Fiction
Keinginan Sederhana [2]

23 Mar 2012

<<< Cerita Sebelumnya

Jadi, aku mampir ke rumah Melia. Rumah itu tampak resik, sama seperti belasan tahun yang lalu, ketika aku dan Melia masih SMA. Dulu rumah ini selalu menyenangkan untuk dijadikan base camp. Karena itu, hampir selalu ramai oleh teman-teman Melia ataupun kakak-adiknya.

“Sepi sekali, Lia.”

“Ya, hanya ada tiga gelintir manusia yang menghuninya: aku, Ibu, dan Mak Irah. Kakak-kakakku paling-paling sebulan atau dua bulan sekali datang berkunjung. Itu pun bergantian. Hanya di hari Lebaran kami bisa berkumpul lengkap bersama. Itu pun paling-paling cuma sehari dua hari saja. Selebihnya, ya, cuma kami bertiga.”

Ibu Melia rasanya hampir sebaya dengan mendiang ibuku. Sebenarnya tampak cukup sehat. Tapi, menurut Melia, tidak lagi mau aktif keluar rumah sepeninggal ayahnya. Beliau langsung dapat mengingatku dan memberi sambutan hangat, persis seperti dulu, walau cuma menemaniku beberapa menit saja.

Melia mengangsurkan flash disk padaku. “Kau copy di notebook-mu, besok atau lusa aku ambil flash disk-nya, sembari mengunjungimu. Rumahmu tetap di Mayjend Suprapto, ’kan?”
Aku mengangguk.

“Kau tinggal sendirian?”

“Ada dua anak kos dan satu penjaga.”

Malam itu juga aku langsung menekuri novel Melia. Sebuah cerita tentang homoseksual. Sebenarnya bukan isu baru, karena aku tahu banyak pengarang muda sekarang mengangkat tema tersebut. Tapi, karena berhadapan langsung dengan pengarangnya dan mengenalnya secara personal, isu itu jadi terasa segar di kepalaku.

Melia menciptakan tokoh bernama Permadi, yang jadi homoseksual bukan karena pengaruh lingkungan, tapi karena memang sejak kecil menemui dirinya seperti itu. Sewaktu kecil, ketika teman-temannya mulai menggoda gadis-gadis kecil sebaya mereka, dia lebih tertarik mengamati tubuh teman-teman main bolanya.

Ketika beranjak remaja, dia dibingungkan oleh ketertarikan terhadap sejenisnya yang terasa makin kuat dan tidak cukup dia mengerti. Begitu beranjak dewasa dan mengerti arti homoseksualitas, dia begitu sibuk menyembunyikan identitas tersebut, sekaligus melawannya.

Aku tengah tenggelam membayangkan tokoh Permadi yang terus-menerus bergulat melawan dirinya sendiri dan seorang diri, ketika telepon di ruang tengah berbunyi. Pikiranku langsung bisa bergerak menebak. Dan memang, kepala Nanik muncul di ambang pintu kamar yang kubiarkan terbuka.

“Ada telepon dari Bapak.”

Benar kan, memang Arman yang telepon. Nanik selalu memanggilku ’Mbak’, tapi selalu tidak mau menyebut Arman dengan ’Mas’. Dia selalu menggunakan ’Bapak’.

“Ya?”

Arman tidak langsung menyahuti sapaanku. Mungkin dia menelepon sambil merokok dan sedang mengisap rokoknya, ketika aku mengangkat teleponnya. Atau, mungkin juga dia merasa aneh dengan caraku menjawab telepon, karena memang aku tidak pernah menjawab teleponnya dengan ’ya?’ seperti itu.

“Kau baik-baik saja?”

“Ya, aku baik-baik saja. Kau?”

Aku nyaris tertawa karena nada canggung di suaranya dan suaraku sendiri. Aku merasa kami bukan dua orang yang telah lebih dari lima tahun tinggal seatap dan tidur di kasur yang sama.

“Aku tidak baik-baik saja, tentunya.”

Kalau saja semuanya dalam kondisi normal tanpa masalah, tentu aku sudah kebingungan dengan jawaban seperti itu. Aku akan sibuk menanyakan apakah dia masuk angin, diare, atau pusing, lalu sibuk mencarikan obat atau mengerik punggungnya. Tapi, tidak untuk kali ini.

“Kau pulanglah besok, please. Atau, kau mau aku menjemputmu besok?”

“Maaf, aku belum bisa.”

“Apa yang kau lakukan di sana, Ros? Masalahnya ada di sini. Kita selesaikan di sini.”

Satu hal yang aku sangat sukai dari Arman adalah nada bicaranya yang hampir tidak pernah meledak-ledak. Emosinya selalu redam.

“Aku ketemu teman lama hari ini.”

“Seorang pria?”

Dalam kondisi normal aku pasti sudah tertawa karena pertanyaan yang begitu cepat keluar dari mulutnya tadi.

“Melia. Teman SMA dulu. Pengarang terkenal itu.”

“Dan?”

“Dia memintaku membuat desain sampul novel barunya. Aku sedang membaca naskah novelnya sekarang.”

“Kan bisa dikerjakan di sini? Kau tidak perlu berada di sana karena pekerjaan itu, ’kan?”

“Ya. Tapi, memang aku belum ingin kembali. Tolong beri waktu.”

“Berapa lama, Ros? Pulanglah, kita selesaikan di sini, please.”

“Kita pasti selesaikan ini, Arman. Cuma aku perlu waktu untuk sendirian sebentar. Tidak akan terlalu lama.”

“Apa artinya ini, Ros? Aku sungguh-sungguh dengan permintaan maafku dan tidak akan terulang lagi. Tidak percayakah kau?”

Tidak percaya? Berapa banyak istri yang bisa dengan mudah memercayai permintaan maaf dari suami yang dengan enteng mengaku merasa tertarik pada wanita lain? Berapa banyak istri yang dengan mudah melupakan pengakuan itu dan kembali percaya bahwa cinta suaminya seutuh dulu?

“Biar aku di sini dulu. Aku janji akan pulang secepatnya.”

“Aku ke sana Jumat besok sepulang kantor.”

“Tidak usah. Biar begini dulu sementara ini.”

“Ros....”

“Please, Arman, mengertilah, aku benar-benar butuh ini.”

Kudengar dia menelan ludah sebelum menyerah.

“Aku telepon kau setiap hari. Tolong telepon aku kapan pun kau mau atau ingin membicarakan ini semua.”

“Okay.”

Sebenarnya aku ingin mengingatkan bahwa dia sering kali mematikan handphone-nya jika ada rapat penting. Jadi, bukankah sebenarnya aku tidak bisa meneleponnya kapan saja?

“I love you, Ros.”

Aku tercenung. Apakah suami yang bersalah selalu melakukan ini? Aku merasa seperti sedang melakukan satu adegan di film Hollywood.

“Ros? Kau belum menjawabku.”

“I love you too, Arman.”

Aku berusaha mengucapkannya dengan setulus-tulusnya.

Susah mengembalikan konsentrasiku ke Permadi, setelah Arman menutup telepon. Justru aku jadi memikirkan Faradina. Mulai mereka-reka sosoknya. Menurutku, dia seharusnya langsing, putih, dengan panjang rambut yang tidak melebihi bahu, karena setahuku, seperti itulah sosok yang disukai Arman. Dia juga sangat senang pada wanita yang cerdas. Dulu dia pernah bilang bahwa wanita berwajah biasa saja tapi berotak cerdas, jauh lebih menarik baginya daripada wanita cantik dengan otak kosong.

Jadi, seperti apa kau, Faradina? Pasti paduan sempurna antara cantik dan cerdas, sehingga mampu membuat Armanku datang padaku dan mengaku ”Ros, aku takut aku menyukai Faradina.” Sebenarnya, Arman tidak langsung mengatakan padaku soal itu. Awalnya, dia cuma bilang mendapat tawaran kerja dari suatu perusahaan asing. Temannya yang sudah terlebih dahulu ada di sana, merekomendasikannya untuk posisi manajer marketing.

Menurutnya, itu sangat menarik terutama dari segi gajinya. Tapi, entah mengapa, aku merasa dia menyembunyikan sesuatu tentang hal itu. Setelah kukorek pelan-pelan, ternyata masalahnya adalah Faradina. Rasanya seperti terngiang kembali di telingaku suara lirih Arman, ketika berkata dia takut jatuh hati pada Faradina, partner barunya di kantor. Dia bilang, gadis itu menarik. Cerdas, itu intinya. Sebagai partner, mereka dekat satu sama lain. Arman merasa takut dengan kedekatan itu, takut akan jadi sesuatu yang lebih.

“Kau jatuh cinta padanya?”

Tentu aku sangat meradang dengan pengakuan itu.

Arman menggeleng. Tapi, aku tidak suka gelengan yang lemah. Bagiku, itu gelengan orang yang bersalah.


Penulis: Ina B. Alasta


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?