Fiction
Rafiq & Sari [11]

15 May 2012


Keesokan harinya Sari berangsur-angsur pulih. Ia tidak mengatakan apa pun. Makan dan minum kalau disuruh. Berjalan kalau dituntun. Tapi, ia sadar apa yang terjadi sekitarnya, siapa yang bicara padanya, dan apa yang dikatakan. Keluarga dan tetangga berdatangan. Mereka menuntunnya ke makam bapaknya. Rafiq di sampingnya bagaikan bayangan. Lama Sari bersimpuh di makam, tempat ibu bapaknya berdampingan.


Rafiq akhirnya diwawancara para sesepuh kampung. Dan, hari itu Rafiq belajar untuk berbohong, demi Sari. Ia bercerita, ia bekerja di perusahaan tempat Sari bekerja. Mereka sepakat mau menikah dan mereka pulang untuk meminta restu bapak Sari. 

Keputusan para sesepuh menggembirakan. Rafiq dan Sari akan langsung dinikahkan. Biar arwah pak guru bisa tenang, karena semua orang tahu betapa ia mencintai anak semata wayangnya. Demi Sari, yang membutuhkan pegangan. Kemesraan yang diperlihatkan Rafiq dan penyerahan Sari kepadanya diartikan dalam satu hal. Kalau belum dilakukan, sebentar lagi akan dilakukan. Bagaimana pun, mereka sudah bermalam berdua di rumah itu. 

Kedua kalinya Rafiq berbohong, mengatakan bahwa orang tuanya ada di Padang. Rafiq tidak berdaya menghadapi satu desa yang sudah sepakat melakukan yang terbaik bagi pak guru almarhum dan anaknya tersayang. Ia merasakan, kalau ia menolak dengan tegas, orang akan mulai curiga, akan mulai bertanya-tanya, dan akan mulai menyelidik. Maka, ia menyerah. Demi nama baik Sari. Demi nama baik pak guru. 

Sari seperti bangun dari mimpi dan menjadi dirinya kembali. Ia bersimpuh di pangkuan Rafiq. “Mas, maafkan Sari. Sejak meninggalkan rumah ini, saya kehilangan diri saya. Apa yang terjadi, bertentangan dengan kehendak saya. Hanya satu hal saya lakukan atas kemauan sendiri, melarikan diri dan datang padamu. Kalau itu tidak terjadi dan saya tidak dibawa ke dalam, kalau saya tidak panik dan lari ke kebun tetangga....”

“Andaikan ini dan andaikan itu. Kalau saya tidak ikut Wah­yudi malam itu, kalau saya menolak masuk kamarmu, kalau saya tidak membawamu masuk, tapi membawamu ke rumah sakit.... Tapi, lalu apa?”

“Akibatnya, kamu dikawinkan dengan saya, seorang pelacur!”

Mata Rafiq berkilat, ia pun mulai merasa menjadi dirinya kembali. “Sari, kamu menjadi korban perbudakan, penyiksaan, dan pemerkosaan. Pelacur adalah orang yang menjual diri dan kapan kamu jual dirimu? Kamu dijual. Dan, waktu kamu memutuskan untuk melarikan diri, Tuhan menolongmu karena pelarianmu membuat pantas untuk mendapatkan pertolongan. Saya hanya menjadi alat-Nya untuk itu.”

“Tidak, Mas. Mas lebih dari alat.”

“Sari, untuk menjadi alat, saya juga mendapat hadiah. Kamu!”

Mereka saling berpandangan. Tiba-tiba Rafiq mulai tertawa, makin lama makin keras. “Ha... ha... ha.... Apa kata Wahyudi kalau mendengar cerita ini? Saya diajak oleh masyarakat satu desa dengan setengah paksa. Kita jadi Tuan dan Nyonya Rivai. Ha... ha...ha.... Bapak dan Ibu Rivai di desa yang saya baru tahu keberadaannya beberapa hari lalu. Di rumah yang boleh disebut rumah sendiri. Tidak pernah berpacaran, tiba-tiba punya istri. Ingin lihat wajah Pak Kiai kalau ia tahu apa yang terjadi....”

Mau tidak mau Sari tertawa juga. Ketegangan, kesedihan, kebingungan, dan kegalauan kedua anak muda itu terlepas menjadi derai tertawa, hingga mereka lemas. Malam telah tiba. Karena Rafiq kelihatannya tidak tahu apa yang harus ia lakukan, Sari menarik tangannya, membuka bajunya, menuntunnya ke kamar mandi. Rafiq membiarkan semua itu terjadi. Dimandikan, dipakaikan sarung, dibimbing ke kamar tidur.

Sari tahu, malam pengantin itu harus menutup tabir atas masa lalunya. Ia harus dapat menutup matanya dan gunung yang menjulang, jurang yang menganga itu harus dilewati dengan terbang tinggi berbekal sayap cinta.

Mereka berdua lalu pindah dari desa Sari, menuju sebuah pesantren milik KH Farouk al Kabuli, yang juga pernah dikenal Rafiq. Tapi, Rafiq resah. Ia sangat rindu pada orang tuanya. Cara ia meninggalkan rumah dengan marah, rasanya bertentangan dengan hati dan ajaran agama. Sementara Sari kelihatan bahagia. Ia cepat terbiasa dengan busana muslim yang ia harus kenakan di lingkung­an pesantren. Ia rajin mengaji dan belajar salat dari Rafiq. 

Namun, menurut pandangan Rafiq, bagi Sari itu lebih merupakan penyesuaian sosial daripada batin. Namun, ia tidak terge­rak untuk mengajari Sari tentang Islam yang lebih mendalam, karena ia sendiri merasa kehilangan sesuatu. Ia tahu, semua pe­nga­laman hidup telah mengubahnya. 

Rafiq lalu menghadap Pak Kiai, menjelaskan bahwa ia ingin waktu untuk berpikir, mencerna, dan mengendapkan pengelamannya. Ia ingin memperkenalkan Sari pada orang tuanya. Ia ingin dimaafkan. Setelah itu, ia akan mengambil keputusan lebih jauh. Mungkin saja ia akan kembali ke pesantren. Entahlah. Tapi, Pak Kiai menanggapi hal itu dengan baik. Ia menyarankan agar Rafiq membangun pesantren di pulau lain. 

Bagaimana orang tuanya tidak akan memaafkannya kalau Rafiq datang sebagai kiai? Kalau Sari ternyata sudah bertobat total dan membawa bayi mungil untuk diletakkan di pelukan ibunda?

Begitu pintar dan berapi-api Pak Kiai berbicara, hingga Rafiq tidak berdaya dan mengiyakannya. Maka, pada suatu sore yang cerah, ia dan Sari diantar ke stasiun bus, menuju pulau itu, untuk memulai kehidupan baru sebagai pembina pesantren baru. 

Musim hujan baru berlalu, cuaca kering, tapi bumi hijau. Rafiq duduk di bangku di depan rumah mereka yang agak terpisah dari kompleks pesantren, memandang langit yang memerah menjelang senja. Angin bertiup, sejuk. Suara-suara siang hari memudar, angin terkadang membawa suara dari desa di seberang lembah. Suara seseorang memanggil, suara anak menangis sesaat, suara mengeluh seekor sapi, keheningan untuk beberapa lama. Sayup-sayup suaru motor memecahkan kesunyian, menghilang. Akhirnya, angin pun seolah tidur di pelukan lembah. Sari keluar dari rumah membawa secangkir teh. 

“Sari,” suara Rafiq lembut, “anak-anak sudah tidur?”

“Sudah.”

“Kemari Sari.”

Sari duduk dekat Rafiq dan meletakkan kepalanya di dada Rafiq. Ia tidak memakai jilbabnya. Rambut panjangnya yang hitam mengilap bagai aliran air terurai melewati bahunya. Dengan pelan tangan Rafiq mengelus rambut itu.

“Bahagia, Sari?”

“Ya.”

Lama mereka diam. Bulan meninggi di langit dan masih pucat. Tapi, dengan pelan menjadi terang setelah langit menjadi semakin gelap. Di barat, awan tampak diterangi oleh sinar matahari terakhir. Tanpa kata-kata, Rafiq dan Sari menikmati kedamaian petang dan kedekatan mereka. Tamat

Penulis: Iwan Cipto


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?