Fiction
Kekasih Jiwa [6]

19 Mar 2012

<< Cerita Sebelumnya

Pulang kerja, Indra mampir di swalayan dan pulang sudah larut. Ia merasakan malam ini panas sekali. Dia bangun untuk memastikan AC tidak mati, lalu duduk di dapur kecil, sambil membuka koran sore yang dibelikan Saskia untuknya. Wajah-wajah Leo mulai bermunculan setiap hari, setelah berita kasus Tanjaya, mertuanya, makin ramai. Dia mengambil botol mineral dari kulkas dan beranjak ke ruang tamu, duduk di sofa, sambil meneguk air es.

Indra terlonjak, saat terdengar bel pintu dan lampu berkedip di atas pintu apartemennya. Indra mengintip dari kaca lup, seorang pria bersafari berdiri seperti terburu-buru. Pria yang menyapanya di restoran dulu. Perlahan Indra membuka pintu dengan tetap mengaitkan rantai pintu.

“Terima kasih, Bu Indra mau membukakan pintu,” pria itu meng­angguk sopan. “Kami mau minta bantuan untuk....”

“Leo....” Indra membuka rantai pintu dan pria itu memapah Leo yang terduduk lesu, seperti sedang mabuk. Indra cepat menutup pintu, menguncinya lagi.

“Maaf, kami mengganggu, Bu,” pria itu mendudukkan Leo. “Saya Haris.”

“Ya,” Indra menjawab singkat, lalu melihat ke arah Leo. “Dia....”

“Mabuk. Pak Leo terus dikejar banyak orang.” Haris tidak perlu menjelaskan lagi, setelah Indra menerima koran lain dari Haris dan secepatnya Indra membaca.

“Pak Leo minta bertemu Bu Indra,” Haris berkata perlahan.

Indra tidak tahu harus bagaimana. Bertahun-tahun dia hidup dalam bayangan Leo, dan sekarang Leo ada di depannya, terkulai lemas.

“Bagaimana kalau orang tahu Leo di sini?” Indra melirik korannya.

“Sudah menjadi tugas saya menjamin keselamatan Bu Indra dan Pak Leo.” Haris menundukkan kepalanya dalam-dalam untuk menunjukkan betapa dia memohon padanya. “Boleh kami minta minuman hangat?”

“Akan saya buatkan kopi panas.” Indra bangkit.

“Terima kasih banyak.” Haris menegakkan kepala Leo yang terkulai lagi.

“Bagaimana dengan Anne?” Indra membuat kopi secepat mungkin.

“Bu Anne dan putrinya sudah di Singapura.” Haris menerima cangkir kopi.

“Kenapa Leo tidak ikut?”

“Pak Leo tidak mau meninggalkan Anda.”

“Apa?” Indra seperti tersengat listrik.

“Pak Leo lebih memilih di Jakarta untuk memastikan Bu Indra baik-baik saja.”

“Bagaimana dia tahu saya ada di sini?” Indra memandang ke arah Leo tanpa bisa melakukan apa-apa.

“Pak Leo tidak pernah meninggalkan Ibu. Sayalah yang ditugaskan selama ini untuk memastikan Bu Indra baik-baik saja.”

“Astaga....” Indra duduk dan kembali melihat ke arah Leo yang mulai bergerak.

“Kopi, Pak.”

Haris mendekatkan gelas kopi ke Leo, dan Leo menyeruputnya keras. Lalu, kepalanya lunglai lagi di atas sandaran sofa.

“Di mana kamar mandi?”

Indra menunjuk pintu di depan dapur. Haris memapah Leo masuk kamar mandi. Indra duduk dengan linglung dan merasakan udara menjadi sangat dingin. Leo keluar kamar mandi tanpa dipapah lagi, berjalan mendekati Indra sambil menatapnya.“I’m so sorry....” Leo tiba-tiba memeluknya, sambil menangis keras.

Indra benar-benar bingung, lalu melepaskan Leo perlahan dan mendudukkannya di sampingnya.

“Maafkan aku, Ndra. Aku meninggalkanmu begitu lama.”

“Kau lebih baik istirahat.” Indra menariknya ke kamar sebelah. “Kau tidur saja, besok kita bicara.”

Haris membantu Indra menyelimuti Leo.

“Ndra....” Leo memegang tangan Indra.

“Leo.” Indra menahan sesak hatinya. “Kau akan baik-baik saja. Aku ingin kau beristirahat dulu.”

“Aku tidak bermaksud untuk meninggalkanmu begitu saja....”

“Aku tahu,” Indra membiarkan saja air matanya jatuh. “Aku akan temani kamu.” Indra menarik sofa kecil dan duduk di samping tempat tidur. Aku mencintai Leo lebih daripada aku mencintai diriku sendiri. Indra menggumam dalam hati, sambil menggenggam tangan Leo, menatap mata Leo yang setengah sadar. Matanya bengkak dan di wajahnya terlihat bekas memar biru.

“Kau tidak menciumku?” Leo berbisik serak, berusaha tertawa.

“Aku tidak mau kehilangan dirimu lagi.” Indra mengambil ta­ngan Leo dan meletakkan kepalanya di atas tangan Leo. “Kau harus tidur.”

“Ya. Aku memang lelah sekali.” Leo mencium keningnya dan memeluk kepala Indra. “Kau mau naik ke tempat tidur?”

“Tidak usah.” Indra tersenyum kecil. “Tidurlah.”

“Aku tidak membunuh siapa pun, Ndra. Aku tidak mencela-kakan siapa pun.”

“Aku percaya,” jawab Indra halus. “Kecelakaan gedung itu....”

“Ndra...,” Leo berbisik. Ada aroma segar dari mulutnya. Pasti Leo berkumur dengan pasta gigi, mengulang kebiasaannya dulu saat malas gosok gigi.

Indra menatap mata lelah Leo. “Ya.”

“Aku mau kau percaya bahwa aku tidak pernah meninggalkanmu.” Mata Leo berkaca-kaca. “Aku mencintai dirimu dengan....”

“Aku percaya. Aku percaya sekarang kamu istirahat. Besok banyak waktu untuk....”

“Tidak, Ndra. Besok mungkin aku sudah mati. Ndra....”

Leo menciuminya dengan halus sekali. Indra melihat Haris datang menyentuhnya dan Indra merasa sangat ngantuk, lalu terlelap tanpa sadar....

“Leo!!!!” Indra berteriak keras, sambil terlonjak bangun. “As-taga, aku mimpi?”

Indra berlari keluar. Tidak ada gelas kopi di mejanya. Semua tampak rapi dan tidak ada bekas tamu semalam. Indra duduk de­ngan linglung, mengambil air mineral di meja kaca dan tertegun. “Astaga... aku bermimpi.”

Indra melihat dapur. Bersih dan tidak ada gelas kotor. Seharusnya ada setumpuk gelas dan piring kotor. Indra menyelidik, membuka rak piring lalu tersenyum. Haris tidak meletakkan cangkir pada tempatnya. Aku tidak bermimpi.

Indra mengguyur badannya dan berpakaian dengan sangat cepat. Hari ini ada jadwal bertemu klien di luar kota. Sebelum turun ke tempat parkir, Indra menyempatkan diri untuk menarik uang tunai di ATM. Dengan cepat dia melarikan mobilnya ke kantor.

“Kau seperti dikejar setan.”

Saskia menyambutnya dengan secangkir kopi.

“Bos di mana?”

“Sudah berangkat ke Bandung. Kenapa?”

“Aku ingin minta orang lain untuk menggantikan aku meeting.”

“Jangan memohon padaku untuk menggantikan kamu. Aku sedang bangkrut. Kau bilang akan membayar utangmu hari ini.”

Indra mengambil uang yang baru ditariknya. “Dua ratus ribu du-lu. Aku lupa butuh cadangan dana ke luar kota.”
Indra melihat berkas transaksi dari ATM dan hampir berteriak.

“Kenapa? Apa aneh kalau uangmu selalu habis? Biaya melamunmu dan keluyuranmu ke gedung bioskop kan tidak murah! Kalau masih ada sisa uang, kasih aku siang nanti, ya. Aku benar-benar malas ke bank.”

“Ya.” Indra menjawab sambil melihat berkasnya lagi dengan tidak percaya. Ada tambahan dua digit angka. Dari mana datangnya uang sebanyak ini? Astaga... mungkinkah Leo?

Indra berusaha berkonsentrasi dengan pekerjaannya dan dia bersyukur ada orang lain yang bersedia menggantikannya menemui kliennya di Banten. Pikirannya terus melayang, memikirkan di mana dan bagaimana Leo sekarang. Dia seperti bermimpi memeluk Leo semalam. Tapi, sekarang Leo menghilang lagi seperti dulu.

Dewa mengetuk pintu ruangannya.

“Masuk.” Indra menutup laptopnya, tersenyum. “Kau rapi sekali.”

“Ada janji makan siang.” Dewa tersenyum. “Kau mau ikut?”

“Kalau tidak mengganggu.”

Tidak ada salahnya menyenangkan Dewa. Dia selalu baik padanya.

“Sangat tidak mengganggu. Tapi, jangan bawa Saskia, ya.”

“Okay.” Indra menatap Dewa keluar ruangannya.

Indra merasa dadanya terus berdesir mengingat kejadian tadi malam. Leo datang utuk bersembunyi atau memang menginginkan dekat dengan dirinya?

Saya akan memastikan Bu Indra baik-baik saja.... Di mana Leo?

“Kau seperti baru kesetrum listrik.” Saskia membuatnya terkejut. “Koran terbaru. Dia dicari-cari polisi.”

Indra membacanya. Dua hari sebelumnya Leo dikeroyok massa yang kesal karena pembebasan Tanjaya sebagai tahanan rumah. Sehari setelahnya, polisi terus mencari Leo, karena salah seorang pengeroyoknya hilang dan ditemukan meninggal dengan luka-luka yang parah mengenaskan. Diduga, Leo yang melakukannya. Bahkan, Tanjaya sendiri berharap Leo cepat ditemukan. Rupanya, polisi mencari semua orang yang terkait dengan Leo.
Indra ingin sekali memuntahkan isi perutnya. Kepalanya tiba-tiba menjadi sakit dan pandangannya berkunang-kunang. “Ndra....” Saskia mengguncangnya, sambil memberikan teh manis.

Indra meneguk habis teh manisnya.

Saskia memandangnya khawatir. “Kamu tidak apa-apa?”

“Ya.” Indra melihat jamnya. “Aku mau makan dengan Dewa.”

“Sejak kapan kamu makan siang dengan Dewa? Kau akhirnya membuka hatimu untuk pria sempurna itu?”

“Paling tidak aku bisa terhindar dari koranmu yang makin panas beritanya.” Jawaban Indra membuat Saskia tertawa, lalu meninggalkan ruangannya.

Indra duduk di samping Dewa, sambil terus memikirkan Leo.

Leo membunuh? Aku terlalu percaya, aku tidak mengenalnya atau semua memang sudah berubah? Bagaimana kalau polisi atau orang lain tahu, semalam Leo ada di tempatku?


Penulis: Lie Phan


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?