Fiction
Rafiq & Sari [9]

15 May 2012


Bapak dan Ibu Rivai berdiri bagai tersambar petir. Keduanya pucat. Ibu Rivai jatuh terduduk lunglai di kursi. Pak Rivai mengambil napas panjang, menutup matanya, dan berdoa, “Ya, Tuhan, jangan biarkan ini terjadi. Tenangkan hati hamba supaya dapat menyelesaikan ini dengan kepala dingin. Lalu, ia membuka matanya. “Tidak! katanya, tegas. “Tidak!


Rafiq tertunduk. “Saya dikatakan berzina. Maka, saya harus menikahi wanita ini agar tidak mendapatkan kutukan Allah.”

“Rafiq, ia wanita malam.”

“Bapak, jangan menyebut calon istri saya wanita malam.”

“Tapi, ia pelacur!”

“Bapak, lebih besar pahalanya jika menyelamatkan wanita yang jatuh daripada menikahi seorang perawan.”

“Saya tidak akan biarkan itu terjadi! Kalau mau mempermalukan keluarga, anggap saja bukan keluarga! Bawa dia jauh-jauh dari sini.”

“Bapak, saya tahu, apa pun yang saya katakan saat ini, Bapak tidak akan percaya dan tidak akan terima. Jadi, saya akan membawa dia jauh-jauh dari sini, menikahinya di hadapan Allah, demi berbuat yang benar.”
Rafiq memegang tangan Sari dan menariknya keluar dari kamar. “Rafiq!” teriak ibunya. “Kamu sudah gila? Mau meninggalkan Ibu demi dia?”

“Saya tidak meninggalkan Ibu,” kata Rafiq. Meskipun ia bicara tegas, ia merasa seperti membacakan vonis matinya sendiri. “Tapi, saya membawa aib dari hadapan Ibu dan Bapak, sampai Tuhan dan waktu berkenan menerangi kami semua dengan cahaya kebijakan-Nya. Saya sudah berjanji, bukan pada seorang pelacur, tapi pada seorang anak manusia dan makhluk Allah. Dengan berbuat yang saya yakini, saya menghormati Bapak dan Ibu yang telah memberi saya kehidupan dan bimbingan. Tuhan tidak melakukan sesuatu tanpa maksud, Ibu. Sekarang, saya harus menyerahkan tindakan saya kepada Tuhan.”

Sari ingin berteriak, “Jangan! Jangan lakukan ini demi saya. Ini bukan yang saya maksud dan saya ingini!” Tapi, setelah semua kejadian itu, ia seperti kehilangan semangat dan kemauan. Ia terisak-isak, sehingga tidak dapat bicara. Ia membiarkan dirinya dituntun.

Ibu Rivai ingin sekali menahan Rafiq.

“Bu,” kata Pak Rivai. “Biarkan!”

“Teganya kamu!”

“Bukan masalah tega, Bu. Saya tadi sudah mengusirnya. Saya tidak dapat menjilat ludah kembali. Saya salah karena emosi, padahal saya yang harus lebih dewasa dan berpikir jernih. Biarkan mereka pergi! Saya yakin, Rafiq tidak bodoh. Kalau kita lanjutkan, akan tambah rumit. Mungkin, ia memang tidak bohong. Tapi, ia menjadi korban kekerasan hatinya. Kalau ia tidak berbohong, Tuhan akan mengembalikannya pada kita. Ia akan kembali dan berpikir. Ia akan menceraikan wanita itu pada waktunya. Ia akan dewasa.”

“Kalau tidak diceraikan?”

“Rafiq bukan anak durhaka, Bu. Sudah, saya juga pusing! Ia juga anak saya. Saya juga tidak suka, tapi sekarang sudah terjadi seperti ini. Kita bukan satu-satunya orang tua yang mengalami ini. Anak muda bisa berdosa dan bisa keluar rumah dengan iktikad tidak kembali. Tapi, Rafiq akan kembali, dan akan menceraikan wanita itu. Itu pun kalau jadi menikah. Sekarang kita harus menghadapi polisi-polisi dan tetangga kita.”

Rafiq menarik Sari keluar melalui orang-orang yang berkumpul di ruang bawah, yang ikut nguping pembicaraan yang setengah diteriakkan di kamar atas. Mereka menatap Rafiq dan Sari seperti melihat makhluk dari planet lain. Wajah-wajah mereka seperti sapuan bentuk-bentuk tak jelas, seperti dalam kabut. Rafiq berjalan seperti robot, seperti dalam mimpi, otaknya berhenti berpikir. Ia keluar, berjalan sepanjang jalan di depan rumah. Sampai jalan besar, ia memanggil taksi, memberinya satu alamat, lalu turun di depan rumah kos. 

“Wahyudi ada?”

”Oh, tidak ada. Keluar kota, katanya.”

Rafiq termenung. “Sari, saya tidak membawa dompet dan handphone. Taksi belum dibayar. Dan, kamu memakai piyama. Lalu, itu kain siapa?

Sari lalu berbicara dengan sopir taksi, menjelaskan hal yang Rafiq tak akan mungkin bisa menjelaskan. Mereka lalu dibawa ke toko mas sehingga Sari bisa menjual anting-anting dan gelangnya. Kecantikan, pembawaan, dan ada Rafiq di sisinya, membuat ia tidak dicurigai. Mereka kemudian bisa membayar taksi, serta membeli baju dan sepatu untuk Sari.

“Sekarang ke mana, Mas?” tanya Sari.

“Ke Solo,” kata Rafiq. 

Sejak meninggalkan rumah, kedua anak manusia itu seperti bergerak dalam mimpi buruk, sambil berharap akan segera ba­ngun dan tersenyum melihat sinar pagi. Dan, mereka tidak tahu bagaimana harus bersikap satu sama lain. Tapi, dari waktu ke waktu mereka sadar bahwa mimpi itu tidak akan lewat, dan kini mereka merasakan akibatnya.

Dengan kereta mereka menuju Solo. Makin jauh dari Jakarta, tapi makin dekat ke kampung Sari. Rafiq berpikir, apakah ia sudah diuji dan dijebak? Lalu, dengan menikahi Sari, apakah ia berarti sudah meluruskan kesalahannya dan mendapatkan pahala? Kalau sesederhana itu, mengapa ia sekarang berada di lantai kereta api? Lalu, dengan melawan orang tua, apa yang ia peroleh? Kutukan atau pahala? Ia jadi amat pusing memikirkan itu semua, terombang-ambing. 

Rafiq melihat Sari di sampingnya, seperti untuk pertama kalinya. Wajah yang diam dan setetes air mata berkilat di pelupuk, sebelum mengalir turun ke arah pipi. Serta merta Rafiq menghapus tetes itu. Ia melihat tubuh Sari gemetaran. Rafiq memeluk Sari dan ta­ngan Sari melingkari badan Rafiq. Sari menenggelamkan wajahnya di bahu Rafiq, menangis tanpa suara.

Sejak meninggalkan tempat Rafiq, Sari hampir tidak bicara. Hanya seperlunya saja. Ia sadar bahwa ia diselamatkan. Apakah Rafiq akan mengembalikannya ke orang tuanya, lalu meninggalkan ia di sana? Mungkin. Ia bila akan menikahinya. Tapi, itu bukan sesuatu yang nyata. 

Sari tiba-tiba meronta, mencoba melepaskan diri dari pelukan Rafiq. Hatinya berteriak. Saya pelacur, wanita tuna susila! Mengapa kamu memeluk saya seolah saya wanita baik-baik? Mengapa membela saya? Mengapa meninggalkan rumah dan mengantar saya, tidur di sini di lantai kereta? Sandiwara apa ini?

Suatu keputusasaan kembali menyelimutinya dan ia membiarkan dirinya ditarik kembali ke pelukan Rafiq. Sekarang, di sini, saya bersama penyelamatku yang baik. Kalau ia akan meninggalkanku, itu tidak membuatnya bukan penyelamatku. Tentu saja, ia akan meninggalkanku. Tapi, ia sudah melawan orang tuanya, demi saya. Besok saya akan kembali ke Bapak. Ya, Tuhanku, bagaimana saya harus bercerita kepada Bapak?

Rafiq mengambil napas dalam, mengosongkan batin dari semua kerusuhan, dibantu kelelahannya. Dan, ia hanya berdua dengan Sari di tempat yang mirip kereta api, tapi sebenarnya bagian dari surga. Ia bersama seorang gadis cantik, ia telah menyelamatkannya, ia telah berbuat sesuatu yang baik dan berani. Bapaknya pasti akan dapat mengerti setelah tidak emosi lagi.

Sepasang anak manusia tidur berpelukan di antara koran tua, botol air kosong dan kulit buah, di antara kaki penumpang, dilangkahi penjual tahu dan mainan anak-anak. Kereta terus berjalan menembus malam.


                                                          cerita sebelumnya >>


Penulis: Iwan Cipto


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?