Fiction
Rafiq & Sari [8]

15 May 2012


Tapi, ia lalu tertidur di kursinya. Sempat bangun untuk salat subuh, lalu melanjutkan tidur di bangku panjang. Sewaktu ia bangun, orang tuanya sudah meninggalkan rumah. Ia tidak punya pilihan, ia harus memandikan Sari, dan mendudukkannya di toilet, dengan harapan itu membantu. Lalu, ia mengembalikan Sari ke tempat tidurnya, dan turun untuk mengambil makanan. Rafiq memberi instruksi kepada pembantu untuk tidak masuk kamarnya. Kalaupun heran, para pembantu tidak mengatakan apa-apa. Biarpun keheranan, mereka jadi agak curiga melihat Rafiq membuat sup instan.


“Masalah lagi!” gerutu Rafiq. “Bagaimana membawa anak itu keluar tanpa ketahuan 3 pembantu? Mengapa harus ada banyak pembantu di rumah ini?”

Ketika Rafiq berada di lantai bawah, Sari tersadar. Ia seperti diserbu trauma masa lalu. Ingatan semua kejadian yang menimpanya membuatnya panik. Ia melihat pintu terbuka dan keluar ke balkon. Tanpa ragu, ia memanjat pagar balkon, melompati pagar, dan tiba di rumah sebelah. Melihat pakaiannya sobek karena tersangkut paku, Sari mengambil kain yang sedang dijemur, lalu melihat sekelilling, mencari jalan keluar.

Ia kaget setengah mati mendengar teriakan, “Maling, maling!”, dan baru sadar bahwa dialah yang dimaksud, setelah seorang wanita berteriak sambil menudingnya. Berdetik-detik ia berdiri tanpa bisa bergerak. Lalu, ia berlari kencang keluar dari rumah itu. Namun, ketika tiba di depan pagar rumah itu, Iwan sudah berada di depannya, sambil menyeringai lebar. 

Sari berbalik, lari masuk ke rumah Rafiq. Pembantu di rumah Rafiq mendengar teriakan pembantu sebelah dan ingin melihat apa yang terjadi. Sari menabrak pembantu wanita Rafiq hingga terjatuh. Rafiq tertegun melihat Sari berlari masuk diikuti Iwan. Tanpa banyak berpikir, Rafiq mengambil vas kesayangan ibunya dan melemparnya ke kepala Iwan, yang langsung terhuyung. Rafiq menangkap tangan Sari dan menariknya ke tangga, naik, masuk kamarnya, dan mengunci pintu.

Tiba-tiba Iwan tersadar bahwa ia berada di dalam rumah orang. Ia segera keluar, naik ke dalam mobil putihnya, lalu pergi. Sementara itu, Rafiq dan Sari di kamar berpelukan hingga polisi datang. Tak lama, orang tua Rafiq, yang ditelepon oleh pembantu, datang. Mereka menemukan sejumlah polisi dan pembantu tetangga di rumahnya, pecahan vas dan percikan darah di karpet yang mahal. Mereka mendengar laporan, “Ada pencuri wanita gila masuk rumah tetangga dan mencuri jemuran, tapi kepergok dan melarikan diri. Ia lari masuk rumah ini karena dikejar seseorang. Tapi, Den Rafiq memecahkan vas di kepala orang itu, dan membawa wanita gila itu ke kamarnya. Lalu, ia mengunci pintu dan tidak mau keluar.”

“Lalu, ke mana orang yang kepalanya dilempar vas?”

“Sudah pergi.”

“Nah, itulah anak kita!” kata Pak Rivai pada istrinya. “Ia tidak tega melihat pencuri ditangkap dan dipukuli. Apalagi, dia wanita. Ingat peristiwa kemarin, saat ia membela seorang wanita malam? Sekarang ia pasti shock. Coba saya lihat keadaannya. Pak polisi, silakan duduk. Biar saya tanyakan anak saya, apa yang sebenarnya terjadi.”

Pak Rifai naik ke kamar Rafiq dan mengetuk pintu. “Rafiq, ini Bapak! Buka pintunya!”

Rafiq membuka pintu dan melihat bapaknya seperti melihat hantu. Di belakang Rafiq, Sari duduk di tempat tidur, masih terisak-isak. Pak Rivai tertegun. Apa pun yang terjadi, masalahnya lebih rumit dari yang diperkirakan. Pak Rivai memandang istrinya yang ikut masuk.

“Bu, tolong Ibu temani dulu petugas kepolisian yang ada di bawah. Saya ingin bicara dengan Rafiq.”

Bu Rivai melempar pandangan ke arah Sari bagaikan tusukan belati. Ia meninggalkan kamar tanpa mengatakan apa pun. Pak Rivai berdiri memandang anaknya, sampai kepalanya sedikit dingin.

“Rafiq, apa yang terjadi?”

“Bapak, ini Sari yang saya ceritakan.”

“Sudah berapa lama Sari ada di sini?”

“Satu malam.”

“Lalu, mengapa ia dibilang mencuri pakaian di sebelah?”

“Tidak tahu.”

“Lalu, mengapa kamu melempar vas?”

“Yang saya lempar adalah orang yang memukuli saya.”

“Yang datang untuk mengambil wanita itu kembali?” suara Pak Rivai mulai meninggi. “Jadi, benar yang dituduhkan kemarin itu? Beraninya kamu! Diam-diam Bapak memelihara anak munafik, ya! Itu hasil didikan Bapak selama ini? Di rumah ini, di bawah atap ini, terjadi perzinahan. Anak Bapak yang pura-pura alim telah menodai rumah ini, di bawah ayat-ayat yang kamu gantung di tembok, lalu kamu lecehkan!”

Tak tahan lagi, Pak Rivai menampar wajah Rafiq berkali-kali, sambil setengah berteriak: “Seolah itu tidak cukup, kamu sekarang membuat malu! Polisi masuk rumah, pembantu tetangga masuk rumah!”

Kata-katanya langsung disambung Ibu Rivai, yang menuding Sari, “Keluar kamu! Keluar! Beraninya kamu merusak anak saya! Keluar!”

Sari bangun dan dengan muka tunduk berjalan keluar. Ketika ia melewati ibu Rivai, ia dijambak dan tubuhnya diguncang, sambil disumpahi. Sari berteriak kesakitan. Rafiq menangkap tangan ibunya. “Bu, jangan! Jangan! Ia tidak bersalah. Ibu tidak tahu apa yang terjadi!”

Kemarahan Pak Rivai menjadi. Dengan kasar ia menarik tangan Rafiq. “Anak durhaka! Sekarang berani melawan orang tua? Sudah gila kamu!?”

Rafiq menangkap Sari yang sudah akan berlari keluar. Ia menghadap bapaknya, sambil menangis: “Pak, Bu, dengar. Saya mem­beri Sari kartu nama, mengatakan saya akan membantunya. Ia ke sini karena disiksa, karena putus asa, dan ia hanya menagih janji”.

“Janji? Janji apa?”

“Janji saya untuk membantunya. Tapi, saat ia tiba di sini saya menabraknya dan ia pingsan. Karena panik, saya membawanya masuk, lalu tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan.”

“Bohong!”

“Demi Allah!”

“Jangan menyebut nama Allah, pezinah!”

“Baik, saya sudah berzinah!”

“Ya, Allah, ya, Tuhan, ia mengaku!”

“Bukan seperti yang Bapak pikir. Saya tidak melakukan itu. Tapi, saya telah bermalam dengan wanita yang bukan muhrim dalam satu ruangan, di bawah satu atap. Apa pun alasannya, saya mengaku bersalah dan telah mempermalukan Bapak dan Ibu. Saya bersedia menghapus aib itu!”

“Bagaimana lagi? Biarpun kamu memohon ampun seribu kali, aib sudah telanjur terjadi!”
“Saya tidak memohon ampun. Saya akan menikahi Sari.” (Bersambung)


                                                               cerita selanjutnya >>


Penulis: Iwan Cipto


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?