Fiction
Satu Kata Maaf [7]

20 Jun 2012


<<<<  Cerita Sebelumnya

Aku sudah melunasi seluruh utangku kepada Mama. Untuk apa lagi aku datang mengunjunginya? Tidak perlu. Tidak sekarang. Tidak juga nanti.

Yogyakarta
Juni 1987 - 1993
Mulutnya menganga. Kacamatanya diturunkan, lalu dilepas. Ia menatap, menyelidik. Beberapa detik kemudian, ia membuka gerendel pintu.

“Mei Cen?” tanyanya, tak percaya. Aku mengangguk kuat-kuat sambil menggigil kedinginan. Hujan lebat membuat pakaianku melekat di sekujur kulit. Perutku terus berbunyi, lantaran belum diisi sejak kemarin.

“Pasti ada sesuatu yang sangat serius sehingga kamu menemui Ibu di sini,” katanya, heran dan curiga. Ia menggiringku masuk ke rumahnya yang kecil dan menyuruhku membersihkan diri. Ibu Minarni berusaha menahan diri untuk tidak bertanya macam-macam. Ia adalah guru SMA-ku yang paling kusayangi, karena selalu memberiku semangat. Sayangnya, ia harus pindah tugas ke Yogyakarta.

Setelah mandi dan menyantap sepiring nasi goreng teri, aku duduk di depan Ibu Minarni yang menunggu ceritaku. Dengan getir aku mengulang kisah hidupku, sejak lahir hingga detik-detik terakhir pertengkaranku dengan Mama. Kedua mata Ibu Minarni tampak berkaca-kaca.

“Saya tidak punya siapa-siapa lagi, Bu. Izinkan saya tinggal di sini sampai mendapat pekerjaan. Saya janji, tidak akan membuat Ibu susah. Saya akan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Menyapu, mengepel, cuci baju, semuanya, apa saja, asalkan diizinkan menumpang di sini, Bu. Tidur di lantai WC pun tak apa-apa. Ibu tak perlu memberi saya makan. Ibu boleh memperlakukan saya sebagai pembantu,” tuturku. Setelah beberapa menit berlalu tanpa ada reaksi apa-apa, aku mendongak.

Ibu Minarni berdehem, lalu menggenggam tanganku. ”Ibu tahu perasaanmu, Mei Cen. Tapi, melarikan diri bukan jalan keluar yang baik. Keluargamu pasti sangat khawatir. Apalagi, mamamu….”

“Mereka tidak akan pernah merasa kehilangan. Mama tidak melarangku, bahkan mengusirku.”

“Itu karena beliau sedang emosi. Orang marah selalu melontarkan kata-kata yang bukan maksudnya.”

Aku bangkit dan meraih tasku. Dari kata-kata Ibu Minarni, aku tahu apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan.

“Saya mengerti jika Ibu keberatan dengan permintaanku,” kataku.

“Kamu mau ke mana?” Ibu Minarni ikut berdiri.

“Pergi.”

“Lho? Bukankah kamu ingin menemui Ibu?”

“Ibu tidak bisa menerima saya tinggal di sini, ‘kan? Ibu tidak percaya cerita saya, ‘kan?” sergahku, sengit.

“Jangan buruk sangka, Mei Cen. Ibu hanya merasa tidak enak dengan keluargamu, jangan-jangan mereka menganggap Ibu yang memengaruhimu agar pergi dari rumah. Seburuk apa pun perlakuan mamamu, ia tetap orang tuamu.”

“Percayalah, Bu. Mama tidak akan pernah merasa kehilangan. Ia tidak mungkin mencari, apalagi lapor kepada polisi. Baginya, kehilangan seekor ayam lebih menyedihkan daripada kehilangan anak cacat seperti saya.”

“Hus, jangan bicara begitu! Tuhan menciptakan manusia dengan segala kebaikan, menurut rupa dan teladan-Nya. Dia tidak pernah menciptakan sesuatu yang tidak berguna. Baik, kau boleh tinggal di sini. Ibu akan menganggapmu sebagai anak. Ingat itu! Tapi, asal kamu tahu, Ibu bukan orang kaya. Artinya, kamu harus menerima ikan asin dan tempe sebagai makanan sehari-hari. Setuju?”

“Ibu, terima kasih banyak! Saya berjanji tidak akan menyusahkan Ibu. Tidak akan pernah!” tekadku.

“Satu lagi, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, Ibu akan tetap memberi tahu keluargamu,” katanya, tegas.

Sejak itu setiap hari aku bangun pukul 4 pagi dan mulai mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ketika Ibu Minarni bangun, rumah sudah rapi dan sarapan sudah terhidang. Saat ia mengajar, aku membuat kue, lalu menjajakannya ke beberapa warung dan toko. Dari 30 tempat yang kudatangi, hanya satu yang bersedia menampung kue-kue buatanku.

Dalam beberapa bulan, aku berhasil menjaring dua toko lagi. Uangnya aku gunakan untuk membayar rekening listrik, air, dan telepon. Hingga tepat setahun kemudian, Ibu Minarni mengajakku berbicara dengan raut muka serius. Aduh, inilah saat yang paling kutakuti! Ibu Minarni pasti mengusirku! Mungkin, ia akan mengontrakkan rumah ini kepada orang lain atau mungkin membuka kos-kosan.

“Mei Cen, Ibu lihat kepercayaan dirimu sudah pulih kembali. Itu bagus. Tapi, Ibu ingin agar kamu bisa lebih mandiri. Itu sebabnya, Ibu ingin…,” Ibu Minarni sengaja memperlambat nada bicaranya. Nah, benar kan dugaanku?

“Bu, saya berterima kasih untuk semua kebaikan Ibu. Saya minta maaf karena banyak merepotkan Ibu. Kalau saya harus pergi, saya ingin…,” kataku terbata-bata, menahan isak.

“Kamu ngomong apa, sih? Ibu ingin kamu kuliah….”

“Kuliah? Di sini? Tapi….”

“Ibu ingin membiayaimu. Kau bagian dari hidup Ibu. Sayang jika masa depanmu lewat begitu saja. Otakmu cemerlang. Izinkan Ibu membantumu,” tutur Ibu Minarni, lembut. Aku terperangah, antara terkejut dan senang.

“Jangan pikirkan soal balas budi. Tugasmu cuma satu, belajar sungguh-sungguh supaya bisa lulus dengan nilai baik. Supaya kamu bisa datang menemui mamamu dan mempersembahkan ijazah di pangkuannya, sebagai sebuah kebanggaan,” katanya, sambil mengusap rambutku.

Kuliah? Aku tidak sedang bermimpi bertemu malaikat kebajikan, ‘kan? Sesaat aku ragu, tapi senyuman Ibu Minarni menggambarkan ketulusannya.

Tahun pertama kuliah terasa sangat menegangkan. Perasaan minder yang hebat kembali timbul dan membuatku sulit beradaptasi dengan dunia kampus. Ke mana saja aku melangkah, rasanya setiap mata mengikuti. Hanya segelintir teman yang benar-benar bisa menerima keadaanku.

Aku sangat menyadari, betapa beruntungnya aku bisa bertemu sosok penolong seperti Ibu Minarni. Dia begitu rajin memperkenalkanku dengan Tuhan, yang tidak pernah kukenal selama ini. Dia selalu siap mendengar keluh kesahku dan giat menyemangatiku. Akan kubuktikan pada Mama bahwa aku bukan orang cacat yang bisa dianggap remeh.

Di tahun terakhir kuliah, saat aku tak lagi terlalu banyak dikejar-kejar berbagai tugas, Ibu Minarni menyuruhku mengikuti bermacam kursus. Mulai dari komputer, bahasa Inggris, sampai kursus keterampilan. Bersama dua teman yang punya minat sama, kami belajar membuat lilin hias dalam bentuk dan warna menarik, lalu menjualnya saat bazar kampus. Di luar dugaan, semuanya laris terjual.

Tepat lima tahun kemudian, aku berjalan bangga di antara ratusan orang yang diwisuda. Terpincang-pincang aku menerima ijazah dan ucapan selamat dari para dosen.

“Ibu bangga padamu, Mei Cen! Hebat, kamu hebat!” Ibu Minarni memelukku erat-erat, sambil tersenyum puas.

“Terima kasih banyak, Bu. Entah dengan cara apa kebaikan Ibu bisa saya balas,” kataku, penuh haru. Ibu Minarni mengibaskan tangan, lalu mendadak ia seperti teringat sesuatu.

“Kamu harus segera memberi tahu keluargamu di Siantan. Harus! Tidak boleh tidak!” tegas Ibu Minarni. Aku seperti terkena tembakan tepat di jantung. “Ah, tidak, Bu! Nanti saja! Saya belum siap bertemu mereka.”

“Kau tidak akan pernah siap selama hatimu terus dipelihara oleh dendam dan kebencian, Mei Cen. Belajarlah untuk bisa memaafkan mamamu. Cuma itu satu-satunya jalan.”

Aku memaksakan sebentuk senyum kaku. Ah… sayang, Ibu berhati malaikat ini bukan orang tua kandungku. Seandainya Mama bisa sehangat dan penuh kasih seperti dia. Seandainya saja aku punya kebebasan untuk memilih siapa yang melahirkanku ke dunia.

“Tidak, Bu. Saya tak ingin kembali ke sana!” tegasku. Kali ini dengan nada dingin yang tak bisa kututup-tutupi. Tak sadar, rahangku mengeras karena desakan kemarahan yang tiba-tiba muncul ke permukaan. Memaafkan Mama? Mungkin, itu satu-satunya hal yang akan kulakukan jika langit runtuh.

Jakarta
September 2003
Tampaknya, penduduk kota ini selalu kesetanan setiap hari Senin. Buktinya, pukul tujuh pagi, jalan-jalan sudah dipadati kendaraan. Ditambah genangan air di sana-sini, sisa hujan semalam. Jika tidak telanjur janji dengan Pak Bramanto untuk menyelesaikan proposal proyek, aku tidak rela harus terjebak macet seperti ini.

Sudah hampir dua tahun aku berkantor di Jakarta. Pertemuanku dengan Otto Schmidt, orang Jerman yang tertarik pada pernak-pernik buatanku, membuka sedikit pintu kesuksesan untukku. Awalnya, ia mengunjungi stan kami di acara pameran kecil di Yogya. Perbincangan kami lalu berlanjut ke tahap penjajakan kerja sama dalam bidang art & craft. Ia menyediakan sebagian besar modal dan bertanggung jawab atas pemasaran. Aku dan dua temanku menangani manajemen dan produksi. Malah, kami juga mengembangkan sayap ke bidang dekorasi rumah dan gedung.

Sampai di kantor, Mona sudah menghadangku. Tangannya menggenggam buku agenda dan beberapa surat. “Maaf, Bu, Pak Bramanto menelepon. Ia minta rapat ditunda hingga pukul dua siang nanti. Tadi malam istrinya baru melahirkan,” katanya, cepat.

“Oh, ya?” ujarku, mengembuskan napas kesal.

“Baru saja Ibu Minarni menelepon. Katanya, sulit sekali menghubungi Ibu.”

“Ya, ponsel memang aku matikan. Ada lagi?”

“Pukul sebelas nanti akan ada tamu dari Departemen Perindustrian. Pukul empat sore Ibu diundang ke peresmian mal baru,” jelas Mona. Setelah menyerahkan beberapa berkas laporan, dia undur diri. Aku menyampirkan blazer hijau lumut pada sandaran kursi putar, lalu menekan beberapa angka di mesin telepon.

“Ibu, ada apa?”

“Mei Cen, selamat ulang tahun, Nak! Semoga Tuhan memberkatimu dengan rahmat dan kebijakan,” sapa Ibu Minarni di ujung sana. “Hadiahnya ada di mejamu.”

Sehelai amplop putih berlogo sebuah maskapai penerbangan menarik perhatianku. Isinya, selembar tiket pesawat.

“Pontianak?”

“Kau tidak ingin menengok keadaan Mama? Kau tidak ingin menjemputnya supaya bisa melihat kehidupanmu sekarang?”

Astaga, lagi-lagi topik yang sangat tidak kusukai itu muncul.

“Tidak sekarang, Bu,” jawabku pendek, sambil menaruh amplop itu di dalam laci dan menguncinya.

“Kenapa kau senang mengulur waktu, Mei Cen? Tidak baik memelihara dendam. Kamu sudah dewasa, sudah tahu yang benar dan yang salah. Jangan berkubang di dalam masa lalumu yang pahit sampai mati. Seberapa besar, sih, kerugian yang akan kau dapatkan kalau memberi maaf pada ibu kandungmu sendiri?” Suara Ibu Minarni meninggi.

“Bu, kita tidak perlu bertengkar gara-gara ini, ‘kan? Saya baru saja terjebak macet selama tiga jam dan belum sempat memeriksa laporan kerja karyawan. Masa, sih, Ibu belum bosan juga membahas masalah ini?”

“Kau masih menyalahkan mamamu karena berpisah dari Erwan?”

“Tidak ada sangkut pautnya. Ada atau tidak ada Erwan, jawabanku tetap sama. Aku tidak akan pulang menemui mereka. Tidak sekarang. Tidak juga nanti. Titik.”



Penulis: Ruddy Raharjo
(Pemenang Kedua Sayembara Mengarang Cerber femina 2004
)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?