Fiction
Satu Kata Maaf [6]

20 Jun 2012


<<<<  Cerita Sebelumnya

"Enak saja Tante bicara begitu! Ini masalah hak hidup seorang anak yang dirampas ibunya sendiri, masalah anak yang terlahir cacat karena kesalahan ibunya. Apakah sang ibu mengakui kesalahannya? Tidak. Apakah sang ibu menyesali perbuatannya? Tidak. Apakah sang ibu pernah meminta maaf kepada anaknya? Juga tidak. Lalu, kenapa Tante memaksaku menghormati orang tua yang demikian? Hanya karena dia sudah memberiku makan setiap hari?” Aku nyaris membanting baskom berisi adonan.

“Mamamu sudah meregang nyawa waktu melahirkanmu karena umurnya yang sudah tidak muda. Dia mengalami perdarahan hebat dan harus dibawa ke rumah sakit. Untuk membayar biaya kelahiranmu, dia harus menjual perhiasannya. Paling tidak, hormatilah pengorbanannya itu!” Tante Lin mencoba menasihati.

“Oh… jadi sekarang dia menuntut penghormatan?”

“Bukan begitu, tapi….”

“Ah, aku jadi ingat satu hal. Tante Lin dan Oma pasti tahu ketika Mama berniat untuk menggugurkan kandungan,” cetusku tiba-tib. Tante Lin menatapku lemah, tapi tidak menjawab.

“Kenapa Tante dan Oma tidak mencegahnya? Atau, malah justru membantu dengan senang hati?” tanyaku, sinis.

“Mei Cen, kau tahu sendiri sifat mamamu. Sekali punya keinginan, tidak ada orang lain yang bisa melawannya. Sifatnya keras sekali. Kami tak bisa berbuat apa-apa,” kata Tante Lin, berdalih.

“Ceritakan Tante, seberapa keras keinginan Mama untuk melenyapkan aku?” Aku segera duduk di depannya. Tante Lin terperangah, menyadari kata-katanya yang salah, lalu meralatnya.

“Jangan begitu, Tante. Ceritakan saja yang sebenarnya. Jangan khawatir, aku tak akan mati terkejut,” desakku lagi. “Coba ceritakan, apa lagi yang dilakukannya?”

Tante Lin terus menggelengkan kepala. Tapi, ketika matanya bertabrakan dengan mataku, ia akhirnya menyerah. “Dia… dia… pernah membanting-banting tubuhnya sendiri di lantai, memukuli perutnya dengan kayu…,” ujar Tante Lin terbata-bata.

“Apa lagi?” bisikku, mencoba menguatkan hati.

“Ketika kandungannya berumur tiga bulan dan belum gugur juga, dia nekat pergi ke dukun. Segala macam alat digunakan untuk mengeluarkan tubuhmu, sampai… dukun itu berdiri di perut mamamu, lalu menginjak-injaknya…,” kata Tante Lin.

“Sungguh mati, Mei Cen. Kami tak pernah menyangka kau akan terlahir cacat dan menanggung malu seumur hidup….”

“Apakah… Mama menyesal ketika melihat keadaanku?”

“Ya, dia kaget setengah mati. Dia bingung harus bagaimana. Dia sempat menawarkan kepada orang lain untuk memeliharamu. Tapi, mereka tidak mau menerima bayi cacat. Mamamu juga enggan merawat sendiri karena tidak siap menerima kehadiranmu. Tapi, belakangan ia mulai menyesal dan berniat untuk membesarkanmu.” Dengan ujung baju Tante Lin menyeka air matanya. Di wajahnya terbayang gurat-gurat keletihan dan sesal.

“Jangan salahkan mamamu, Mei Cen. Kalau papamu tidak pergi meninggalkannya, ini tidak akan terjadi. Dia mengambil tindakan itu karena tidak bisa menerima pengkhianatan papamu.”

Aku termangu, mengulang, dan mengulang kembali setiap kata yang barusan kudengar. Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, aku beranjak pergi dan menyendiri di kamar. Membayangkan detail kisah itu tidak saja membuat jiwaku tersiksa, tapi aku juga merasa tak berharga sama sekali. Kini aku tahu, kenapa Mama sulit menerima kehadiranku sebagai anak. Penghalang utamanya adalah kebenciannya yang begitu dalam pada Papa. Itulah yang ditumpahkannya padaku. Kenapa aku yang dijadikan alat pelampiasan sakit hatinya?

Aku anak tak berguna. Aku anak yang tak berharga. Tak ada nilainya. Tak ada artinya. Selama beberapa hari, hanya kalimat-kalimat itu yang melekat kuat di otakku. Tingkahku makin seperti orang linglung, tak punya sinar kehidupan. Tiba-tiba, jalan keluar mulai terlihat, menggoda hatiku untuk melakukannya. Lama-kelamaan, pikiran itu makin mendekati kenyataan ketika kemudian aku menemukan semprotan obat nyamuk di pojok kamar.

Faktanya, Mama tak pernah menginginkan aku hidup. Baik, aku akan membantunya sesegera mungkin mewujudkan keinginan itu. Kalau aku sudah tak ada, kebencian Mama pada Papa mungkin bisa lenyap. Tanggungan hidup Mama juga akan berkurang satu karena dia tak perlu repot-repot lagi memikirkan biaya hidupku. Kalau aku mati, aku juga tak perlu lagi berkubang dalam pusaran dendam pada ibu kandungku sendiri. Aku mencintainya, aku tak ingin membencinya….

Dengan tenang, aku membuka botolnya dan menuangkan cairan berbau itu ke dalam kerongkonganku. Rasa panas yang membakar membuatku limbung. Aku berusaha menarik apa saja yang bisa kuraih. Beberapa benda beterbangan jatuh. Suaranya berisik. Pandangan mataku mengabur, lama-kelamaan kian gelap. Sebelum badanku terempas, sempat kuingat ada tangan yang merogoh mulutku, sementara tangan yang lain menekan tengkukku dengan kuatnya. Berbarengan dengan itu, rasa mual yang amat sangat mendorong seluruh isi perutku keluar. Aku terkapar.

Beberapa saat lamanya kesadaran menghilang dari benakku. Ketika membuka mata, aku mendapati diriku tengah terbaring ditutupi selimut sampai leher. Setelah pandangan berkunang-kunang yang mengganggu itu hilang, aku menyeret kaki dan memaksanya keluar dari kamar. Jam kuno di dekat televisi berdentang, menandakan sudah pukul satu dini hari.

“Kenapa aku tak dibiarkan mati saja tadi?” gumamku lirih, dengan tubuh lemas, bersandar di tembok dapur. Mama tampak tak terganggu oleh pertanyaan itu. Buktinya, ia masih meneruskan kegiatannya menjerang air untuk menyeduh kopi.
“Kenapa aku tak dibiarkan mati saja tadi? Biar dendam Mama terbalas. Biar hati Mama puas. Biar hidup Mama tak lagi susah! Itu kan yang Mama inginkan selama ini? Kematianku?” cecarku, sambil bergerak maju menghampiri.

Tiba-tiba Mama membanting cangkir yang sedang dipegangnya ke lantai. Cipratan kopi panas mengenai kakiku yang telanjang.

“Ampun! Soal itu lagi! Itu lagi! Buat apa, sih, diungkit-ungkit terus? Tidak bisakah kita hidup tanpa saling menyalahkan?” Tampak sekali Mama berusaha menekan amarah. Mukanya tegang dan bibirnya gemetar.

“Pasti Mama senang sekali kalau aku mati tadi,” ujarku, sinis.

“Jangan kurang ajar, Mei Cen!”

“Kenapa, sih, Mama harus malu mengakuinya? Setelah usaha yang Mama dulu lakukan gagal, mestinya Mama berterima kasih karena aku akan mewujudkan keinginan itu. Tidak perlu repot-repot menolongku. Mama tinggal bilang saja, mau pakai cara apa? Terjun dari gedung tinggi, gantung diri, atau potong urat nadi? Dengan senang hati aku akan melakukannya untuk Mama.”

Plak! Plak! Dua tamparan membungkam ocehanku. Mama mengacungkan telunjuknya di depan hidungku.

“Stop! Jangan bicara begitu lagi! Apa, sih, yang ada di kepalamu? Setiap hari kita bertengkar tentang hal yang itu-itu juga! Kenapa Mama begini, kenapa Mama begitu. Berkali-kali dijelaskan tentang situasi yang menjepit waktu itu, kamu masih tidak bisa mengerti juga. Mama tidak punya pilihan lain waktu itu, Mei Cen. Mengertilah sedikit! Pikirmu, cuma kamu yang susah, cuma kamu yang dapat masalah? Kamu tidak pikirkan bagaimana keadaan Mama? Seorang wanita setengah tua, yang ditinggal mati suaminya tanpa warisan? Sendirian bekerja untuk menghidupi seisi rumah dengan penghasilan pas-pasan. Apakah itu beban yang ringan?”

“Mama tidak pernah mau mengakui perbuatan itu sebagai kesalahan. Itu masalahnya!” jeritku, sakit hati.

“Kamu mau menyalahkan Mama karena terlahir cacat? Tidak ada manusia yang bisa menentang kehendak takdir. Coba kalau kamu tetap tinggal di rumah, tidak ada yang menghinamu. Kamu juga menyalahkan Mama karena tidak mampu membiayaimu berobat. Lihat sendiri keadaan kita, Mei Cen. Untuk makan saja kita harus berhemat, belum lagi uang sekolahmu dan biaya yang lain. Sekarang kamu bicara dengan lagak orang paling pintar sedunia! Main tuding. Ini salah, itu salah! Hei, kamu sadar tidak? Semua yang kamu pakai dan makan itu hasil jerih payah Mama. Tapi, kamu sama sekali tidak tahu terima kasih, tidak tahu balas budi! Anak tidak tahu diuntung! Benar-benar anak pembawa sial!”

Darahku langsung menggelegak, menyembur memanasi kepala. Anak pembawa sial. Itulah ungkapan yang paling sering aku terima selama tinggal di rumah ini.

“Mama tidak perlu khawatir soal uang lagi! Mulai sekarang, tanggungan Mama berkurang satu. Aku akan mengganti setiap rupiah yang Mama pakai untuk membiayai hidupku selama ini. Setiap rupiah! Aku bersumpah, tidak akan pernah menginjak rumah ini lagi. Aku tidak akan pernah mengganggu hidup keluarga ini lagi karena aku tidak pernah diharapkan ada di sini! Akan kubuktikan, aku bisa hidup tanpa kalian!” jeritku membabi-buta, menerjang kamar dan langsung mengambil tas di atas lemari.

“Silakan! Silakan kalau kamu mau pergi! Hei, sekali kamu minggat dari rumah ini, selamanya pintu ini tertutup buatmu! Kamu dengar itu? Dasar anak sinting! Sejak di kandungan saja sudah bikin pusing. Sudah besar malah tambah bikin masalah! Anak kurang ajar! Anak durhaka kamu! Makin cepat kamu keluar dari rumah ini, makin baik!” teriak Mama, tak kalah seram, kali ini dengan melempar beberapa piring ke arah pintu kamarku.

Sambil terisak-isak, aku memasukkan beberapa buku pelajaran, ijazah dan surat-surat penting, tiga helai baju yang kubeli dengan uangku sendiri, dan selimut tua milik Oma. Aku harus keluar dari rumah ini. Harus! Tak ada lagi yang bisa menahanku lebih lama di sini. Aku cuma seorang manusia cacat tak berguna. Benalu yang membebani. Kenapa Yang Kuasa tidak mencabut nyawaku saja? Tak ada arti lagi hidupku kini.

Selama beberapa saat, aku kembali menimbang-nimbang keputusanku untuk pergi. Masalahnya, aku tidak punya tujuan. Kenalan tak ada, saudara tak punya. Dengan menimang uang dua ratus ribu rupiah di tangan, aku membulatkan tekad untuk keluar dari rumah ini. Menjelang matahari terbit, dengan lunglai aku menyampirkan tas di bahu dan beranjak membuka pintu depan. Derit suaranya yang khas membuatku terkesima. Mungkin, ini saat terakhir aku bersentuhan dengan pintu kayu yang besar ini. Tanpa sadar kuusap cat cokelatnya yang sudah terkelupas. Perlahan aku berjalan menjauhi rumah, tempat aku dibesarkan, meninggalkannya setapak demi setapak. Kedua tanganku menggenggam erat secarik kertas bertuliskan sebuah alamat.



Penulis: Ruddy Raharjo
(Pemenang Kedua Sayembara Mengarang Cerber femina 2004
)


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?