Fiction
Kekasih Jiwa [7]

19 Mar 2012

<< Cerita Sebelumnya

Dewa menyalakan radio. Hampir semua saluran menyiarkan berita yang sama. Semua orang memburu Leo. Dan, semua berita bertanya, di mana Leo?

“Akhirnya, Leo kena batunya?” Dewa mengomentari.

“Maksudmu apa?” Indra terenyak kaget.

“Kau tidak lihat? Semua proyek besar di negeri ini diambilnya.”

“Pasti karena mendapat dukungan pemerintah juga, ‘kan? Jadi dia tidak salah sendirian, dong?”

Entah kenapa tiba-tiba Indra ingin sekali membicarakan Leo. “Harusnya, semua pejabat yang terlibat juga ditangkap.”

“Masalahnya, sekarang bukan korupsi yang dituduhkan, tapi pembunuhan.”

“Leo tidak mungkin membunuh.”

Indra kaget dengan jawaban dirinya sendiri.

“Kurasa juga tidak.” Jawaban Dewa sangat mengejutkan. “Pasti ada konspirasi atau sesuatu yang sedang terjadi di negeri ini.”

“Kau seperti detektif saja.” Indra tertawa, sambil mengambil koran di jok belakang dan membukanya. Wajah Leo menempati hampir seperempat lebar koran Indra merasa dadanya sakit sekali. Tadi malam wajah ini begitu dekat denganku.

“Kau juga tertarik dengan berita itu?” Dewa menoleh sekilas.

“Aku tidak tertarik pada properti, politik, atau apalah. Kita bekerja di dunia intertainment. Jadi, aku rasa....”

“Sebenarnya, kasihan juga, sih, Leo. Dia jadi korban kerakusan para koruptor.”

“Kau kelihatannya kenal betul dengan buronan itu.”

“Omku salah satu rekannya dalam proyek-proyek besar.”

“Lalu?”

“Kok, jadi tertarik?”

“Naluri manusia, membicarakan hal yang sedang in.”

“Sebenarnya, yang dekat dengan orang-orang pemerintah itu memang Tanjaya, mertuanya itu. Dia yang melobi hampir semua proyek besar di Indonesia untuk menantunya. Kalau kita perhatikan, setiap kali sebuah proyek didapat oleh Tanjaya, ada saja pejabat yang mobil mewahnya bertambah atau istri-istri pejabat yang keluyuran ke luar negeri.”

“Kenapa kamu tidak bikin acara di televisi dengan program go-vernment gossip atau apalah?”

“Ini serius, Non.” Dewa menoleh, sambil tersenyum.

“Lalu, apa kaitannya dengan Leo?”

“Menurut kabar burung, Leo sebenarnya sudah tidak lagi mau mengerjakan proyek-proyek mertuanya. Kabarnya, dia malah akan mundur dan berbisnis sendiri secara kecil-kecilan.”

Indra merasa sedikit lega.

“Tidak ada yang ingin Leo mundur, kecuali para saingannya. Figur Leo adalah maskot bagi proyek-proyek besar, terutama bagi penyedia proyek-proyek pemerintah. Tanjaya sangat bermurah hati pada orang-orang yang bisa menggolkan tender untuknya. Baginya, Leo adalah mesin penghasil uang.”

“Kau benar-benar mengenalnya, ya? Bagaimana liputanmu tentang tuduhan pembunuhan Leo?”

Dewa memandangnya sekilas, seperti sedang berpikir sesuatu.

“Pasti saingan bisnisnya ingin menggantikan maskot properti. Kasus Tanjaya adalah bumbu terbaik untuk melenyapkan Leo.”

“Kalau memang Leo tidak membunuh, kenapa dia harus lari? Tidak menyerahkan diri saja untuk berlindung di kepolisian.”

“Kamu ini memang lugu. Orang yang dinyatakan buronan lalu menyerahkan diri, itu sama saja mengaku bersalah. Atau, mungkin dia berpikir malah masuk ke sarang musuh. Pejabat-pejabat hukum kan ada juga yang nyambi jadi kontraktor.”

Indra berusaha mencerna semua kata-kata Dewa, benar untuk pandangan umum. Tapi, apa benar seperti itu? Atau, memang Leo membunuh? Indra melihat ke spion lagi. Mobil merah itu masih terus di belakangnya, padahal mobil itu bisa mendahului mobil Dewa yang berjalan perlahan.

Dari mana uang yang ada di tabunganku? Orang salah transferkah? Siapa Haris sebenarnya?

Indra berusaha tenang sebisa mungkin saat makan siang dengan teman-teman Dewa. Tapi, tetap saja sepanjang makan siang, matanya tidak berhenti menyapu ruangan restoran yang sangat luas itu. Indra merasa ada banyak orang memperhatikan dirinya.

“Astaga, Dewa, aku lupa.” Indra menahan tangan Dewa yang siap menyalakan mesin mobil. “Aku harus mengambil uang untuk Saskia. Kau mau ikut turun atau mau menungguku sebentar?”

“Kau ke ATM dulu saja, aku bawa mobil ke lobi. Okay?” Dewa tersenyum. “Jangan lama-lama, ya.”

“Okay.”

Indra cepat turun mobil dan menuju pintu masuk kembali ke dalam mal. Ketika itulah sebuah ledakan besar terjadi, mobil Dewa meledak....

Indra merasa dirinya terpental membentur tembok dan berbenturan dengan beberapa orang lain. Dia ingin menjerit dan berlari mendekat, tapi instingnya membisikkan lain. Indra berjalan cepat masuk mal setenang mungkin dan menarik uang ATM semaksimal tarikan tunai dan keluar mal dengan cepat. Indra melirik berkas tarikan. Sisa uangnya masih sangat banyak.

Indra menyandarkan tubuhnya setengah tidur di jok belakang taksi dengan memegangi telinganya yang terus berdengung. Bukan hanya karena suara ledakan, tapi karena benturan ke tembok yang membuat Indra merasa kepalanya terus berdenyut.

“Terima kasih.” Indra mengulurkan uangnya dan pergi secepatnya sebelum sopir taksi mengembalikan sisa uang argo. Ia masuk apartemennya dengan tergesa, membuka lemari pakaiannya, dan mencari tas untuk mengepak pakaian.

“Saskia, cepat kau keluar kantor dan jemput aku di apartemenku. Sekarang!” Indra berteriak di telepon. “Nanti saja aku ceritakan.”

Tak sampai setengah jam, Saskia sudah datang. Seperti biasa dengan koran tentang pengejaran Leo. Indra menceritakan semua kejadian dari awal datangnya Leo sampai meledaknya mobil Dewa.

“Ya, ampun! Untuk sementara kau tinggal di tempatku saja. Paling tidak, rumahku lebih aman.”

“Ya.” Indra mengikuti Saskia masuk ke mobilnya dan....

“Tunggu.” Indra mencegah Saskia menyalakan mesin mobil. “Kita naik taksi saja.”

Saskia menjerit kecil dan keluar mobil dengan cepat, naik lagi ke tangga atas. Sepanjang jalan, mereka terus diam sampai di rumah Saskia yang bergerbang tinggi dan dijaga satpam.

Paling tidak selama seminggu atau dua minggu ini aku bisa tenang....

Ini sudah lebih dari dua bulan sejak kematian Dewa. Tidak sedikit pun namanya ikut disebut-sebut terlibat kecelakaan itu. Mungkin, tidak ada orang yang memerhatikan dia keluar dari mobil Dewa sebelum peledakan. Tapi, Indra tetap merasa bahwa dia terus diikuti orang.

Indra turun pesawat dengan tergesa. Jadwal keberangkatan pesawat yang sering diubah seenak-enaknya oleh maskapai membuatnya dongkol setengah mati. Sampai pintu keluar, Indra cepat masuk taksi dan melesat pergi. Sudah terlambat satu jam jadwal pertemuan dengan kliennya. Rasanya, Indra ingin sekali berbalik saja. Tapi, grup musik ini bisa marah dan membatalkan kontrak konsernya, kalau dia benar-benar tidak datang. Lebih lagi, Pram akan mengoceh sepanjang hari.

Indra menghentikan taksi dan memandang ke sekeliling. Surabaya tidak berubah secepat Jakarta, tapi nyaman untuk pebisnis-pebisnis entertainment seperti perusahaannya. Tingkat kolusinya jauh lebih rendah, bahkan dibanding beberapa kota besar lain.

“Delta Music?” Indra mengeluarkan tanda pengenalnya pada petugas security di lobi gedung mewah ini.

“Lantai dua belas, kiri.” Satpam itu mengangguk simpatik.

Hanya perlu setengah jam untuk membuat direktur itu setuju dengan angka kontraknya. Indra merasa lift ini lambat sekali, masih ada janji dengan gedung pertunjukan dan pihak berwajib untuk permohonan izin. Semua sudah lewat waktu dari yang sudah dijanjikan.

“Taksi!” Indra melambaikan tangannya di lobi.

Sebuah taki perlahan mendekat. Indra cepat membuka pintu taksi dan duduk dengan terburu-buru. Barisan anak remaja yang lewat di depannya benar-benar membuatnya lebih terlambat lagi.

Tiba-tiba Indra melihat seseorang yang seperti pernah dilihatnya, melirik padanya dari luar. Pria itu melihatnya dan seperti tersenyum padanya, lalu menghilang dalam kerumunan remaja yang terburu masuk ke bus di halaman gedung.

Sedetik kemudian, taksi di depannya meledak, terpental keluar lobi....

Indra duduk lemas di dalam kamar hotelnya. Mereka memburuku. Tapi, siapa? Indra membiarkan saja kepalanya berdenyut hebat. Dewa sudah mati karenanya. Sekarang seorang lagi tanpa sengaja menggantikan dirinya mati.
Telepon di meja kecil berkedip. Indra menekan tombol speaker.

“Ya?”

“Maaf, Bu, telepon dari Bu Saskia? Apakah Ibu mau terima?”

Saskia? Indra mengernyitkan keningnya. Indra menggeretakkan giginya, dan tangannya menjadi sangat gemetar.

“Tolong bilang, saya belum kembali dari luar. Terima kasih.”

Bagaimana Saskia tahu aku menginap di hotel ini?

Indra cepat menengok ke pintu yang berbunyi. Indra tak menjawab, tidak membukanya. Perasaannya berkecamuk hebat, ada apa sebenarnya? Di mana Haris yang akan melindunginya? Di mana Leo?

Indra terkejut melihat laptopnya berkedip-kedip.

Indra membukanya cepat, tidak ada alamat pengirim. ‘Ada tiket pulang di lobi hotel. Segera tinggalkan Surabaya. Hrs.’ Haris?

Indra cepat mengemasi barang-barangnya dan turun tergesa ke lobi. Dia membayar dengan tunai dan membuka pintu taksi. Sebelum taksi bergerak, Indra menangkap sosok Haris di belakang petugas security di balik kaca lobi, tersenyum, sambil mengangguk padanya.

Indra terus memutar otak. Siapa sebenarnya Haris? Tapi, bagaimanapun, dia satu-satunya orang yang Indra percaya saat ini. Leo pasti tidak akan mencelakakan dirinya. Dia tahu dan Leo tahu, Indra mencintai Leo lebih dari siapa pun. Leo juga mencintai Indra jauh lebih besar lagi....


Penulis: Lie Phan


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?