Fiction
Satu Kata Maaf [8]

20 Jun 2012


<<<<  Cerita Sebelumnya

“Mei Cen, sadarlah, kau sedang membangun rumah di atas pasir,” keluh Ibu Minarni. Kau sedang mengerjakan hal yang sia-sia. Berdiri di tempat pijakan yang sama sekali tidak kokoh, malah makin menenggelamkan kakimu. Jangan beri tempat untuk amarah. Ingat itu baik-baik!” Ibu Minarni memutuskan hubungan. Aku termangu, mencerna setiap ucapannya.

Erwan. Kenapa nama itu harus terdengar lagi? Pria yang katanya mencintaiku apa adanya itu lebih memilih ibunya daripada bersanding denganku.

Otto Schmidt memperkenalkan Erwan Namiel padaku sebagai pengusaha properti yang masih lajang di usia 38. Setahun lamanya kami berteman, hingga suatu malam ia mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Tentu saja, aku bersedia, karena ia bersumpah akan benar-benar menerima semua kekurangan yang aku miliki.

“Tidak malu punya istri cacat?” tanyaku, sungguh-sungguh.

“Ah, yang penting kan kecantikan hati!” tegasnya. Ia bilang, kekuatan cinta kami akan sanggup mengalahkan semua perbedaan yang ada.

Saat Tahun Baru, Erwan mengajakku makan malam di rumahnya. Ketika melihat pandangan mata ibunya yang terkaget-kaget, aku tahu akan menghadapi masalah serius. Suasana makan malam jadi berantakan. Nyonya rumah bergegas pamit ke kamar dengan alasan kurang enak badan.

“Kau tidak pernah menceritakan keadaanku pada orang tuamu?” tanyaku, sambil melempar serbet.

“Sudah, tapi tidak detail,” jawab Erwan, salah tingkah. “Tenanglah, aku, toh, sudah memilihmu. Aku akan membicarakannya dengan Mama,” janji Erwan. Aku tidak menemukan kejujuran di matanya.

Esok harinya, ketika ia menjumpaiku dengan wajah kusut masai, aku tahu bahwa hubungan kami tinggal tumpukan abu. “Maafkan aku.” Cuma itu.

Untuk kesekian kalinya, aku dinobatkan sebagai pihak yang kalah. Pihak yang tidak berhak menerima sebongkah cinta. Satu-satunya orang yang patut disalahkan adalah Mama. Kenapa dia sampai hati merenggut kebahagiaanku? Kenapa dia begitu kejam merampas hakku untuk hidup seperti perempuan normal lainnya? Makin aku memikirkan jawabannya, aku jadi makin gila. Dan, makin membenci Mama.

Suara Mona di saluran interkom mengejutkanku. “Maaf, Bu, ada seorang ibu mau bertemu dengan Ibu. Namanya Lin.”

“Bilang saja, aku sedang meeting dan tak bisa diganggu.”

Kejutan. Dari mana Tante Lin tahu alamatku? Pasti dari Ibu Minarni. Hmm, mau apa dia datang ke sini menemuiku? Sendiri atau bersama… ah, masa bodoh! Aku sudah bersumpah, tak akan pernah mau berurusan dengan mereka lagi. Aku tak mau menemuinya!

Sore harinya, ketika aku sedang bersiap-siap menghadiri peresmian gerai baru kami di sebuah mal, Mona menyampaikan, wanita yang tadi mencariku masih setia menunggu di ruang tamu.

“Bilang saja, aku sudah pulang, Mona!”

“Dia bilang akan menunggu Ibu. Bila perlu dia akan menginap di sini.”

“Ya, terserah! Panggil satpam kalau dia macam-macam!” bentakku jengkel. Apa, sih, maunya Tante Lin?

Selama tiga hari berturut-turut, Mona melaporkan, wanita itu tetap tidak beranjak dari kursinya. Ia tetap ingin bertemu denganku. Penting sekali, katanya. Di hari keempat, aku terpaksa mengalah, membuka pintu ruang kerjaku dan mengundangnya masuk. Tante Lin berjalan pelan, sambil mengedarkan pandangan. Kami duduk berhadapan seperti orang asing, saling menunggu lawan bicaranya buka mulut terlebih dulu. Akhirnya, aku tak bisa menahan diri lebih lama.

“Ada apa, Tante? Uang yang aku kirim kurang? Kurang berapa?”

Tante Lin menatapku gusar. ”Bukan masalah uang. Tapi, masalah kesombonganmu! Kamu sengaja tidak mau menemui Tante, sengaja membiarkan Tante menunggu berhari-hari. Kamu benar-benar keterlaluan!”

“Salah siapa? Aku tidak pernah mengundang Tante Lin. Jadi, kalau aku tidak mau menemui tamu yang tidak aku kehendaki, wajar, ‘kan?” cetusku, sambil menyipitkan mata.

“Sombong! Kamu memang sudah berhasil jadi orang kaya, Mei Cen. Tapi, jangan kurang ajar pada keluarga sendiri. Jangan lupa diri. Jangan mentang-mentang….”

“Kirana. Namaku sekarang Kirana,” ujarku, meralat. “Sudahlah, Tante, kurang berapa?” potongku jemu, lalu menarik laci meja di sebelah kananku. Aku mengeluarkan segepok uang, lalu menaruhnya di meja. “Ini, lima juta.”

“Kamu betul-betul keterlaluan!” Tante Lin mengacungkan telunjuknya di depan hidungku. ”Tante datang cuma untuk menyampaikan kabar bahwa mamamu sedang sakit. Stroke menghantam tangan dan kakinya sampai lumpuh. Dia sangat mengharapkanmu pulang.”

“Untuk apa? Aku, toh, bukan anaknya!”

“Jangan diingat lagi pertengkaran yang dulu, Mei Cen. Sudah kewajibanmu sebagai anak untuk merawat orang tuanya. Pulanglah, walau hanya sebentar.”

Aku menggeleng kuat-kuat, mengusir sakit hati yang merayap.

“Aku sudah cukup melakukan kewajibanku. Setiap bulan aku mengirimkan uang sebagai pengganti semua biaya yang sudah dia keluarkan untukku. Itu kan yang dia minta? Nah, aku sudah melunasinya. Berarti, aku tidak punya urusan apa-apa lagi. Silakan ambil uang itu, Tante! Aku masih banyak pekerjaan,” ucapku, sambil melangkah ke arah pintu.

“Kami tidak butuh uangmu, Ibu Kirana yang terhormat! Kau pikir, dengan mengganti nama dan identitas, kamu bisa melupakan asal-usulmu begitu saja? Kau ingin melenyapkan masa lalu? Tidak mau berhubungan dengan kami lagi? Sungguh besar dendammu pada kami!”

Bagai disiram bensin berliter-liter, amarahku tersulut. “Ya, aku memang dendam! Dendam seorang anak yang hidupnya terlunta-lunta oleh ibu sendiri. Lihat tanganku! Lihat kakiku! Siapa penyebab ini semua? Apakah Mama pernah mengakui kesalahannya, satu kali saja? Apakah pernah dia minta maaf padaku atas percobaan pembunuhan yang pernah dia lakukan dulu? Apakah dia peduli pada masa depanku dan kebahagiaanku yang terampas?” teriakku, kalap. Tante Lin terenyak mundur.
Sambil berlinang air mata, aku meratap lirih, ”Siapa yang pernah peduli pada perasaanku? Selalu dianggap tak ada. Bahkan, kalian sepakat mengecapku sebagai anak pembawa sial yang harus diusir keluar dari rumah. Tante tahu, bagaimana perasaanku selama belasan tahun? Sakit sekali. Padahal, aku hanya minta satu hal. Aku hanya ingin Mama menyampaikan penyesalan. Cuma itu! Terlalu kurang ajarkah permintaan itu?”

“Mamamu menyesali kejadian itu, Mei Cen. Dia ingin….”

“Maaf, banyak pekerjaan yang menunggu.” Cepat-cepat aku mengeringkan mata, lalu membuka pintu lebar-lebar. Sesaat Tante Lin ternganga, kaget melihat sikapku. Perlahan ia meraih tasnya, mengambil sebuah bungkusan tipis dan menyerahkannya padaku.

“Hadiah ulang tahun dari Mama.”

Aku menatap bungkusan itu dengan sinis. ”Tumben, dia ingat ulang tahunku. Bilang padanya, terima kasih untuk kadonya yang sangat berharga. Tapi sayang, aku tak mau menerimanya.”

“Mei Cen!”

“Maaf, Tante. Selamat siang!”

Tante Lin memandangku dengan marah. Setelah puas beradu mata, ia berbalik pergi. Saat bayangannya menghilang, aku tertunduk lesu. Rasanya, sukmaku mati rasa.

Kenapa setiap kali aku ingin melupakan semuanya, selalu ada yang kembali mengungkit luka itu? Tak bisakah aku kini membangun kembali puing-puing keruntuhan hidup, tanpa harus direcoki percikan-percikan api masa silam?

Siantan, Pontianak
21 Juli 2004
Derit kereta dorong mengusik telingaku. Tiga perawat lewat di depanku mendorong seorang kakek yang terbaring di ranjang beroda. Aku mengerjapkan mata, menyusun kembali ingatanku. Rupanya, aku ketiduran di kursi. Semalaman aku bolak-balik mengintip keadaan Mama dari depan pintu kamarnya. Aku tak punya keberanian untuk menemuinya.

Ketika mengintip keadaan Mama kemarin, aku sedikit menyesal karena tidak langsung menanggapi telepon dari Tante Lin, yang sudah menghubungiku selama sebulan terakhir. Ketika kemarin ia meneleponku lagi, aku tahu, mungkin tak banyak lagi waktu tersisa.

Aku beranjak menuju ruang perawat. Informasi yang kudapat sungguh mengejutkan. Keluarga sudah membawa Mama pulang satu jam yang lalu.

“Memangnya, sudah sembuh?” tanyaku, penasaran.

“Keluarganya ingin merawat di rumah saja,” kata seorang perawat.

“Kenapa?” tanyaku lagi.

“Dokter bilang sudah tidak ada harapan. Tinggal menunggu waktu saja,” ucap perawat itu.

Jawaban itu membuatku tersentak. Tak ada harapan. Menunggu waktu. Maut sudah di ambang pintu. Mati.

Akhirnya, langkah kaki membawaku kembali ke pintu kayu yang sudah kusam dan terkelupas itu. Mataku berkaca-kaca. Inilah rumah yang pernah kutinggali dulu, saksi bisu riwayatku. Aku mendorong pintu perlahan. Sepi, tak ada siapa-siapa. Aku melambatkan langkah, menyusuri jejak masa kecilku. Beberapa pojok ruangan tampak kotor dan tak terawat.

Rupanya, seluruh anggota keluarga sedang berkumpul. Mata mereka terbelalak ketika melihatku. Tanpa berkata apa-apa, aku mendekat ke pembaringan. Bau kotoran manusia menyergap penciumanku, berbarengan dengan bau apak. Entah siapa yang mengomando, satu per satu mereka keluar.

Dengan pedih aku meneliti sekujur tubuhnya.Dari balik selimut tipis, aku melihat tonjolan tulangnya. Mukanya tirus. Kedua matanya terpejam. Tangannya terlipat di dada. Lima belas menit aku hanya memandangi wajah Mama.

Sambil mengumpulkan keberanian, aku mendekat ke telinganya dan berbisik menyapanya. Sungguh, saat ini tak tersisa benci dan dendam dalam diriku. Aku sudah melupakannya. Aku hanya ingin berkata-kata dengan Mama, menghiburnya, menjaganya.

“Mama, bisa dengar suaraku? Aku ingin minta maaf. Semestinya, aku bisa datang lebih cepat. Aku takut kita akan bertengkar lagi jika bertemu. Aku takut Mama akan mengusirku lagi.” Kuusap tangan Mama yang keriput.

Kubelai wajahnya. Kusisir rambutnya dengan jari-jari tangan. Hal yang tidak mungkin aku lakukan dulu. Bermanja-manja dan berpelukan dengan Mama hanyalah angan-angan. Sekarang, aku bisa bebas menyentuhnya. Tapi, ironisnya, dia tak sadarkan diri.

“Mama, banyak hal yang ingin kuceritakan. Mama tahu, aku tidak lagi menjual kue seperti dulu. Aku sudah tamat kuliah. Aku ingin minta maaf untuk semua kesalahan yang pernah kulakukan. Aku sering membuat Mama marah….” Aku terus berupaya membangunkan Mama.

Beberapa jam berlalu. Aku terus berceloteh tanpa henti. Tiba-tiba sepasang tangan menyentuh bahuku.

“Dia sudah meninggal tadi pagi…,” bisik Tante Lin. Bisikan itu sangat lembut, tapi efeknya sangat luar biasa. Sesaat aku termangu. Rasanya, sekujur tubuhku kosong. Hampa dan sunyi.

Baru kusadari, kepergian Mama membawa pergi sebelah hatiku. Belum sempat kami merekatkan kepingan-kepingan yang terko-yak, Tuhan memanggilnya. Aku menguatkan hati, mencoba tidak menangis. Tapi, butiran air mata jatuh juga di pangkuanku.

“Dia pergi sambil membawa penyesalan,” ujar Tante Lin, serak. “Penyesalan karena kau tidak pernah tahu bahwa ia sudah menyadari kesalahannya, karena kau menolak hadiah darinya.”

“Hadiah? Hadiah apa?” aku memalingkan wajah pada Tante Lin.

“Aku membawanya waktu datang ke kantormu tiga tahun lalu. Kau sama sekali tidak mau menerimanya, bukan?” ujar Tante Lin, sarat dengan kecewa. Aku menggeleng lemah.

“Tiga tahun lalu, tangan kanan mamamu sudah lumpuh. Bicara tidak jelas. Ia minta disediakan kertas dan tinta. Dengan memaksakan diri, ia menuliskan kata itu dengan tangan kirinya. Ia berpesan, surat ini harus sampai di tanganmu. Harus. Surat ini hadiah ulang tahunmu. Ia ingin kau tahu, sebenarnya ia menyayangimu.”

Tante Lin lalu berjalan ke arah lemari, mengambil sesuatu, lalu mengangsurkan sebuah bungkusan.

Tak sabar aku menyobek sampul dan menemukan lipatan kertas di dalamnya. Tangisku tak terbendung. Pertahanan diriku bobol sudah. Alangkah egoisnya aku! Alangkah jahatnya! Mama, bisakah kau mendengar suaraku? Aku mohon, beri aku kesempatan sekali lagi. Aku mohon! Tuhan, berikan keajaiban, sekali ini saja!

Sambil terus meraung memanggil nama Mama, kuciumi kertas dalam genggaman tanganku. Tulisan yang tertera di kertas itu tampak dibuat dengan susah payah. Bentuknya acak-acakan. Sulit terbaca. Kertas putih buram itu hanya bertuliskan satu kata: M A A F (Tamat)

Penulis: Ruddy Raharjo
(Pemenang Kedua Sayembara Mengarang Cerber femina 2004
)




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?