Fiction
Prahara [3]

13 May 2012


Bagas memperlambat mobilnya ketika memasuki kota Sokaraja di sebelah timur Purwokerto. Lepas tengah hari tadi ia berangkat dari kantor, istirahat sebentar di Cirebon, dan kini tengah mencari, sambil mengingat-ingat rumah makan getuk goreng yang pernah disinggahi bersama Cici, sebelas tahun silam. 

Cukup banyak perubahan dalam kurun waktu itu. Satu yang tidak berubah, toko-toko getuk goreng dan lukisan pemandangan yang khas itu tetap ramai dikunjungi pembeli. Bagas menghentikan mobilnya. Turun dengan ragu dan memastikan rumah makan inilah yang dia kunjungi bersama Cici, ketika mereka nekat kabur dari sekolah dan berboncengan sepeda motor tak tentu arah.

“Silakan, Pak, mau makan di sini atau untuk oleh-oleh?” Gadis cantik putri pemilik rumah makan menyapanya dengan dialek khas Banyumas.

“Ya, terima kasih. Saya mau dua-duanya.”

Secangkir kopi dengan butiran-butiran kasar mengambang segera mengalihkan perhatian Bagas dari acara musik di televisi. Ia baru akan menghirup kopinya ketika tiba-tiba siaran terhenti dan muncul pemberitahuan bahwa siaran musik dijeda. Lalu, seorang penyiar wanita muncul dalam siaran langsung.

Naluri Bagas mengatakan, berita itu menarik perhatian dan penting. Ketika melihat foto Citra ditempatkan di sudut layar, dadanya berdegup kencang.

“Artis film dan sinetron terkenal, Citra, siang tadi diberitakan tewas dalam sebuah kecelakaan. Sumber-sumber yang berhasil kami hubungi mengatakan, saat ini Citra terlibat dalam persiapan pembuatan film Pelarian dari Jawa.”

Beberapa pelayan yang sedang bekerja menghentikan kegiatannya, bergabung dengan beberapa pengunjung, menyimak siaran itu. Semuanya terkejut dan penuh ingin tahu. Bagas mengurut keningnya.

“Seorang sumber yang dekat dengan Citra mengatakan, kematian itu terjadi di lokasi syuting film. Menurut informasi, kemungkinan besar Citra melakukan bunuh diri dan bukan kecelakaan. Sumber lain menyebutkan, kematian Citra ada hubungannya dengan keretakan rumah tangganya, di samping munculnya orang ketiga.”

Beberapa cuplikan adegan film dan sinetron yang dibintangi Citra ditayangkan sebagai visualisasi narasi penyiar. 

“Kemunculan orang ketiga ini sudah diketahui kalangan dekat. Sumber lain mengatakan, kematian Citra mungkin ada kaitannya dengan pemuatan serial Bagasantara oleh majalah Cineast pekan ini. Dalam artikel tersebut, tokoh Bagasantara digambarkan memperoleh kiriman jenazah penyanyi terkenal bernama Nila. Beberapa hari yang lalu Citra dan pria teman dekatnya, menemui kolumnis gosip terkenal Bagas untuk suatu keperluan yang belum diketahui....”

Bagas tercenung. Kenapa bisa begini? Ia tidak memercayai satu pun informasi dari televisi itu.

Raungan sirine ambulans, yang dilarikan dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit, memekakkan telinga. Sebagian besar penduduk Desa Gunung Madu sudah bisa menduga siapa yang diangkut ke rumah sakit. Siapa lagi kalau bukan Wulan. Berita yang mengaitkan Bagas dengan berita kematian Citra menggemparkan Gunung Madu.

Penduduk berdatangan ke rumah Wulan. Dalam sekejap rumah besar di tepi jalan raya itu dijejali puluhan orang. Semuanya ingin tahu keadaan Wulan. Beberapa wanita lari tergopoh-gopoh sambil menahan tangis. Bagi mereka, Wulan adalah wanita sempurna. Mereka pernah menyerahkan anak-anak mereka untuk dididik oleh Wulan di sekolah.

Dulu, sebagai istri kepala desa, bertahun-tahun Wulan menaruh perhatian besar dan sungguh-sungguh untuk kemajuan dan kesejahteraan penduduk. Sampai kini, ketika Pak Joyo tiada, Wulan tetap menjadi tempat mengadu, mencari tahu, dan memperoleh nasihat.

“Ada apa ini? Kalian tidak percaya bahwa aku masih sehat?”

Suara Wulan. Kemunculannya di depan kerumunan orang cukup mengejutkan. Wulan segar-bugar, muncul ditemani anak dan menantunya, Harini dan Prasojo. Dua cucu kembar Wulan, Andana dan Andini, juga bersama mereka.

“Terima kasih, kalian mau menengok aku,” kata Wulan.

“Itu kewajiban kami, Bu! Kami gembira Bu Wulan tidak apa-apa.”

“Kalian pikir, aku ini gampang pingsan hanya karena lihat berita?”

“Tapi, kan Mas Bagas....”

“Memang, nama Bagas disebut. Kalaupun dia terlibat, itu urusannya sendiri. Bagas kan sudah dewasa.”

Wulan mengedarkan pandangannya. “Sudah, jangan banyak bicara. Ayo, cepat masuk. Bertamu, kok, di halaman begini. Apa mau demonstrasi? Wong Pak Joyo sudah nggak ada?”

Beberapa orang tertawa. Yang lain bergerak masuk ke pendopo. Wulan masuk ke rumah samping, ditemani anak, menantu, dan dua cucunya dan meminta beberapa orang untuk membuat minuman.

Dalam perjalanan ke rumah samping, Wulan memeluk Harini. Ia terharu sekali. Tak mampu menyelesaikan kata-kata. Tangisnya tak bisa dibendung. Harini meminta dua anaknya agar membantu memapah Wulan, dan meminta suaminya membukakan pintu.

Andana dan Andini juga terharu. Mereka sempat khawatir neneknya tak kuat mendengar berita yang amat mengejutkan itu. Mereka, dan juga Harini, terharu karena melihat usahanya yang begitu kuat untuk menunjukkan kepada penduduk bahwa dirinya cukup kuat untuk mendengar berita sedahsyat gempa itu.

Sebenarnya, Wulan terpukul sekali. Sama seperti mereka yang terenyak di kursi masing-masing ketika menyimak berita itu. Namun, Wulan ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa dia cukup tegar. Meski dadanya berguncang hebat, ia mampu meyakinkan keluarga dan para tetangga bahwa dia tidak terguncang.

Selagi puluhan orang bicara tak tentu arah di pendopo Wulan, tak jauh dari situ, rumah dinas kades juga dipenuhi orang. Mereka membicarakan beberapa nama secara bergantian. Kacau, seru, heran, bingung, gemas, marah, simpati, sekaligus kasihan.

Mereka menyebut Bagas sebagai pemuda Gunung Madu yang sukses setelah lama menghilang dan berjuang. Sukses itu setelah tindakan dan kepergiannya menggemparkan desa dengan menggadaikan sawah orang tua lalu minggat. Mereka telah melupakan, tepatnya memaafkan, kenakalan-kenakalan Bagas. Kini mereka memuji Bagas sebagai pemuda yang pantas dibanggakan dan teladani. Sehingga, tidak seorang pun yang percaya Bagas terlibat dalam kasus terbunuhnya Citra.
Lalu, mereka menyebut Cici, sesekali Citra, sebagai wanita dari desa tetangga yang cantik dan terkenal. Cici, putri Wahono yang dihormati. Semua menyebut nama itu dengan nada kasihan. 

Mereka juga menyebut Uren Brewok dengan jengkel dan gemas. Lantas, mereka menyebut nama Tanti dengan simpati dan kasihan. Pembicaraan itu cukup seru. Ada yang yakin bahwa Tanti berhasil diperkosa Uren. Ada yang bilang, Tanti cuma kaget, tetapi untuk menenangkannya perlu dirawat di rumah sakit. Informasi yang simpang siur.

Mereka tidak sempat menyaksikan Tanti dilarikan ambulas ke rumah sakit, diantar keluarga kades dan beberapa pamong. 
“Belum ada kabar dari rumah sakit?” Seseorang bertanya di antara pembicaraan yang tak jelas. Tak ada yang menjawab.

Langkah kaki Bagas beradu dengan detak jantungnya. Lorong rumah sakit umum daerah ini terasa begitu panjang. Napasnya memburu. Keringat membanjir di sekujur tubuh. Penasaran, heran, bingung, dan khawatir campur-aduk jadi satu. Petugas bilang, tidak ada pasien bernama Ibu Wulan.

“Ada pasien wanita dari Gunung Madu yang baru masuk. Tapi, bukan Bu Wulan,” kata petugas tadi.

“Baik, saya mau menengok dia.”

Kerumunan orang di gerbang Desa Gunung Madu tadi telah menggerakkan Bagas ke rumah sakit. Orang-orang yang dijumpai kaget dan bingung. Mulanya, tidak seorang pun berani bicara. Akhirnya, ada juga yang mengatakan bahwa ada ambulans membawa ibunya ke rumah sakit. Tanpa pikir panjang Bagas memutar mobil dan melarikannya ke rumah sakit.

Di depan kamar perawatan, Bagas bertemu Kades Gunung Madu. Beberapa pemuda serta pamong desa bergerombol dekat situ. Mereka saling pandang sejenak.
“Begini, Nak,” kata Kades, lalu menarik tangan Bagas menjauh. Bagas menurut, tapi detak jantungnya tambah mengeras. Ia khawatir sekali akan keadaan ibunya. “Kalau Bapak boleh tahu, apa betul Nak Bagas sudah kenal Nak Tanti?”

“Maksudnya?”

Kades dengan singkat menceritakan gosip yang beredar. Banyak penduduk yang percaya bahwa Bagas adalah calon suami Tanti.

“Maaf, lho, Nak Bagas, masalahnya, sore tadi Nak Tanti mengaku pada saya bahwa sebenarnya dia sudah punya tunangan di Yogya.”

Bagas tak mengerti. “Maaf, Pak, bisa dijelaskan dengan cepat?”

“Saya paham, Nak Bagas tidak sabaran. Begini, yang sakit dan dirawat itu Nak Tanti, bukan Bu Wulan,” kata Kades. 

Lega sekali dada Bagas. 

“Kami menemukan Nak Tanti tergeletak di tepi desa. Dia shock, tapi mengaku tidak sempat diapa-apakan oleh Uren karena keburu kita pergoki. Sore tadi, entah kenapa tiba-tiba dia pingsan.”

Sama sekali tak ada yang jelas bagi Bagas. Semua membingungkan. Informasi itu datang silang-menyilang, seakan tak berhubungan, saling tumpuk. Dan, dia harus menyerap seketika, secepatnya.

“Nak Bagas ingin menengok dan berkenalan dengan Nak Tanti?”

Ada keinginan untuk menolak ajakan itu, tapi Bagas penasaran. Belum sempat ia menjawab, Kades sudah menuntunnya masuk kamar pasien.

“Menurut dokter, Nak Tanti hanya shock. Sudah diberi penenang,” kata Bu Kades. 

Bagas menarik napas dalam-dalam. Matanya dengan cepat memandangi wajah Tanti yang tenang. Dalam pengaruh obat penenang, wajah itu begitu lembut. Bagian tubuh yang lain tertutup rapat kain selimut.

“Baik Pak, Bu, saya kira, saya bisa melanjutkan perjalanan,” kata Bagas, setelah merasa puas memandangi wajah Tanti. 
Puas? Secara jujur Bagas mengaku belum. Tetapi, ia sadar, tak ada alasan untuk berlama-lama di sini. Tak ada alasan untuk sekadar menyentuh atau mengusap wajah itu. 

Tambah berat saja rasanya kepala Bagas. Bagaimana harus mengatakan pada ibunya, keluarganya, dan para tetangga mengenai berita televisi yang melibatkannya tadi? Sejauh ini dia pun belum memperoleh informasi mengenai kematian Citra. Benarkah Citra sudah meninggal?

Rumah Wahono, yang besar dan berpekarangan luas, terang-benderang. Puluhan orang memenuhi pendopo terbuka bergaya rumah bupati zaman dulu. Tetangga, kerabat dekat dan jauh, dan pegawai. Semua dalam keadaan bingung dan cemas. Di sana-sini ada yang kasak-kusuk. Belasan pelajar penggemar Citra bergerombol di sudut halaman.

Di mana-mana terdapat makanan dan minuman. Beberapa pemilik toko mengirim kue dan minuman dalam jumlah besar. Semua itu menunjukkan posisi Wahono yang tetap dihormati, meski sudah pensiun.

Beberapa polisi berpakaian dinas datang dengan mobil. Orang-orang segera memberi jalan untuk masuk ke rumah belakang.
“Saya sendiri bingung. Tetapi, sebaiknya kita menunggu kabar yang pasti,” kata Wahono.

“Kami sudah mengadakan kontak dengan Jakarta. Mereka minta kami untuk terus memonitor keadaan dan perkembangan di sini. Kalau Bapak tidak berkeberatan, kami akan menempatkan beberapa petugas di sini, sampai semuanya jadi jelas,” kata Komandan Polisi.

Tuan rumah tak bisa menolak. Padahal, dalam hatinya ia keberatan sekali. Lebih tepatnya, ia malu menjadi perhatian orang banyak dengan cara yang demikian. Wahono lebih senang jika mereka pergi. Bagaimanapun, kedatangan mereka tidak terlepas dari pembicaraan tentang Cici yang membawa aib keluarga.

Untuk kesekian kalinya Wahono menyesal telah menjodohkan Cici dengan Ferdy. Ia sering mendengar orang memuji ketenaran Cici. Bersamaan dengan itu orang-orang sering bertanya mengenai keadaan rumah tangga Cici dan Ferdy. Koran dan majalah terlalu sering mengaitkan kesuksesan Cici dengan keretakan rumah tangganya. Sukses Cici selalu berdampingan dengan berita penyelewengan Ferdy. Berita sukses Cici hampir selalu dikaitkan kemesraannya dengan Jacky.

“Bapak jangan mudah percaya. Beginilah dunia artis. Kadang-kadang digunjingkan,” kata Cici, saat ia pulang bersama Ferdy. Mereka berdua kelihatan mesra. Tapi, sebagai orang tua, Wahono bisa membaca, kemesraan itu cuma semu.

Ferdy malah tertawa jika diajak bicara mengenai rumah tangganya. 

“Namanya juga Jakarta, Pak. Tidak di dunia artis, tidak di dunia bisnis. Semua orang selalu mencari peluang untuk ngrasani saingannya. Kalau bisa, malah menjatuhkan.”

Mendengar keterangan dari mereka, yang kentara sekali berusaha menutupi penyelewengan mereka, Wahono dan istrinya hanya bisa mengelus dada. Sebab, keretakan rumah tangga Cici dan Ferdy tetap saja tak bisa ditutupi dengan rapat. Hanya semalam setelah mereka kumpul di rumah Wahono, esoknya Cici dan Ferdy pergi sendiri-sendiri, menemui teman masing-masing. Baru kumpul lagi ketika akan berangkat ke Jakarta. Hampir selalu begitu.

Wulan tertawa ringan, lalu berkata kepada Bagas, Harini, Prasojo, dan kedua cucunya. Hampir tengah malam.

“Yang ngomong dan menjodohkan kamu dengan Tanti kan orang lain. Bukan aku,” kata Wulan.

“Sikap Ibu terhadap Tanti itu, lho, yang membuat orang-orang menganggap begitu,” kata Bagas. 

Mereka berkumpul di halaman belakang yang diterangi lampu taman, dalam suasana gembira. Gembira? Tidak juga. Sebab, di hati Wulan terselip penyesalan, karena Tanti ternyata sudah punya tunangan, batal jadi menantunya. Padahal, ia telah begitu dekat dengan gadis itu, dan berharap terlalu jauh. Ia malah sempat mengemukakan keinginannya kepada Bagas. 

“Apa salahnya, sih, Gas? Tanti cantik. Dia sering ke sini. Dia juga yang sering bermanja-manja pada Ibu,” kata Harini. 

Harini juga kecewa setelah mendengar bahwa Tanti sudah punya calon suami. Diam-diam ia makin kagum pada ibunya. Ia tak bisa membayangkan jika menjadi ibunya. Sudah begitu cocok dan berharap bermenantukan Tanti, ternyata selama ini diperdaya belaka. Ternyata, Tanti bermanja pada ibunya, semata-mata agar Uren Brewok menjauhinya.

“Seharusnya, Ibu mendatangi Tanti dan mencakar mukanya biar tidak cantik lagi,” kata Harini pada akhirnya. 

Ia tak tahan mengikuti pembicaraan mereka yang penuh tawa, mendengar ibunya sesekali memuji kecantikan Tanti. Ucapan Harini yang ketus seketika itu menghentikan gurauan mereka. Kedua anaknya langsung mengkeret. Prasojo memberi isyarat agar kedua anak itu menyingkir.


                                                                                         cerita selanjutnya >>

Penulis: Rangabehi Widisantosa


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?