Fiction
Rafiq & Sari [10]

15 May 2012


Mereka terbangun di pagi hari. Perasaan Sari gembira dan khawatir. Ia akan segera melihat bapaknya. Ya, ada bekas luka dan orang bisa saja bergunjing. Tapi, ia telah meninggalkan neraka. Dan, ia tidak datang sendiri. Sayang, ia harus menjelaskan bahwa pemuda ganteng itu bukan tunangannya.


“Sari, ayo, kita makan pagi dulu.”

|Mereka duduk di warung, memesan kopi dan teh, dan menikmati pisang goreng. Setelah itu mereka beli sabun, odol dan sikat gigi, dan mandi di kamar mandi umum. Setelah itu, semangat muda mereka menyala kembali.

“Ri, kenapa, sih, harus kabur ke rumah sebelah?”
Sari cekikian, tapi lalu serius. “Saya benar-benar bingung karena tiba-tiba berada di kamar orang. Mas, mengapa menolong Sari?”

“Sari, siapa pun yang sempat akan melakukannya.”

Lama mereka diam, sampai mereka sadar bahwa mereka sudah terlalu lama duduk di warung itu. 

“Ke terminal, Mas? Mau ngantar Sari kan? Ke rumah Sari?”

“Tapi, apa kata orang tuamu nanti?”

“Tidak apa-apa. Mas dari perusahaan Sari dan mengantar karena kebetulan Sari seorang diri. Lalu, Mas pulang ke Jakarta, minta maaf kepada orang tua Mas, cium tangan mereka. Sari akan minta maaf pada Bapak. Lalu, kita lupakan semua kejadian ini.”

Tiba-tiba Rafiq tersipu-sipu. “Maunya begitu, Sari?”

“Sari tidak tahu. Sari sudah keluar dari neraka. Tapi, Sari takut orang tahu. Lagipula, utang Bapak kan belum lunas. Bagaimana kalau Bu Yati menagih?”

Rafiq malah kelihatan jadi bersemangat. “Itu bukan masalah kecil, Sari. Jadi, masih banyak yang harus dilakukan. Tapi, sekarang ikut saya dulu.”

“Ke mana?”

“Menemui seseorang. Tapi, Sari, kita perlu belanja lagi. Kamu perlu pakaian yang lain.”

Dengan sisa penjualan perhiasan, Sari masih bisa membeli satu pasang baju muslim, untuknya dan untuk Rafiq. Di pinggiran kota Solo, Rafiq pernah tinggal di sebuah pesantren. Sekarang, Rafiq mengajak Sari ke sana, ke sebuah rumah besar di kompleks, tempat KH Abdul Rauf, guru dan panutan Rafiq. 

Menemui kiainya, Rafiq mencium tangannya penuh hormat. Sesuai yang diinstruksikan Rafiq, Sari memberi hormat, tanpa menyentuh. Abdul Rauf langsung mengerti bahwa Rafiq membawa suatu persoalan dan persoalan itu bernama Sari. Dengan ramah diajaknya kedua anak muda itu duduk di permadani di sudut kamar. Setelah teh dihidangkan dan mereka mengobrol, Abdul Rauf tiba-tiba bertanya, sambil memandang Rafiq tajam, “Nak Rafiq, ada tujuan apa menemui saya dan apa hubunganmu dengan Dik Sari ini?”

“Nikahkan kami, Pak Kiai.”

“Oh, begitu. Cerita apa ini? Kawin lari?”

Rafiq lalu menceritakan apa yang terjadi. Sari duduk dengan kepala tunduk, keringat dingin mengucur. Ia sangat takut pada Pak Kiai, biarpun ia ramah. Ia merasa, di mata Pak Kiai, ia bukan apa-apa, suatu aib yang tidak pada tempatnya berada di situ, pusat pendidikan agama, yang sarat dengan lambang-lambang religius.

Abdul Rauf mendengar dengan sabar. Beberapa lama ia memandang kedua anak muda di hadapannya itu. Ia sudah banyak makan asam garam kehidupan, ilmu dan penghayatan agamanya mendalam.

“Nak Rafiq, kamu pergi dari sini membawa ilmu. Sekarang kembali ke sini membawa pelarian. Rafiq, kamu tahu siapa yang kamu bawa itu?

“Saya tahu, Pak Kiai”.

“Dik Sari dari tadi diam saja. Apakah Nak Rafiq bercerita jujur?”

“Pak Kiai, semuanya benar.” Air matanya mengalir. “Dan, Mas Rafiq menyelamatkan saya. Tapi, saya tidak tahu akan diajak ke sini. Saya kira akan dibawa kembali ke desa saja.”

“Mungkin, Nak Rafiq pikir, masalahnya sederhana. Nikahkan saya. Begitu saja? Bagaimana dengan orang tuamu? Lalu, siapa wali calon istrimu? Kamu tidak berpikir panjang. Bukan begini caranya. Saya tidak akan melanggar kehendak bapakmu. Saya kenal bapakmu dengan baik dan ini bukan main-main. Kamu tidak bisa mengambil keputusan begitu saja bahwa kamu harus menikah karena telah berzina. Itu semua bukan alasan harus menikah tanpa restu orang tua. Nak Rafiq, tolong antar Dik Sari ke desanya.”

Rafiq tertegun. Wajahnya merah padam. Ia tidak berpikir akan dinikahkan begitu saja. Tapi, yang ia harapkan adalah sedikit simpati, pendapat, dan nasihat yang mendukung. Sesuatu yang bisa membuat orang mengerti, mengapa ia sampai melawan orang tuanya. Paling sedikit, akan didengar dengan penuh perhatian, khususnya oleh kiai yang sudah dianggap bapak keduanya. Ia sudah meyakinkan dirinya bahwa yang diperbuatnya itu baik. Tapi, ia butuh konfirmasi.

Ia minta diri dan keluar diikuti Sari, yang ikut terpukul. Sari juga merasa bahwa yang ia boleh harapkan adalah simpati, setelah sekian lama membawa citra diri yang sangat negatif. Rafiq membuatnya berharap bahwa ia boleh memandang diri bukan sebagai wanita yang jatuh, tapi korban penipuan dan perbudakan, korban penganiayaan. Sekarang, ia kembali ragu-ragu. 

“Serangan jantung?” 

Sari mengempaskan diri di kursi panjang, tempat bapaknya biasa duduk kalau sedang santai. Ia merasa seperti tenggelam makin dalam, hingga tidak bisa bernapas lagi. Ia menggelepar dalam kegelap­an. Tapi, kesadaran tidak meninggalkannya. Pecahlah dari kerongkong­an Sari suatu lolongan panjang, melengking, menusuk kalbu, bagai pisau yang diputar dalam luka. Rafiq bergidik dan ia menubruk Sari, pertahanan terakhirnya ambruk. Ia memeluknya erat-erat. “Sari, Sari, mengapa tidak ada habisnya penderitaanmu?”

Sari menangis meraung-raung, lalu tiba-tiba terdiam, badannya lemas, dan tanpa daya ia terletak di pelukan Rafiq. Rafiq meng­usap kepala dan wajah Sari. Tetangga yang tadinya berdatangan dan melihat kemesraan Sari dan Rafiq, satu per satu meninggalkan mereka berdua di rumah yang kosong. Tinggal Pak Warno dan istrinya, Mawar, bibi Sari yang paling muda, yang dalam dua minggu terakhir menempati rumah itu. Setelah jelas bahwa Sari sedang berada di luar jangkauan, mereka pun memutuskan bahwa ia lebih baik didampingi Rafiq. Mereka menjelaskan pada Rafiq siapa mereka, alamat mereka, kemudian meninggalkan kedua anak manusia itu sendiri.
Malam itu Rafiq tidur di samping Sari. Malam itu adalah malam kedukaan dan malam ketakutan. Rafiq mulai takut bahwa Sari telah kehilangan akalnya. Ia tidak tidur, tetapi memandang dengan mata kosong. Rafiq juga tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Akhirnya, ia tertidur di samping Sari.


                                                           cerita selanjutnya >>


Penulis: Iwan Cipto


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?