Fiction
Dunia Angke [3]

31 Aug 2012


<<<<  Cerita Sebelumnya

Kisah Sebelumnya:
Sepeninggal Irfan, suaminya, Farah harus menjadi ibu tunggal bagi Angke. Namun, ketika Farah dekat dengan Wisnu, Angke tidak mau Wisnu menjadi pengganti ayahnya yang telah tiada. Suatu saat, Farah berkenalan dengan Teddy –duda satu anak- saat mereka terlibat dalam penelitian bunga Rafflesia arnoldi yang hendak mekar di sebuah kebun raya.


Di depan mereka, bunga raflesia itu belum juga membuka kelopaknya lebih lebar. Seakan jual mahal karena setiap milimeter gerakannya menjadi begitu berarti dan ditunggu banyak orang. Hmm…  ataukah bunga raflesia itu sengaja memperlambat jadwal mekarnya? Membiarkan waktu bergulir agar Farah dan Teddy mempunyai banyak kesempatan untuk mengenal satu sama lain.   

^^^
Malam kelima. Wisnu sudah datang dari Malaysia. Dia ingin ketemu. Mau langsung ke Kebun Raya Cikini, tapi dilarang Farah. Konsentrasinya bisa buyar, karena dia hafal betul, Wisnu pasti akan menyita perhatiannya, dan ini bukan waktu yang tepat.
“Lebih baik istirahat dulu, ya, Sayang, kamu kan masih capek!”
“Nggak, kok, ketemu kamu juga pasti capek-nya hilang. Angke ada di sana juga, ‘kan? Ini ada oleh-oleh buat gadis kecil kita yang cantik….” 
“Tapi, aku sedang mengamati raflesia, aku sedang kerja!” Farah mencoba bertahan. “Lagian nanti tidurnya bagaimana? Aku punya sleeping bag cuma dua….”
“Ya, begadang saja, yang penting ada kopi! Aku juga ingin lihat proses mekar bunga itu. Sekali-sekali aku ingin lihat calon istriku dalam dunia kerjanya.”
“Wiiss... ayolah, hari ini pun belum tentu mekar!” 
 “Biar saja, yang penting aku ingin berada di dekatmu….”
Farah nyaris kehilangan akal. “Besok saja, ya, nanti aku telepon kamu! Kamu bisa ketemuan aku sekaligus menyaksikan bunga itu mekar. OK?”
Wisnu mengurungkan niatnya. Usaha Farah berhasil, rasa lega segera memenuhi rongga hatinya.
Senja di jalan tol berebut pesona dengan lampu-lampu yang baru dinyalakan. Farah tak dapat memastikan, pukul berapa sampai di Jakarta. Berulang kali Teddy meneleponnya. Jalan ke arah Cikini lumayan padat, ada bus wisata yang nyelonong ke trotoar. Teddy berharap Farah tiba sebelum arus lalu lintas di sana berubah jadi macet total.
^^^
Malam keenam. Kali ini dapat dipastikan bunga Rafflesia arnoldi akan merekahkan kelopaknya yang besar. Teddy berani memastikan, karena tanda-tandanya   makin kentara. Angke dan Chika ikut sibuk, mereka berbagi tugas. Angke merekam dengan kamera videonya, Chika memotret dengan kamera digitalnya.
Polah tingkah kedua peneliti cilik itu mengundang senyum orang-orang yang ingin menyaksikan proses mekarnya bunga raflesia secara langsung. Enam orang wartawan, Putri Eunice dari Kerajaan Inggris yang kebetulan ada di Indonesia, tak mau melewatkan kesempatan ini. Francesco Verdi, seorang pemerhati raflesia asal Italia, juga sengaja datang ke sini.
Sebuah pembatas dari tali yang direntangkan pada beberapa bilah bambu, dipasang di depan lokasi raflesia. Hanya peneliti dan orang-orang tertentu yang diizinkan mendekat, itu pun harus didampingi peneliti atau petugas Kebun Raya Cikini. Diperkirakan akan lebih banyak orang yang datang, terutama setelah bunga ini mekar sempurna.
Hujan yang mengguyur deras menjadi aba-aba dari Sang Pencipta, untuk mengawali sebuah pertunjukan yang menakjubkan. Pukul 01.38, bunga Rafflesia arnoldi itu mulai merekah. Dalam gerakan yang sangat lamban, keindahan itu menampakkan dirinya di balik seludang yang sudah lama terlepas. Warna kelopaknya semerah bara, menyala di bawah kilau lampu yang tersekap malam. Bintik-bintik putih bernuansa krem yang meriap nyaris tak berjarak, tampak merepih dan ikut menciptakan harmoni warna yang utuh.
Semua yang ada di sana terpana, terbawa arus pesona yang mengisapnya masuk ke dalam sebuah pusaran. Si cantik dari belantara Sumatra itu kian mengerahkan segenap daya pukaunya yang memikat. Selama dua hari ia akan membuka kelima kelopaknya satu per satu, hingga bagian tengahnya yang serupa cakram berduri terlihat utuh. 
“Ini sebuah orkestrasi alam yang sempurna!” desis Teddy, dalam keterpanaan yang sangat. “Pada satu titik waktu, suhu tertentu dan kondisi yang sangat spesifik dia mempersembahkan sebuah komposisi. Keindahan fisik, warna, dan sedikit gerak berpadu dalam keselarasan.”
Farah terpukau, bukan hanya bunga yang membuatnya terkesima, tapi juga kalimat Teddy yang begitu puitis. Sungguh itu bukan perkataan yang biasa meluncur dari seorang botanis.
Selanjutnya, hanya decak kagum yang terdengar. Teddy meraih pergelangan tangan Farah, mengajak wanita itu lebih mendekat ke arah bunga. Tetesan air hujan yang menelusupi celah-celah tenda, jatuh bergulir di atas kelopak bunga raflesia. Menciptakan   butiran-butiran air laiknya embun di pagi hari. Kilauan lampu blitz seakan berlomba menciptakan cahaya, yang membuat sang bunga kian memikat hati siapa pun. Semua seakan sepakat untuk mengabaikan baunya yang tak sedap dan disukai lalat.
Hanya beberapa detik Farah membiarkan tangan yang hangat dan kokoh itu memegang pergelangan tangannya. Dengan gerakan yang sangat halus, ia meloloskan tangannya dari genggaman pria itu. Wajah Teddy sedikit merah padam. Keduanya sama-sama jengah. Lalu, tanpa sadar mereka mencoba mengalihkan perhatian pada objek yang kebetulan sama: aktivitas anak mereka masing-masing.

^^^
Wisnu datang menjelang dini hari. Tanpa ragu ia mengecup kedua pipi Farah di depan semua yang hadir di situ. Angke dan Chika sudah lelap di dalam sleeping bag-nya masing-masing. Sambil sekalian berkenalan, Wisnu mengucapkan selamat kepada Teddy. Dia hanya tahu nama Teddy dari cerita Farah.  
Para wartawan yang sedari tadi terpukau oleh prosesi mekarnya raflesia, baru menyadari bahwa mereka belum mewawancarai Teddy dan Farah, sebagai motor penggerak proyek budi daya raflesia. Jumpa pers pun berlangsung spontan. Lampu blitz berulang kali berkedip. Farah tersenyum sambil merapatkan jaketnya, ketika seorang wartawan mempertanyakan prospek budi daya raflesia.
“Kami ingin mewujudkan sebuah kawasan konservasi tempat pembudidayaan Rafflesia arnoldi, juga tanaman obat langka lainnya. Di Taman Rafflesia ini, masyarakat akan disuguhi berbagai jenis raflesia yang ada di bumi Nusantara. Mereka pun bisa melihat proses pembuatan obat herba dari dekat dan memaknai betapa kayanya potensi alam di negeri kita!”
Farah dan Teddy nyaris kewalahan menghadapi pertanyaan yang bertubi-tubi dari awak media itu. Wisnu sabar menunggu. Dari jarak yang tak begitu jauh ia memandangi Farah.
“Mengapa raflesia selalu membutuhkan tanaman inang?” Pertanyaan ini diajukan kepada Teddy oleh wanita wartawan dari majalah Flora Indonesia.
“Raflesia tak punya akar, batang, dan daun. Ia tak bisa berfotosintesis karena  tidak punya klorofil. Jadi, raflesia tidak bisa cari makan sendiri. Itulah sebabnya, dia butuh tumbuhan inang. Ia hanya memiliki akar pengisap makanan yang disebut haustorium. Berkat akar pengisap inilah ia menggerogoti inangnya, agar bertahan hidup.”
Kemudian Teddy menceritakan proses awal tumbuhnya raflesia secara ex situ. Cara pertama membawa biji dari habitatnya, kemudian disemaikan pada liana yang sudah ada di Kebun Raya Cikini. Cara kedua, membawa liana yang sudah terinfeksi bibit raflesia dari Cagar Alam Batang Palupuh, Sumatra Barat. 
 “Proyek besar ini biayanya tak sedikit. Kami membawa liana dalam container besar dengan suhu tertentu yang tidak membuatnya dehidrasi. Liana mengandung kadar air yang tinggi,” jelas Teddy. “Rafflesia patma berhasil tumbuh di Kebun Raya Bogor. Artinya, Rafflesia arnoldi juga bisa. Sekarang kami sudah membuktikannya!”
Pagi mulai menyingsingkan malam. Erik membagikan brosur raflesia kepada semua yang hadir di situ. Wisnu menghampiri Farah, pamitan. Seorang wartawan senior menyapa Wisnu dan mereka terlibat percakapan. Suta berbisik kepada wartawan di sebelahnya.
“Siapa, sih, dia...?”
“Wisnu Patria Ijzerman, masih kerabat dekat pendiri ITB,” jawab wartawan itu, sambil berbisik pula. “Dia pengusaha tours and travel yang baru membuka kerja sama wisata sejarah dengan Malaysia dan Thailand….”
^^^

“Betul kan ceritaku….” Angke meraih kelinci kecil berwarna putih, lalu mendekapnya penuh rasa sayang dan sedikit gemas.  
“Iya, mata Oom Wisnu bagus, kayak bintang film, ya?” kata Chika.
“Iya, sih…,” kata Angke.
“Sebetulnya Oom Wisnu baik, tapi Angke nggak begitu suka. Kalau Bunda sama dia menikah, nanti foto pernikahan Ayah sama Bunda diganti, dong!”
Bibir Chika membentuk huruf O besar. Kelinci cokelat yang dipegangnya meloncat ke dalam semak. Angke berusaha membantu Chika, tapi kelincinya juga terlepas. Maka sibuklah mereka.
Tadi pagi, Teddy sengaja membeli dua ekor kelinci di dekat gerbang Kebun Raya Bogor. Tentu saja ini semacam taktik agar kedua gadis cilik itu asyik bermain, sementara Teddy dan Farah mengikuti workshop tanaman obat dengan tenang. Untungnya, acara yang digelar di kebun botani itu hari Minggu, jadi  Angke dan Chika bisa diajak.
Workshop diakhiri dengan kunjungan ke Kebun Raya Cikini. Bunga yang mekar empat hari yang lalu itu masih menyisakan pesona, meski sudah beranjak layu dan mulai berubah warna.
^^^
Oleh-oleh yang dibawa Wisnu dari Malaysia itu diberikan Angke kepada Mbok Isah. Boneka Ipin dan Upin asli, buatan negeri jiran yang sedang digemari anak-anak Indonesia.
 “Buat cucunya…,” jelas Angke, waktu Farah bertanya.  
 “Cucu Mbok Isah kan masih bayi, belum tahu Ipin–Upin!”
“Biarin nanti juga cucunya pasti jadi anak kecil dan kalau sudah besar nanti dia pasti suka sama boneka itu…,” ujar Angke, sambil menahan hati.
 Sebetulnya dia suka kedua boneka itu. Kalau saja yang menghadiahkannya bukan Wisnu, tentu dengan senang hati ia terima. Angke sudah berjanji dalam hati, tidak akan menerima apa pun dari Wisnu. Dia takut, Wisnu sedang membujuknya, supaya pria itu bisa menjadi ayah barunya. Perasaan intuitif seorang anak yang terkadang punya kewaspadaan yang sulit diduga.
Tak berapa lama kemudian, telepon berdering. Dari Chika. Angke kegirangan.
“Iya ini Angke, Chika lagi apa?”
“Lagi kasih makan si Pongki, dia kerjanya makan melulu. Hari ini sudah habis kangkung tiga ikat …!”
“Wah, nanti kegendutan dia! Si Bingki lagi belajar diet. Kata Bunda, kelinci jangan terlalu banyak dikasih makan, nanti perutnya buncit, nggak bisa bergerak!” 
Mereka asyik bertukar cerita sampai Farah melambaikan tangan agar Angke menyudahi obrolannya.
“Chika, ada salam dari Bunda….,” ujar Angke, salah tafsir.
Farah menggoyangkan telapak tangannya. Baru Angke mengerti. Diletakkannya gagang telepon, lalu  menghampiri ibunya yang sedang menuangkan agar-agar ke dalam cetakan.
“Chika besok mau ke sini, Bun. Mau nengok si Bingki…!”
“O, ya? Jam berapa…? Bunda besok mau belanja bulanan….”
“Dia nggak bilang jam berapa, sih, tapi Angke sudah bilang kita ada di rumah…!”
“Mmm… ya, sudah! Lagian, Bunda juga belum bilang sama Angke bahwa kita mau pergi!”
“Kalau begitu, agar-agar ini jangan kita makan semua. Kita simpan buat Chika, ya, Bun!” ucap Angke. Mimik wajahnya serius. Farah menahan senyum sekaligus bangga. Putri tunggalnya ternyata memiliki kepekaan untuk berbagi.
^^^
    Chika datang bersama Pongki dan tentu saja ayahnya. Angke segera menarik sahabat barunya itu ke taman belakang rumah. Suara canda mereka terdengar sampai ke dalam. Farah dan Teddy masih di ruang tamu dan pembicaraan mereka tak beranjak dari proyek raflesia.
Matahari menggulirkan siang begitu cepat. Farah menawari Teddy makan siang, tapi pria itu menolaknya dengan halus. Masih kenyang, katanya, mereka baru saja makan di rest area jalan tol.
Gelas Teddy sudah tandas, rupanya dia kehausan. Farah beranjak dari duduknya, lalu bergegas menuju kulkas. Dibawanya sebotol air es dan sirop. Barusan ia melihat isi kulkas yang nyaris kosong, mau tak mau Farah harus belanja hari ini. Nanti malam Wisnu datang dan sudah berjanji akan memasak menu istimewa buat mereka.
Farah menatap Teddy, pria itu mengangkat alisnya sedikit.
“Saya tinggal sebentar nggak apa-apa kan, Mas? Titip anak-anak, ya…!”
“Memangnya mau ke mana?”
“Belanja. Kulkas perlu diisi ulang, Mas……!” ucap Farah, ringan. “Mas Wisnu nanti malam ke sini. Dia mau bikin spaghetti dan sup kacang merah.”
Teddy meneguk habis isi gelasnya, lalu memandangi Farah yang sudah menenteng kunci mobil.
“Perlu saya antar?”
“Nggak usah, makasih. Mbok Isah tak masuk hari ini. Kalau Mas pergi, siapa yang jaga mereka?”
“Anak-anak sudah besar, kok… atau kita ajak saja mereka?”
Farah langsung menuju taman belakang. Angke dan Chika tampak sibuk bersama kelinci mereka. Dia cuma bisa geleng-geleng kepala, ketika melihat kedua anak itu membiarkan bunga sedap malam yang baru berbunga, dikunyah habis si  kelinci.
“Si Bingki sama si Pongki sedang lomba makan kangkung, tapi mereka milih  sedap malam, Bun,” ujar Angke, riang. Farah dapat merasakan, keriangan ini lebih pekat dari hari-hari  yang biasa Angke tampilkan setiap hari, sendirian.        
“Ikut Bunda ke supermarket, yuk!  Ajak Chika juga!”
“Angke mau ajak Bingki dan Pongki juga.... Boleh, Bun?”
“Wah, sebaiknya Bingki dan Pongki ditinggal saja…!”
“Tapi....” Mata Angke memohon dengan sangat, lalu memandang Chika yang sedang menggendong kelinci cokelatnya.
“Bagaimana kalau mereka bersama kelincinya menunggu di mobil,” ucap Teddy kepada Farah, menengahi.
“Angke di rumah saja, deh…,” kata Angke.
“Chika juga!”
Farah dan Teddy saling berpandangan. Akhirnya,  mereka mengizinkan kedua gadis cilik itu tinggal di rumah bersama dua ekor kelinci yang gemar mengunyah berbagai jenis tumbuhan. 
^^^
Farah terkesiap. Wisnu datang lebih awal. Mobilnya parkir di depan pagar, karena mobil Teddy sudah lebih dulu parkir di carport, di sebelah mobil Farah. Farah memanggil-manggil Angke dan Chika. Pintu ruang tamu tak dikunci. Ruang keluarga tampak berantakan. Tak ada orang di situ. Kangkung bertebaran di karpet. Televisi dibiarkan menyala tanpa penonton. Sebuah gelas berisi sirop tergeletak tumpah membasahi taplak meja.
Tiba-tiba, seekor kelinci menerjang masuk. Farah kaget. Di belakangnya menyusul Wisnu dan kedua gadis cilik itu. Wajah mereka menyimpan keceriaan yang tulus. Terutama Wisnu, yang kali ini lebih mirip wajah seorang anak nakal dan bandel yang kepergok mencuri mangga tetangga. Kaus polo cokelat tua yang dipakainya, dihiasi serpihan rumput. Beberapa helai daun kangkung menempel di bagian dadanya.
Tak jauh berbeda dengan pemiliknya, si Bingki dan si Pongki sama-sama tak keruan bentuknya. Si Bingki, bulunya belepotan sirop warna merah. Lebih mirip bendera luntur yang gagal dicelup. Sedangkan si Pongki, kedua kupingnya dihiasi bunga sedap malam yang ditempel pakai selotip kuning. Sebuah rok hula-hula yang terbuat dari daun suplir kesayangan Farah, melingkari perutnya.      
Ternyata, Angke mulai bisa akrab dengan Wisnu. Tapi, hati Farah, kok, jadi tidak keruan rasanya. Teddy hanya tersenyum-senyum melihat penampilan lima anggota pasukan Laskar Kelinci itu. Farah membersihkan serpihan rumput yang menempel di pipi Wisnu.  Lalu, Wisnu mencuci muka  di wastafel dekat meja makan. Tak lama kemudian, Teddy dan Chika segera pamit pulang. 
^^^
    Angke dan Chika  makin karib. Kalau tidak Chika yang datang ke Bogor, Angke yang ke Jakarta. Hampir setiap kali Farah ada dinas luar ke Kebun Raya Cikini, Angke ikut. Angke dan Chika janjian bertemu di sana, disertai dua kelinci yang  makin  gendut itu.
Farah tahu Wisnu agak cemburu, meski tak terlalu kentara. Tapi, tak mungkin melarang Angke berteman dengan Chika. Tak mungkin pula menghentikan proyek kerja sama yang dijalinnya bersama Teddy. Sebuah pembenaran yang nantinya menciptakan perangkap yang sungguh menjerat.
Celoteh Angke dan Chika segera saja memenuhi ruang keluarga yang tak terlalu luas itu. Barusan Chika diantar ayahnya. Teddy menitipkan Chika karena sedang mengurus perkara bawahannya yang menjadi korban tabrak lari. Kebetulan si korban tinggal di Bogor dan Chika merengek ingin ketemu Angke.
Farah mengeluarkan laptop-nya dari dalam tas. Hari ini Farah ingin membuat artikel ilmiah untuk sebuah majalah.
Menjelang pukul sembilan malam, Teddy baru datang.
“Mereka sudah tidur…,” bisik Farah, seraya membuka pintu kamar Angke.  Kedua gadis cilik kesayangan mereka itu tidur melingkar di tempat tidur Angke yang luas. Yang satu memeluk guling. Satunya lagi nyaris tenggelam di balik selimut tebal, hanya kepalanya yang tampak.
“Mereka seperti kakak-adik…,” ucap Teddy, lirih.
Farah terdiam beberapa jenak. Sebuah kalimat yang tak hendak ia tafsirkan terlalu mendalam. Serangkai kata yang menyimpan harapan dan tiba-tiba muncul ke permukaan alam sadar pria yang berdiri di depannya. Seperti itukah yang sebenarnya?
“Chika tidur di sini saja, Mas! Kasihan. Besok kan hari Minggu…!” kata Farah, sambil membetulkan letak selimut. Ia berusaha menikam gerak pikirannya sendiri. 


Penulis: Katherine Achmad


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?