Fiction
Keinginan Sederhana [3]

23 Mar 2012

<<< Cerita Sebelumnya

“Ros, aku tidak semudah itu jatuh cinta. Sekarang kalau kau tanyakan itu padaku, jawabku: aku tidak jatuh cinta padanya. Aku simpati. Dia gadis yang cerdas. Juga berani. Dia pernah bercerita tentang keluarganya yang pecah. Tapi, dia bisa mengatasinya dengan baik. Aku salut. Tak banyak orang yang bisa menyelesaikan masalah seperti itu dengan bijak seperti dia. “

Bagiku, penjelasan itu tidak banyak artinya. Tidak mengubah apa pun. Apakah itu sekadar simpati atau bukan, kenyataan yang kulihat adalah Arman sendiri merasa takut dengan kedekatan yang ‘nyaman’ itu. Karenanya, dia begitu bersemangat menerima peluang yang ditawarkan temannya di perusahaan asing itu. Mungkin, gaji besar yang menggiurkannya, tapi tetap ada faktor Faradina di dalamnya. Aku tidak suka faktor itu.

“Ros, ini hanya perasaan takutku saja. Tidak pernah terjadi apa-apa selama ini. Aku tidak mau terjadi apa-apa. Cuma kebetulan ada tawaran yang begitu menarik di saat seperti ini. Jadi kenapa tidak diambil? Tawaran itu sangat menarik, itu saja alasannya! Kau tidak perlu khawatir soal Faradina!”

Tidak perlu khawatir? Ah... enteng sekali?!

Dan, reaksiku membuat Arman benar-benar memutuskan untuk hengkang dan menerima tawaran itu. Minggu-minggu ini adalah minggu-minggu terakhirnya sebelum pindah ke kantor yang baru. Ketika dia memutuskan pergi, ketika itu pula aku memutuskan keluar sejenak dari rumah. Arman protes keras. Tapi, aku juga tidak bisa bertahan untuk tidak pergi. Aku tidak bisa berada di dekatnya dengan amarah dan kekecewaan sebesar itu. Memaksakan diri bertahan tanpa membuat jeda, hanya akan membuat semuanya meledak lebih dasyat. Aku perlu waktu untuk berjarak darinya. Jadi, aku tetap berangkat, walau Arman setengah mati menahan.

“Pulanglah secepatnya! Percayalah, tak pernah dan tidak akan terjadi apa-apa. Jangan bereaksi seolah aku telah telanjur berselingkuh dengannya. Aku tidak melakukan apa-apa, Ros. Pikirkan itu!”

Sebenarnya, apa definisi berselingkuh? Apakah hanya jika mereka telah bercinta baru bisa disebut Arman berselingkuh terhadapku? Apakah dengan takut ada perasaan yang mungkin bisa berkembang seperti itu, berarti dia belum berselingkuh? Apakah sesuatu disebut perselingkuhan, hanya jika ada kontak fisik saja? Bagaimana dengan perselingkuhan melalui pikiran? Aku sama sekali tidak sepakat, jika perselingkuhan itu hanya diartikan dalam bentuk kontak fisik. Bagiku, Arman sudah berselingkuh!

Minggu pagi ini hujan gerimis, ketika aku benar-benar memutuskan untuk membuka mata. Rasanya sudah mulai sejak subuh tadi dan sekarang belum juga reda. Dingin yang sejuk, membuatku betah menjajah kasur. Hari Minggu, pagi, gerimis, dingin.... Ah, jika ada di rumah bersama Arman dan semuanya dalam keadaan normal tanpa pertengkaran apa pun, tentu akan menyenangkan sekali. Tapi, sekarang sedang abnormal!

Nanik menyambutku di dapur dengan senyum, sambil menunjuk ke arah sepiring pisang goreng panas mengepul. Di dekatnya ada Lestari sedang mengaduk nasi di wajan besar. Baunya menggiurkan.

“Aku dapat jatah itu, ’kan?” selorohku pada Lestari.

“Tentu saja, Mbak.”

Lestari itu perawat yang bekerja di rumah sakit swasta dekat sini. Dialah orang pertama yang datang, ketika Ibu mulai membuka rumah ini menjadi tempat kos, dua bulan setelah Bapak meninggal. Ibu butuh teman. Jadi, membuat rumah kos adalah penyelesaian yang cukup baik, karena Ibu menolak untuk tinggal di rumahku, Mbak Ruli, ataupun Mas Bagus. Lestari menempati bekas kamarku. Sedangkan Nurul, satu anggota kos yang lain, menempati bekas kamar Mas Bagus. Bekas kamar Mbak Ruli sengaja dikosongkan, karena ukurannya lebih besar dari kamarku ataupun kamar Mas Bagus. Jadi, tetap ada kamar untuk kami, jika pulang dan menginap. Sekarang malah ada dua kamar kosong sejak Ibu meninggal.

Lestari tinggal sendirian. Suaminya sedang ke Saudi, katanya menjadi sopir. Berangkat tiga tahun yang lalu dan baru sekali pulang. Mereka belum sempat mempunyai anak, karena Yanto, suaminya, berangkat ke Saudi hanya dua bulan setelah pernikahan mereka. Mencari uang cepat, itu alasannya.

Secara duit, alasan itu tentu masuk akal. Gaji menjadi sopir di Saudi tentu lebih besar daripada di sini. Tapi, bagaimana dengan mereka sendiri? Maksudku, pernikahan macam apa, jika sepasang suami-istri terpisah jarak yang begitu jauh. Apakah masih ada yang namanya kesetiaan?

Terus terang, aku lebih meragukan Yanto daripada Lestari. Sebagian karena Lestari wanita. Wanita cenderung lebih setia. Apalagi, dia bukan tipe yang banyak tingkah, pemalu, juga pendiam. Sedangkan Yanto itu pria. Pria lebih gampang berselingkuh! Huh! Apalagi, istrinya jauh dari pandangan seperti itu! Aku ingin sekali bertanya pada Lestari, apakah dia percaya suaminya setia padanya di sana? Percayakah dia bahwa suaminya tidak menyentuh wanita lain selama tiga tahun berpisah dengannya?

Telepon berdering. Perasaanku mengatakan Arman yang menelepon. Aku langsung masuk ke kamar mandi. Perasaanku benar. Kudengar Nanik beralasan aku sedang mandi.
Nanik mengetuk pintu kamar mandi. “Mbak, Bapak telepon. Aku bilang Mbak sedang mandi. Sebentar lagi telepon lagi.”

“Okay.”

Tapi, aku berlama-lama di kamar mandi, sehingga aku belum juga selesai, ketika Arman kembali menelepon.

Nanik lagi-lagi mengetuk pintu, minta aku membukanya. Dia mengulurkan telepon wireless padaku.

Suara Arman langsung terdengar. “Ros, lama sekali mandimu?”

Ah....

“Iya, sekalian keramas, dan berendam.”

“Kau pulang hari ini, ’kan?”

“Belum.”

“Jadi kapan?” desaknya.

“Arman, tolong beri waktu.... Beri aku jeda. Aku tidak bisa menyelesaikan ini tanpa jeda sementara.”

Sunyi sejenak di seberang sana.

“Ros, jangan menganggap ini hal yang sangat besar. Tidak terjadi apa-apa. Percayalah! Semuanya masih baik seperti dulu.”

“Jangan menganggap ini hal yang sangat remeh juga. Pikirkan bagaimana jika kejadiannya dibalik, aku yang datang padamu dengan cerita bahwa aku mungkin tertarik pada pria lain. Apakah kau akan sama sekali tidak terganggu?”

“Ros, jangan begitu...!”

“Aku perlu jeda sebentar. Aku janji akan pulang, begitu semuanya bisa kutanggung dan bisa kembali bersikap normal terhadapmu. Tolong jangan terlalu memaksa. Kita sama-sama ingin semuanya selesai dengan baik. Tapi, ini perlu proses. Tidak bisa dihapus begitu saja, seperti kau menghapus tulisan kapur di papan tulis.”

“Ros, aku kangen sekali. Aku menyesal.”

Aku mencari-cari dalam hatiku, apakah aku kangen juga padanya, setelah empat hari di sini. Tapi, tak kutemukan apa-apa. Kupikir tidak ada baiknya berbasa-basi dengan bilang aku kangen juga.

Lega rasanya, ketika akhirnya Arman mau menutup telepon.

Keluar dari kamar mandi, kulihat Melia duduk di sofa ruang tamu. Posisi duduknya merosot, kakinya menyelip di bawah coffee table. Matanya terpejam.

“Hai, mau pindah tidur di sini? Ada kamar kosong, kok.”

Dia langsung membuka matanya, tersenyum. Mukanya agak layu, walau rambut pendeknya basah dan segar.

“Aku mau ke Mayjend Sungkono, lewat sini, dan teringat flash disk-ku. Jadi mampir sekalian.”

Nanik datang membawa nampan berisi teh dan pisang goreng. Melia langsung mengambil jajanan itu tanpa menunggu kupersilakan.

Kusodorkan flash disk-nya. ”Aku belum selesai membaca novelmu. Baru sampai halaman dua puluhan.”

Dia mengangguk-angguk. ”Tidak apa-apa. Santai saja. Tenggatnya masih jauh, kok. Pisang gorengnya enak.”

”Ada urusan apa di Mayjend Sungkono?”

”Ada teman yang melahirkan. Semalam aku ikut menungguinya. Bayinya perempuan. Beratnya tiga koma satu. Merah sekali.”

“Karena itu mukamu kuyu?”

“Masa? Apa kau mau ikut denganku? Atau, sudah ada acara barangkali?”

“Tidak ada. Aku ikut denganmu saja. Aku ganti baju sebentar.”

Ternyata, yang disebut Melia sebagai ’teman’ adalah seorang gadis belia. Sangat belia. Perkiraanku masih seusia SMA. Wajahnya tampak letih. Persalinan yang berat, kata nenek si gadis yang menunggui. Aku bertanya dalam hati, di mana ibu gadis itu. Bayinya sempat terbelit tali pusarnya. Gadis itu nyaris kehabisan napas dan tenaga. Untung si jabang bayi akhirnya mau keluar dengan sukarela, tepat saat azan subuh. Jika tidak, pisau operasi tentu sudah membelah perut si gadis.

Aku mengikuti Melia ke ruang bayi. Suster telah mendekatkannya di kaca, sehingga kami bisa melihatnya dengan jelas. Memang bayinya merah sekali. Kata orang, jika merah begitu, berarti kulitnya akan jadi putih nantinya. Pipinya montok, rambutnya tebal.

“Cantik, ya, dia?” Melia tak lepas menatapnya. “Aku belum berhasil menemukan nama yang bagus untuknya. Nama adalah doa. Jadi, aku tidak mau sembarangan.”

Dahiku berkerut. “Kau yang memberinya nama?”

“Ya. Ibunya, juga neneknya, meminta aku saja yang memberikan nama untuknya.”

“Kenapa?”

“Karena dia sudah diplot menjadi anakku begitu dia menghirup udara dunia.” Senyumnya mengembang. “Kenapa? Heran?”

Tentu saja!

“Kau tahu umur berapa ibunya? Lima belas tahun! Bayangkan, apa yang kita lakukan di umur itu? Rasanya aku sibuk dengan atletik dan baru bisa mengarang, sementara kau sibuk melukis dan memotret. Iya, ’kan? Zaman sudah jauh berubah, Ros. Mereka tidak lagi cukup cuma dengan atletik, mengarang, melukis, ataupun memotret.”
Aku menangkap maksudnya. “Dia hamil di luar nikah, lalu kau yang akan mengadopsinya. Begitukah?”


Penulis: Ina B. Alasta


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?