Fiction
Prahara [2]

13 May 2012


Di ruang kerjanya, Alex, redaktur senior, membaca ulang naskah di layar komputer. Begitu selesai, ia mengangkat gagang telepon. “Hubungi Bagas segera. Minta dia kirim naskah yang lebih lunak. Yang lebih aman. Yang ini terlalu vulgar.”

Kamar itu terletak di lantai dua. Bukan kamar yang luas untuk ukuran dua artis terkenal di Jakarta, bahkan Indonesia. Tapi, ini Australia. Segalanya jauh lebih mahal daripada Jakarta. Di sini, di Sydney, tak ada yang mengenal Citra dan Jacky. Jadi, untuk apa mempertahankan gengsi dan menginap di sebuah hotel megah?

Citra dan Jacky sudah berada di kamar hotel ketika membaca bagian akhir serial terbaru Bagasantara. 

“Bagas menyindir kita,” kata Jacky. 

Citra tak menjawab. Ia hanya menyandarkan tubuhnya lebih dalam. Jacky tak berani mengganggunya dengan komentar lain. Angannya melambung tinggi untuk bisa bermain dalam satu film dengan Citra.

“Sejak dulu dia paling pandai bermain dengan kata-kata seperti ini,” ujar Citra, makin gagal menutupi rahasia kisah lamanya. 

Jacky memandang Citra dengan tatapan tak mengerti. “Sejak dulu? Kamu bilang, kalian cuma satu kota dan tidak pernah berhubungan?”

Citra kelepasan bicara. Namun, ia memang pintar berakting hingga dengan mudah ia meralat. “Maksudku, sejak tulisannya muncul di koran, dia terkenal suka bermain dengan kata-kata.”

“Kamu tidak bisa memperkirakan siapa yang dimaksud Bagas dengan Nila ini?” tanya Jacky.

“Apakah aku yang dia maksud? Jadi, aku akan senasib dengan Nila? Tewas secara tragis dan dilemparkan ke emperan rumah? Oke, seandainya tulisan ini menyindir atau malah memperkirakan aku akan senasib dengan Nila, lalu bagaimana langkah kita?”

Jacky mengempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Tak pernah terpikir sebelumnya ada kasus dramatis seperti yang menimpa Nila. Tiba-tiba ia bangkit, mengejutkan Citra.

“Bagas justru membantu kita. Mengingatkan kita!”

“Mengingatkan apa?”

“Supaya kita lebih berhati-hati. Sebab, bisa saja terjadi sesuatu yang tidak pernah kita pikirkan!”

Wajah Citra segera muram. Keceriaannya hilang. Ia masih perlu waktu untuk memahami sindiran Bagas. 

Tanti bersimpuh di kaki Wulan. Tangisnya tertahan.

“Ada apa, Cantik?” tanya Wulan.

“Saya diancam lagi oleh Pak Uren Brewok, Bu.”

Wulan mengelus rambut Tanti dengan penuh kasih sayang. Sebagaimana dulu ia mengelus rambut Harini dan Bagas ketika kedua anaknya itu dalam kesusahan.

“Apa tidak lebih baik kamu laporkan pada Pak Kades saja?”

“Saya malu, Bu. Takut kalau Pak Kades memanggil Pak Uren. Nanti malah jadi urusan. Semua orang jadi tahu.”

“Ya, tapi sayangnya aku tidak bisa berbuat apa-apa. Lain kalau masih ada Pak Joyo. Atau, masalah bisa jadi cepat beres kalau Bagas ada di sini.”

“Kalau Ibu tidak keberatan....”

Tanti tidak menyelesaikan kalimatnya. Namun, Wulan menangkap isyarat bahwa Tanti malu untuk menyampaikan padanya agar mengundang Bagas ke Gunung Madu. Wulan telah kaya pengalaman. Bertahun-tahun menghadapi murid di kelas dan di luar kelas. Ia telah piawai membaca wajah, tingkah laku, dan suara orang lain. 

“Apa perlu Ibu panggil Bagas supaya pulang?”

Tanti sedikit mendongak. Mengawasi wajah Wulan. Dengan ekor matanya, Wulan dapat membaca pandangan Tanti yang bimbang.

Tanti jelas tak akan mengaku sudah punya kekasih di Yogya, yaitu Heru, yang sedang menyelesaikan kuliahnya. 
Kedekatannya dengan Wulan bertujuan untuk menimbulkan kesan pada penduduk Gunung Madu bahwa dia akan menjadi istri Bagas. Juga agar Uren tidak mendekatinya. Bagaimanapun, dia risi terus dikejar oleh pria seusia bapaknya. Tapi, di luar itu semua, ia sedang menjalankan sebuah misi khusus.

Bagas tertawa panjang di pesawat telepon. Tepat pukul sembilan tadi ibunya menelepon. Di seberang, ibunya melanjutkan kritikannya atas serial terbaru Bagasantara.

“Pokoknya, nggak lucu. Nggak logis. Apa mungkin ada penggemar artis sampai senekat itu? Tapi, terus terang, Ibu jadi geregetan.”

“Ya, Bu, terima kasih. Redaksi Cineast pun mulanya keberatan. Tapi, saya ngotot agar dimuat. Kalau tidak, saya tidak mau kirim artikel lagi.”

“Tapi, bukan berarti kamu kehabisan cerita, ‘kan?”

“Bisa juga. Tapi, terus terang, cerita itu saya buat untuk Citra.” “Jangan main-main kamu, Bagas!” Seketika suara perempuan tua itu bergetar hebat. “Kamu cepat pulang ke Gunung Madu. Daripada kamu mengganggu istri orang, lebih baik aku jodohkan dengan Tanti!”

Wulan menyimpulkan, sikap Tanti yang manja padanya menunjukkan gadis itu belum punya kekasih. Pertanyaan Tanti tentang Bagas bisa diartikan bahwa ia tertarik pada Bagas. Karena itu, tanpa ragu ia menjodohkan Bagas dan Tanti. 

“Siapa lagi yang Ibu calonkan untuk saya?” tanya Bagas.

“Mahasiswi yang sedang melakukan penelitian di Gunung Madu.”

“Ini perintah atau....”

“Terserah. Lebih cepat kamu pulang, lebih baik.”

Sekali lagi Bagas tertawa. Wulan tahu, Bagas masih mencintai Citra. Namun, ia tak ingin anaknya membuat dosa besar dan menjadi gunjingan orang sedesa, bahkan se-Indonesia. Kalau itu terjadi, akan sangat memalukan. Getar dalam dadanya bertambah kencang.

Bagas menghubungi redaksi majalah Cineast, berpesan pada sekretaris redaksi, bahwa dalam sepekan ini ia tak mau diganggu karena sedang mencari bahan tulisan eksklusif. Padahal, sebenarnya ia ingin membuat kejutan untuk ibunya. Ia akan segera pulang.

Sesungguhnya, ia sendiri tidak terkejut oleh permintaan ibunya. Meski ia tak tahu siapa itu Tanti. Cuma, yang mengejutkan kali ini, Wulan menyebut nama. Nada suaranya pun yakin. Pasti Tanti cocok dengan ibunya. 

“Kalau boleh tahu, aku bisa menghubungi kamu di mana?” tanya Linda, si sekretaris redaksi.

“Kalau penting sekali, silakan hubungi saya lewat ponsel.”

“Redaksi memerlukan kemunculanmu di kantor hari ini. Tadi, beberapa anggota redaksi setuju mengundang kamu hari ini.”

“Ada apa? Apakah penting?”

“Soal kematian seperti yang menimpa Nila.”

Bagas terduduk. “Siapa? Artis?”

“Ya, Citra. Tapi, belum dikonfirmasi.”

Bagas bengong. Ia seperti telah kehilangan semua daya hidup.

Tanti mengenakan T-shirt ketat dan rok pendek. Tas tangan tersampir di pundak kanan. Ia berdiri di tepi jalan depan rumah dinas Kades Gunung Madu, di bawah keteduhan pohon. Beberapa pemuda bersepeda motor memperlambat kendaraannya dan menawarkan boncengan. Semuanya ditolak dengan halus.

“Saya naik angkot saja. Cuma mau ke kantor kecamatan, kok,” katanya. Namun, angkot yang ditunggu tak juga lewat. Tiba-tiba motor yang dikendarai Uren Brewok berhenti di dekatnya.

“Ayo, saya antar!” seru Uren Brewok dengan senyum lebar, setelah memastikan di sekitar mereka tak ada orang yang memerhatikan. 

“Maaf, Pak Uren, saya tidak bisa.”

“Takut ketahuan Bu Wulan?”

“Bukan begitu. Lagi pula, kenapa mesti takut?”

“Lalu, kenapa menolak setiap kali saya ingin mengantar?”

Tanti serba salah. Kesempatan ini digunakan Uren Brewok untuk menjambret tas Tanti dan bergerak menjauh. Mau tak mau Tanti mengejar. Sampai beberapa orang menyaksikan Tanti mengejar-ngejar dan pada akhirnya membonceng Uren Brewok.

Kabar tentang Tanti cepat sekali tersiar, ke seluruh Gunung Madu. Bahkan, sebelum tengah hari sudah sampai ke Jakarta. 

Wulan segera menelepon Bagas yang tengah mengikuti rapat redaksi Cineast dan dengan tidak sabar menceritakan kejadian tentang Tanti. Mendengar suara ibunya yang gugup, Bagas berdiri, memberi isyarat untuk keluar sebentar, lalu beranjak meninggalkan ruang rapat. Rapat terhenti seketika. Semua orang memandang Bagas dengan penuh ingin tahu. Hampir semua menduga hal yang sama, yaitu Bagas memperoleh informasi lengkap dari sumber khusus tentang kematian Citra.

Kemunculan kembali Bagas ke ruang rapat nyaris menghentikan napas semua peserta rapat. Mereka menunggu dengan penuh harap.

“Nggak ada apa-apa. Cuma kabar dari kampung. Calon istri saya diculik orang.”

Baru kali ini mereka mendengar kata ‘calon istri’ dari Bagas. Dan, pernyataan itu diucapkan dengan serius. Seingat mereka, Bagas tidak pernah mau menanggapi dengan serius jika ditanya mengenai calon istri. Baru dalam rapat tadi Bagas agak terbuka mengenai masalah pribadinya, tentang hubungannya dulu dengan Citra. 

“Aku sendiri belum pernah bertemu calon istriku. Itu kemauan ibuku. Kali ini dia agak memaksa. Ya... itu gara-gara Ibu tahu bahwa Citra sempat mampir ke rumah bersama Jacky.”

Semua mata menatap Bagas dengan penuh rasa ingin tahu.

“Saya akui, ketika Citra datang ke rumah beberapa hari lalu, hati saya bergejolak lagi,” kata Bagas. 

Beberapa jurnalis bersuit menggoda. Bagas tetap tenang. “Kalian boleh percaya, bolah tidak. Tetapi, aku mampu mengendalikan diri. Aku sadar, dia istri orang. Aku yakin, kalian semua setuju bahwa aku tidak boleh mengganggu rumah tangga orang, sekalipun rumah tangga itu dalam keadaan yang tidak bahagia. Kita mendengar hubungan Citra dengan Jacky yang sangat erat. Kita pun mendengar suami Citra punya hubungan khusus dengan bintang film lain.”

“Sekarang, kalau kamu memang punya kesadaran seperti tadi, kenapa menulis soal kasus Nila?” tanya Alex.

“Karena saya ingin Citra sadar. Supaya Jacky juga sadar. Supaya suami Citra sadar dan kembali membina rumah tangganya dengan Citra.”

“Mungkin, kamu menaruh dendam pada mereka bertiga. Lalu, kamu lampiaskan dengan menyindir atau mengejek mereka lewat tulisan.”

“Sama sekali tidak. Saya benar-benar cuma mau mengingatkan.”

“Kalau begitu, semua sumber informasi kita tidak ada yang bisa menunjukkan fakta yang positif tentang kematian Citra. Saya putuskan, masalah ini kita tunda untuk....”

“Maaf, Pak, sebelum Pak Alex memutuskan, saya ingin mengajak Bapak dan teman-teman mendapat kepastian bahwa kabar yang kita terima subuh tadi hanya gosip murahan,” seru Tiara, salah seorang jurnalis. 

“Begitu informasi itu positif, tanpa menunggu perintah saya lagi, segera aktifkan tim yang tadi pagi terbentuk. Oke, selamat siang,” kata Alex, menutup pertemuan.

                                                                                           cerita selanjutnya >>

Penulis: Rangabehi Widisantosa



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?