-temanmu itu.…”

“Vonna dan Mei?”

“Ya. Lindungi mereka. Papa yakin mereka aman di dalam rumah kita. Kita bukan sasaran mereka.”

Aku meletakkan gagang telepon dengan cemas. Kupencet sebuah nomor. Ponsel Vonna. Terdengar suara gemerisik di ujung sana, bunyi keributan yang tak jelas. Lalu mati. Kucoba menghubungi lagi. Mailbox.

Suara Narti memanggil-manggilku dari lantai atas. Setengah berlari, aku menaiki tangga. Di balkon, Narti berdiri takjub dengan latar lukisan kepulan asap hitam di langit. Aku bagai terhempas. Adrian! Mungkin dia terseret di tengah arus kerumunan. Apakah yang dilakukannya kini? Ingatkah dia untuk datang hari ini? Beberapa hari kami tidak bertegur sapa. Dia begitu sibuk sejak beberapa hari yang lalu. Mengatur strategi di jalanan, demonstrasi, dan bernegosiasi dengan polisi.

Kepulan asap hitam membubung di kejauhan. Aroma busuk menyeruak dari mana-mana, seperti amarah yang membekap udara saat ini. Aku sadar, sebuah gelombang dendam tengah membanjir saat ini, mungkin siap membinasakan, menghempaskan apa saja.

Derap kerumunan datang mendekat. Sorak-sorai, tawa, dan teriakan yang aneh, bagai melampiaskan amarah. Kucengkeram lengan Narti.

“Pagar sudah digembok, Nar?”

Narti mengangguk. Wajahnya pias, didera ketakutan.

“Jangan bukakan pintu pada siapa-siapa!” bisikku, lalu kuseret dia masuk ke dalam. Namun, suara bel yang dipencet tak sabar itu… suara gedoran pada pagar… lalu sebuah suara yang mirip tangis memanggilku, “Rey… Rey… buka pintu!”

Itu Vonna.

“Vonna dan Mei! Bukakan pintu, Nar! Lalu cepat tutup lagi!”

Narti berlalu sambil berlari. Aku begitu tegang, sehingga langkahku bagai tak lagi menginjak tanah.

Vonna dan Mei. Mereka menghambur masuk dari celah pintu yang terbuka. Wajah mereka memerah karena tangis, dan tubuh mereka gemetar. Cepat kutarik tangan mereka.

“Mereka mengejarku, Rey,” isak Vonna.

“Sudah, tenanglah. Di sini kalian aman.”

Kamar Narti di sebelah gudang. Ke sanalah mereka akan kubawa.

“Mereka sangat beringas, Rey. Mereka menggedor-gedor kaca mobil, menyuruh kami turun. Untung kami sempat berlari. Tapi, mobilku….”

“Sudah, lupakan saja mobilmu. Yang paling penting kalian berdua selamat.…”

“Tapi, mereka mengejar kami. Mungkin mereka tahu kami masuk ke sini….”

“Karena itu kalian harus bersembunyi. Sudahlah, kalian aman di sini.”

“Kalau mereka memaksa masuk ke sini?”

“Mereka tidak akan berani berbuat macam-macam di sini. Percayalah padaku.”

Vonna diam. Mukanya yang putih tampak semakin pucat. Rambut kemerahannya berantakan dan basah oleh keringat. Celananya jins ketat, dengan blus katun putih berenda. Seperti biasa, Vonna tahu bagaimana mempercantik diri. Maskaranya rapi, perona mata dan bibirnya selalu serasi. Namun kali ini, polesan itu lebur dengan air mata.




Penulis: Sofie Dewayani
(Pemenang Penghargaan Sayembara Cerber Femina 2002)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?