Fiction
Prahara [4]

13 May 2012


“Lho, kamu kenapa, Har?” tanya Wulan.


“Ibu jangan pura-pura. Ibu kecewa sama sikap Tanti, ‘kan?”

“Kenapa kecewa?”

Sebelum Harini menjawab, Prasojo ikut menyingkir. Kini, tinggal Harini, Wulan, dan Bagas.

“Ibu sudah berharap dia jadi istri Bagas.”

“Nanti dulu, tho, Mbak. Aku kan belum menyetujui.”

“Boleh saja kamu ngomong begitu. Belum ketemu, sih. Coba kalau lihat orangnya. Lain.”

Bagas masih merahasiakan kedatangannya ke rumah sakit.

“Harini, kamu kenapa?” kata ibunya, lembut dan pelan.

“Saya pantas kecewa. Setidaknya, saya terhina oleh perlakuan dia yang mempermalukan ibu saya! Dia pura-pura akrab dengan Ibu supaya dijauhi Uren Brewok. Kalau tahu begini, kenapa tidak kita biarkan saja Uren Brewok bertindak.”

“Maaf, Mbak Har, kan tidak ada salahnya Ibu menerima dia dengan baik?” kata Bagas.

“Kamu nggak tahu perasaan orang serumah ini. Kamu nggak tahu, sebenarnya, Ibu pun kecewa sekali.”

Wulan memandangi kedua anaknya bergantian.

Bagas berkata pelan, “Sekarang, Ibu terbuka saja pada kami berdua. Kami, toh, sudah dewasa.”

Wulan menunduk. “Bagas, Ibu sama dengan Mbak Har. Sudah cocok dan berharap Tanti jadi istrimu. Semua orang Gunung Madu senang kamu memperistri dia. Kecuali, Uren Brewok.” 

Sesaat Wulan berhenti. Dadanya sesak. Bagas dan Harini menunduk. Menunggu. “Kita bicara yang lain saja.”

Bagas melirik kakaknya, lalu mencuri pandang pada ibunya. “Saya minta maaf kalau Ibu dan Mbak Har....” 

Wulan memberi isyarat agar Bagas berhenti bicara. “Aku mengaku kecewa. Baik, kalau pengakuan itu penting untuk kamu, Har. Tapi, untuk apa memperpanjang kekecewaan dan membiarkan diri kita terbawa oleh harapan kosong? Tak ada gunanya. Sebaiknya, kejadian ini bisa jadi pelajaran untuk ibumu yang sudah tua ini.”

Ia menarik napas, lalu melanjutkan, “Dalam hidup ini banyak pelajaran. Almarhum bapakmu saja mau belajar dari kesalahan-kesalahannya. Karena itu, kesalahan yang sudah kita perbuat, atau dilakukan bapakmu, jangan dianggap kesalahan semata-mata. Memang, cita-cita Bagas jadi penerbang tidak kesampaian.”

Andini muncul di pintu, ingin menyampaikan kabar penting. Tapi, sebelum bicara, Harini memberi isyarat agar diam.

“Mungkin, memang sudah digariskan begitu oleh Allah. Telah digariskan untuk kamu menjadi penulis seperti sekarang. Bukan jadi ahli hukum seperti kemauan bapakmu atau penerbang seperti kamu cita-citakan. Kuasa Allah telah terbukti. Tanpa keberanianmu melawan kemauan almarhum, mana mungkin kamu bisa seperti ini.”

Andini ingin sekali bicara. Tapi, ia khawatir ucapannya akan mengganggu.

“Aku yakin, Allah juga telah menggariskan pertemuanku dengan Tanti. Tapi, barangkali, pertemuan itu memang hanya untuk sementara. Kalau itu sudah menjadi kehendak-Nya, kenapa kita harus marah, kecewa, apalagi mendendam? Ya, sudah, kita jalani saja. Sambil ikhtiar.”

“Om,” kata Andini pada akhirnya. Ia sudah tidak sabaran untuk menyampaikan kabar. Wulan menunduk. Bagas memandangi keponakannya. Andini memberi isyarat dan berbisik, “Ada telepon buat Om Bagas.”

Andini menunggu sesaat, lalu beranjak pergi. Wulan tetap menunduk. Bagas dan Harini saling berpandangan. Wulan menasihati, “Kuingatkan kamu lagi, Bagas. Jangan libatkan dirimu dalam urusan Cici. Pengalaman pahit yang sudah kita peroleh terlalu banyak.”

Bagas menarik napas dalam-dalam.

Wajah Wahono tegang. “Bapak tidak salah dengar, Ci?” Suara di seberang sana sangat dikenalinya.

“Benar, Pak. Ini Cici. Baru saja saya ditelepon teman di Jakarta. Dia menceritakan tentang berita itu. Jangan gampang percaya sama berita begitu, Pak.”

“Jadi, kamu baik-baik saja? Di mana kamu sekarang?”

Di ujung telepon yang lain, Citra menjawab, “Saya di Australia. Memang benar, saya dan teman-teman sedang mengadakan persiapan pembuatan film.” 

Cici berdiri dekat pagar Sydney Opera House. Sambil bicara lewat ponsel, matanya menikmati pemandangan malam ke arah jembatan di seberang sana. Lampu-lampu mobil melintas jembatan dan di kolongnya sebuah boat melintas lambat.

“Sama suami kamu?” tanya Wahono.

“Tidak, Pak. Karier kami kan berbeda. Dia sibuk dengan bisnisnya.”

“Polisi berjaga-jaga di sini. Karena, Bagas ada di Gunung Madu.”

“Apa hubungannya?”

“Berita televisi itu mengaitkan kamu dengan tulisan Bagas dan pertemuan kalian sebelumnya.”

“Saya memang bertemu dia sebelum berangkat. Saya datang bersama teman. Tidak ada salahnya kan mengunjungi teman lama? Jadi, tolong sampaikan pada Pak polisi, berita bohong itu tidak ada kaitannya dengan Bagas,” kata Cici.

“Mumpung ibumu sedang pergi, Bapak ingin tanya, bagaimana sebenarnya rumah tanggamu, Ci? Apa benar yang ditulis di koran dan disiarkan di televisi itu?”

“Saya tidak mau menutupi lagi. Memang, tidak salah yang ditulis koran, tabloid, dan majalah itu. Semuanya benar. Juga berita penyelewengan Ferdy dan seorang artis. Apa boleh buat, Pak, sejak semula saya sudah tidak suka pada Ferdy. Tapi, Bapak dan Ibu memaksa. Cici tidak mau mengungkit dan menyalahkan Bapak dan Ibu. Sepuluh tahun Cici mencoba mempertahankan rumah tangga. Cici sudah mencoba menunjukkan bakti kepada orang tua. Tapi, kini Cici sudah tidak tahan. Cici sudah dewasa, Pak. Sudah waktunya menentukan sikap.

“Mungkin saja Cici salah karena tidak pernah mencintai Ferdy. Bahkan, menyukainya pun tidak pernah. Mungkin, karena itu, dia lari dan kawin dengan artis lain untuk melampiaskan dendamnya. Cici tegaskan, dia sudah menikah dengan artis itu. Cici tidak pernah memberi tahu Bapak dan Ibu karena ingin menjaga nama baiknya. Menjaga nama baik Bapak dan Ibu.

“Tapi, sekarang apa yang mesti dijaga? Semuanya sudah telanjur. Cici minta maaf kalau keputusan ini menyakiti hati Bapak dan Ibu. Sepuluh tahun Cici tersiksa. Tapi, Cici bersyukur, dalam ketersiksaan itu Cici tetap berhasil mempertahankan kesucian! Cici sudah bertekad, Pak, kesucian ini hanya untuk laki-laki yang Cici cintai. Cici tidak berharap lagi memperoleh cinta itu, tetapi Cici bahagia bisa mempertahankan kesucian.”

Cici berhenti bicara karena terengah-engah. Dadanya lega. Plong. Ia puas sekali karena bisa mengungkapkan isi hati dan perasaannya. 

Di ruang keluarga, Wahono jatuh terkulai.

Di lorong yang menghubungkan rumah utama dan ruang keluarga, Andini membisiki Bagas. “Tadi Bunga telepon Ndini.”

Bagas bingung. “Siapa dia?”

“Teman satu sekolah. Lain kelas. Yang ini serius, Om.”

“Kamu mau punya calon tante teman satu sekolah?”

Beberapa kali Andini memang menyampaikan salam teman-temannya untuk Bagas. Andini juga menambahkan, mereka cantik-cantik dan belum punya pacar.

“Bunga ini cantik, Om. Dan, belum punya pacar. Cantiknya mirip sekali dengan Citra. Soalnya, dia memang keponakannya.”

Debar jantung Bagas mengeras. Bukan karena mendengar kecantikan Bunga, melainkan karena ada hubungan Bunga dengan Citra.

“Masih ada yang harus Om dengarkan, Anak Manis?”

“Masih. Bunga ingin bicara pada Om Bagas.”


Kali ini Bagas tak mengerti. Andini pun cuma angkat bahu. Udara mengalir tak habis-habisnya. Mengalirkan kesejukan gunung setelah merambahi lereng dan hutan rimbun. Angin yang terus berlalu di atas permukaan kolam renang membuat Bagas sudah merasa segar bahkan sebelum terjun ke kolam berair jernih itu.

“Om nggak mau berenang?”

Bunga. Sepasang mata gadis ini mengingatkannya pada Cici. Bagas duduk gelisah, serba salah, bingung harus bagaimana. Sejak tadi, sejak di rumah makan paling terkenal di dekat kabupaten. Pertemuan di rumah makan itu atas permintaan Bunga. Tetapi, karena dia baru kenal Bunga, dan banyak anak muda yang mengenali mereka, Bagas mengajaknya pergi. Kolam renang, jauh di atas kota, jadi pilihan mereka. 

Bagas belum tahu maksud Bunga mengajaknya bertemu. Ia gelisah karena merasa begitu terkenal di sekitar sini sehingga segala gerak-geriknya akan mudah tersiar dan terdengar sampai ke rumah. 

Sudah dua kali Bunga menyeberangi kolam. 

“Ayo, dong, Om!” bujuk Bunga. 

Bagas makin tak mengerti, apa yang diinginkan Bunga. Menggantikan posisi Cici? Ah, ini keterlaluan. Tapi, bukankah banyak kejadian di dunia ini yang keterlaluan, yang sering kali sama sekali tak terduga? Bukankah pernikahan Cici yang menggemparkan itu juga peristiwa yang keterlaluan? Seorang pegawai kabupaten, bersepakat dengan mantan bupati, menikahkan anak mereka. Bukankah itu kejadian yang keterlaluan?

Byur! Tubuh Bagas meluncur dan tercebur ke kolam oleh tarikan Bunga yang begitu kuat. Bunga berenang menjauh sambil tertawa. Apa maksudnya? Bagas tak bisa mengelak. Kelelakiannya tergugah. Tapi, dia harus bertahan. Bertahan untuk menempatkan diri sebagai orang baru, jauh lebih tua dari Bunga, dan harus bertahan dari perbuatan yang bisa membuat kegemparan.

Setelah dua kali mengelilingi kolam bersama, dengan napas terengah-engah, Bagas menarik Bunga keluar kolam.

“Kamu mengingatkanku pada tantemu,” kata Bagas di kafetaria, setelah membilas badan dengan air yang mengalir langsung dari sumbernya.

“Nah, itu yang Bunga tunggu dari tadi. Bahkan, dari kemarin. Jadi, Om Bagas masih ingat pada Tante Cici, ‘kan?”

“Sekadar ingat, ya. Tapi, Om sadar, dia sudah jadi milik orang lain.”

“Sayangnya, Tante Cici tidak pernah merasa memiliki orang itu. Begitu katanya. Itulah yang harus Bunga sampaikan pada Om.”

Bagas memandangi Bunga, ingin tahu sekali.

“Sayangnya, juga kata Tante Cici, Om Bagas tidak pernah percaya.”

“Tidak ada alasan untuk percaya.”

“Sebentar, Om. Sebelum Om Bagas bicara dan membantah, lebih baik Bunga katakan saja apa yang harus Bunga sampaikan. Tante bilang, Om Bagas harus mempertimbangkan kabar terbaru yang sudah tersiar itu.”

“Kabar apa?”

“Maaf, Om. Bunga memang masih SMA. Tapi, Bunga dipercaya Tante karena tidak seorang pun yang dipercaya untuk menyampaikan kabar ini. Yang ingin Bunga sampaikan soal rencana Tante pisah dari Om Ferdy.”

“Kamu terlalu kecil untuk bisa mengerti. Aku nggak mau dengar.”

“Tante sudah mengira begitu. Kata Tante, Om Bagas orangnya keras kepala. Karena itulah, Tante tetap mencintai Om. Katanya, hanya Om yang dia cintai. Tidak ada laki-laki lain. Tidak Om Ferdy, tidak Om Jacky. Tidak siapa pun.”

“Terserah kalian.”

“Tolong Om dengar, Tante sudah mengajukan gugatan cerai.”

Bagas diam.

“Tokoh Bagasantara adalah teroris favorit Bunga. Bunga tak pernah lupa pada serial yang awalnya begini, ‘Ada hal yang membuat wanita merasa sangat kehilangan dan menyesal, tetapi hal yang sama bisa pula membuat mereka merasa lebih lengkap dan bahagia’. Bunga setuju banget pada ucapan itu. Ternyata, Tante Cici pun setuju banget. Dan, menurutnya, Tante memang kehilangan status sebagai gadis. Tapi, selama sepuluh tahun, dia berhasil menjaga kesuciannya.”

Bagas terperangah.

“Karena itu, kata Tante Cici lagi, yang membuat Eyang jatuh pingsan semalam, Om Ferdy frustrasi karena tidak berhasil menghilangkan hal pertama dari Tante Cici. Sampai sekarang. Karena itu, mereka tidak bisa punya keturunan. Karena itu, Om Ferdy selingkuh dengan artis lain.”

Bagas bungkam.

“Yang penting dan harus Bunga katakan cuma itu.” 

Bunga memungut tasnya dari bawah meja dan siap pergi. Kelebatan Bunga membuat Bagas terpaku sesaat. 

                                                     cerita selanjutnya >>


Penulis: Rangabehi Widisantosa


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?