Fiction
Dunia Angke [2]

31 Aug 2012


<<<<  Cerita Sebelumnya

Kisah Sebelumnya:
Sepeninggal Irfan, suaminya, Farah harus menjadi ibu tunggal bagi Angke. Namun, ketika Farah dekat dengan Wisnu, Angke tidak mau Wisnu menjadi pengganti ayahnya yang telah tiada. Di sisi lain, Farah juga harus pintar membagi waktu antara urusan rumah dan pekerjaannya sebagai peneliti tanaman obat. Farah terpaksa membawa Angke ke tempat kerjanya, ketika bunga Rafflesia arnoldi hendak mekar di sebuah kebun raya.


Calon bunga raflesia yang akan mekar itu tenyata berada di sebuah hutan kecil. Hutan buatan. Pelataran semen di depannya sengaja dikosongkan, sebuah tenda terpal besar dipasang. Teddy mempersilakan Farah dan Angke memilih tempat sendiri. Di bawah tenda itu ada empat anggota tim peneliti yang dipimpin Teddy duduk lesehan beralaskan tikar plastik yang dilapisi karpet biru tebal. Erik, Suta, Rafi, dan Cahyo. Mereka membawa matras dan sleeping bag. Farah mencari tempat strategis. Tahu begini, Farah tak perlu membawa tenda.
“Ke, tak usah pasang tenda, ya?”
“Kalau nanti Angke mau tidur, gimana?”
“Ya, tidur di matras saja! Kita juga masih pakai sleeping bag, jadi nggak bakal kedinginan….”
Angke keukeuh dengan keinginannya. Akhirnya, Farah pindah ke bagian paling  pinggir dan memasang tenda di sebelahnya. Kuncup bunga raflesia yang lebih mirip kubis besar itu belum juga mekar. Hanya ada perubahan sedikit, kelopaknya bergeser sekitar dua milimeter. Suhu udara malam ini rupanya masih belum cukup membuat sang kuncup bunga bergerak, merekahkan kelopaknya lebih lebar.  
Malam kedua, Farah masih penasaran. Apalagi Angke, dia ingin sekali melihat bunga raksasa itu mekar. Angke tak mau ditinggal, walaupun Mbok Isah sudah datang. Farah sengaja membawa foto-foto raflesia hasil eksplorasi dari Bengkulu. Namun, semua itu tak cukup memuaskan Angke, karena dia sangat ingin melihat bunga aslinya.
Ternyata, Teddy mengalami hal serupa. Putrinya, Chika, merengek terus kepingin ikut. Teddy sempat melarangnya, karena Chika sedang batuk. Akhirnya, berbekal selimut tebal, baju hangat, dan obat batuk, Chika diizinkan ikut juga.
Yang paling kegirangan tentu saja Angke, mendapat teman baru. Chika hanya dua tahun lebih tua dari Angke, dan hal ini bukan masalah besar yang bisa menghambat keakraban mereka.
Farah menertawai Teddy yang membawa seabrek perlengkapan.  
“Seperti nenekku yang pulang kampung saja,” komentar Farah. Sambil tersenyum, Teddy meletakkan kasur lipat yang masih terikat di depan Farah.
“Ya, daripada Chika kedinginan dan batuknya  makin parah, lebih baik jadi pengungsi lokal!”
Teddy bolak-balik menurunkan barang-barangnya dari mobil.
Teddy sibuk berbenah. Dengan perasaan geli, Farah mengamati pria berkulit agak gelap itu. Rupanya Teddy lebih keibuan daripada diriku, ujarnya dalam hati.
Tak berapa lama kemudian, Erik, peneliti muda anggota tim, melaporkan sesuatu kepada Teddy. Pria berkacamata itu langsung bangkit, mengamati bunga raflesia sejenak, dan memperhatikan langit. Dia berbicara serius kepada Erik, lalu memanggil anggota timnya yang lain.
“Kita harus membuat tenda pendek yang agak lebar di atas bunga itu untuk mengantisipasi turunnya hujan. Dalam posisi kelopak yang masih tertutup, kena hujan tak masalah. Tetapi, jika kebanyakan air hujan masuk di saat kelopaknya sudah mulai terbuka, ia akan cepat busuk!”
“Apa perlu kita pasang lampu besar di sini, supaya suhunya menjadi lebih hangat, Pak?”
“Boleh saja bila diperlukan. Tapi, kita perlu menutupinya dengan kain hitam  untuk meredam cahaya. Tanaman itu peka terhadap cahaya, dia bisa tidak mau mekar karena disangkanya masih siang hari,” urai Teddy, sambil melepaskan baterai dari kamera saku digitalnya. “Sebaiknya kita berhati-hati. Pasang lampu secukupnya saja, sebatas kebutuhan cahaya untuk memotret atau kamera video. Kita perlu mempertahankan suhu udara yang kondusif dan stabil supaya bunga ini mekar sempurna….”    

****
Farah ikut menyimak uraian Teddy. Dia memang jadi anggota tim pria jangkung itu karena kerja sama kantor mereka. Teddy peneliti madya dari instansi pemerintah, Farah kepala divisi budi daya tanaman obat sebuah pabrik obat herbal berskala internasional. Perusahaan menugasi Farah menangani proyek kerja sama pembudidayaan Rafflesia arnoldi.
Erik dan rekannya segera berlalu dari situ. Dua peneliti lainnya belum datang. Biasanya mereka tiba di atas pukul  delapan.
“Sudah berapa hari di sini, rasanya saya belum melihat wartawan meliput?” celetuk Farah. “Ini peristiwa spektakuler dalam dunia ilmiah, Mas, tapi, kok, sepi begini?”
 Teddy tersenyum, dibenahinya letak kacamatanya yang agak turun.
“Memang sebaiknya ada, hanya atasan kami belum memberi izin, karena bunga ini belum mekar….”
“Lho… mekar atau tidak, itu pun sudah merupakan berita. Proses pemindahan  liana (tanaman merambat yang menjadi tempat raflesia menggantungkan hidupnya) hingga muncul kuncup bunga raflesia saja sudah berita besar. Bahkan nanti kalau bunga layu atau tinggal bangkainya saja, tetap punya nilai berita…! Bayangkan, Mas, butuh waktu 190 tahun untuk menunggu bunga ini mekar di luar habitat aslinya!” tukas Farah, berapi-api.
Teddy mengiyakan perkataan Farah. Sebelumnya, usaha konservasi dan budi daya raflesia secara ex situ (di luar habitat aslinya)  sudah sering  dilakukan, tapi tak pernah berhasil.    
Rafflesia roschussenii memang pernah tumbuh di Kebun Raya Bogor tahun 1929, tapi kemudian tak terdengar lagi kabar beritanya. Baru 81 tahun kemudian, kerabat bunga sejenis, yaitu Rafflesia patma, mekar tahun 2010.      
“Sebelum bekerja sama dengan perusahaan Mbak Farah, kami sudah lama mengadakan kerja sama di bidang kultur jaringan dan budi daya tanaman langka dengan kebun botani tertua di Asia itu. Mereka berhasil memindahkan liana yang sudah diparasiti Rafflesia patma dari Pangandaran. Selama empat tahun ini, tim kami banyak menimba ilmu dari lembaga itu. Dan inilah hasilnya!”
Mata Farah tak dapat menyembunyikan kekagumannya terhadap kegigihan Teddy meneliti tumbuhan langka kebanggaan Indonesia itu. Di sisi lain, Farah pun angkat jempol atas ketelatenan Teddy yang menjadi orang tua tunggal bagi Chika. Sekilas, Farah pernah mendengar kabar dari rekan kerjanya bahwa Teddy sudah bercerai dari istrinya.
 
^^^
    Tanpa membuang waktu, sebuah tenda pendek ukuran 4 x 4 meter segera dipasang menaungi Rafflesia arnoldi. Tenda itu tak keruan bentuknya, karena disesuaikan dengan posisi liana. Beberapa bagian tenda digunting sekaligus dibolongi agar liana tetap pada posisinya semula. Di bawah celah yang terbuka, dipasang lapisan lain agar tidak terlalu dirembesi air. Tanaman inang itu tak mungkin dipotong, sang bunga bisa mati  karenanya.   
Teddy tak mau kerja kerasnya berakhir percuma oleh hujan yang bisa datang kapan saja. Mengguyur dalam tingkat curah hujan yang tinggi. Apalagi di musim pancaroba seperti ini, pergantian cuaca yang tidak menentu bisa  makin memperburuk keadaan.  
Suara pipa besi beradu membekap nyanyian para binatang malam. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi masih belum ada tanda-tanda yang menunjukkan perubahan pada kuncup bunga raflesia itu. Farah membatin, menunggu bunganya mekar saja sudah menuntut kesabaran ekstra, apalagi mencoba menumbuhkannya.
Raflesia hanya bisa tumbuh bila ada tumbuhan inang tertentu yaitu Tetrastigma sp. Bunga langka yang berdiameter satu meter membutuhkan inang selebar 10 sentimeter yang umurnya minimal 10 tahun. Untuk membudidayakan raflesia, dibutuhkan inang yang besar.
    Dari balik tenda ungu, suara tawa Angke dan Chika mengusik Farah.
    “Angke, Chika, ayo tidur, Nak, sudah pukul sebelas!”
    “Nanti kita ketiduran. Kita kan ingin lihat bunga raflesia mekar, Bun!” Angke menarik bantal Chika, Chika balas menarik bantal teman barunya itu. Lalu mereka cekikikan.
    “Besok  kan kalian sekolah pagi. Kalau bunga itu mekar, nanti Bunda kasih tahu, deh!”
    “Bener, ya…!” ujar kedua anak itu, nyaris bersamaan.
    “Bunda janji, ya!” kata Angke lagi, penuh harap. Farah mengiyakan.
    Langit malam membentang tanpa bintang, hawa dingin  makin menyergap. Teddy dan Erik membawa enam cangkir kopi panas. Harumnya menebarkan kehangatan.
    “Ayo, Mbak!” ucap Erik ramah. Farah jadi ingat, tadi sore dia sempat membeli keripik singkong dan beberapa bungkus roti empat rasa.
    “Sebentar, Mas, saya ada bawa sedikit camilan.” Farah bergegas menuju mobilnya.
    Wangi kopi dan renyahnya obrolan para peneliti itu menguak kesunyian malam. Kuncup bunga raflesia yang bentuknya mirip kubis itu masih berada di situ. Urat-uratnya yang hijau  makin menonjol.  Kamera video yang dinyalakan otomatis selama dua puluh empat jam selalu memantau setiap perubahan apa pun yang terjadi pada bunga itu setiap detiknya.
^^^
    Malam ketiga, di lokasi bunga raflesia, ponsel Farah bordering. Dari Wisnu!
    “Ya…. Aku sedang mengamati bunga Rafflesia arnoldi di Kebun Raya Cikini….”
    “Aku masih di Kualalumpur, lusa baru pulang. Kamu ingin oleh-oleh apa, Sayang…?” tanya  Wisnu.
    “Apa saja, deh… yang penting tidak berwarna pink!” kata Farah, cepat. Lewat  sudut matanya, Farah memperhatikan Teddy yang sedang membetulkan letak tiang penyangga kamera video.
    Wisnu meminta Farah memanggil Angke. Angke yang sedang asyik bermain, langsung cemberut.
    “Angke… ayo cepat!”
    Separuh hati Angke menjawab pertanyaan Wisnu. Secepat mungkin, ia kembalikan ponsel kepada ibunya, lalu masuk tenda lagi.
     “Tadi telepon dari siapa?” tanya Chika, penuh rasa ingin tahu.
    “Oom Wisnu… pacarnya Bunda….”
    Mulut Chika membentuk huruf O bulat.
    “Aku pernah lihat kartu namanya di meja Bunda,” ujar Angke, setengah berbisik. “Nama lengkapnya Wisnu Patria Ijzerman….”
“Spiderman?” celetuk Chika sembarangan. Cepat-cepat ia membekap mulutnya sendiri, bahunya berguncang menahan tawa. “Namanya aneh, ya… susah mengejanya!” ujarnya lagi.
    “Ya, dia keturunan orang Belanda, matanya agak kehijauan. Nanti kamu perhatikan saja kalau ketemu dia….”
    Mata Chika membulat, penasaran. Baru saja ia hendak membuka mulutnya, suara ayahnya langsung meredupkan rasa penasarannya yang baru saja tumbuh.
    “Chika, sudah diminum obatnya?”
    Chika menjawab cepat. Dia menempelkan telunjuknya di bibir sambil melihat Angke. Diraihnya sebotol obat batuk, lalu meminumnya satu sendok dalam sekejap. Dua butir tablet pun secepatnya ia telan. Chika diwanti-wanti oleh ayahnya agar ia lebih banyak berada di dalam tenda, karena udara di luar lebih dingin.
    Di luar, Farah dan Teddy mempersiapkan pers release yang dikirimkan malam itu juga via e-mail dan faksimili ke beberapa media cetak dan elektronik.  

^^^
    Malam keempat. Siang harinya Teddy menelepon Farah dan memintanya datang lebih awal.    
“Jakarta hujan terus sejak pagi, suhu udaranya nyaris sedingin malam. Bunga itu akan mekar lebih cepat dari yang diperkirakan. Raflesia kita bisa tertipu oleh cuaca yang dikiranya malam hari.”
    “Baiklah, sepulangnya Angke les matematika, saya akan langsung ke sana….”
    Farah segera merapikan berkas-berkas laporan yang sedang ia kerjakan. Ia masih harus mengawasi penyeleksian bibit pohon yohimbe untuk dipindahkan dalam polybag. Kulit pohon yohimbe berkhasiat sebagai obat penambah stamina bagi pria. Farah sempat tersenyum sendirian ketika memperhatikan anak buahnya yang memisahkan ratusan polybag berisi bibit yohimbe unggulan ke dalam green house.

^^^
    Kebun Raya Cikini tampak segar usai diguyur hujan barusan. Angke langsung menghampiri Chika yang spontan mengajaknya bermain.
    “Kita memunguti bunga kemboja di samping laboratorium, yuk!” ajak Chika. Chika menghampiri kursi di depan ayahnya, ia mencari-cari sesuatu. Angke melihat ke arah ibunya yang sedang mengobrol bersama Teddy. Farah mengerti maksud Angke, ia mengangguk. Kedua anak itu langsung beranjak dan jalan berjingkat-jingkat, menghindari genangan air. Bunga-bunga kemboja berserakan di rerumputan. Hujan mempercepat jatuhnya bunga-bunga putih yang wangi itu.    
    “Ayahnya Angke namanya siapa, sih?” tanya Chika, dipungutnya sekuntum bunga kemboja yang berkelopak besar.
“Irfan Setiawan.”
“Kata Papi, dia sudah meninggal, ya?”
“Ya, waktu itu Angke masih kecil, masih TK…,” suara Angke terdengar datar.
“Sekarang juga kamu masih kecil, masih kelas tiga. Kalau aku ‘kan sudah besar, kelas lima, lho…!” kata Chika.
Angke memunguti bunga kemboja. Chika menyimpannya dalam sebuah kantong plastik bekas roti yang dibeli ayahnya.     
Angke dan Chika saling bercerita tentang ayah mereka.
“Angke sering diajak ke laboratorium  Ayah, terus Angke boleh melihat akar kentang pakai mikroskop. Di situ ada telur cacingnya, lho. Angke dikasih tugas sama Ayah untuk menghitungnya,” kata Angke bangga. Sekuntum bunga kemboja jatuh menerpa kepala Angke dan tersangkut di rambutnya.
“Kalau aku, Papi pernah memperlihatkan cara memasukkan tunas-tunas anggrek langka ke dalam botol….”
     “Apa nggak mati dimasukkan ke dalam botol?”
    “Nggak, dong! Aku juga pernah tanya seperti itu sama Papi. ‘Kan tunas anggrek itu bikin oksigen sendiri dan diisap sendiri…”    
 “Ooh, begitu, ya….” Angke mengunyah sebatang cokelat karamel besar kesukaannya. Sepotong lainnya sudah ia berikan kepada Chika.
“Waktu Bunda eksplorasi ke hutan Sulawesi, Angke diajak menginap di wisma kantor Ayah di Cipanas. Jauh, lho! Di sana, Angke ikut menghitung bunga kacang tanah. Jumlahnya di setiap pohon, Angke tulis di lembaran kertas yang banyak gambar kotaknya….” Mata Angke berbinar-binar.
    “Ayahmu bisa masak nggak? Kalau papiku jago masak…! Apalagi sesudah Mami pergi, Papi jadi lebih rajin bikin sarapan…,” kata Chika, penuh semangat. “Pernah, papiku masih ngantuk, bikin susu cokelat malah dikasih garam….”
    Angke tergelak, bunga kemboja yang sedari tadi bertahan di rambutnya kini terjatuh.     
    Senja kian temaram, membenamkan dirinya di antara tajuk pepohonan. Tenda kecil sudah terpasang. Di sebelah Angke, Chika tidur-tiduran sambil memeluk bantal lusuh bergambar beruang. Matras dan kasur lipat yang mereka bawa, dirapatkan. Tanpa jarak. Ruang gerak mereka menjadi lebih luas, meski kasur Chika lebih tebal. Angke justru menjadikan kasur Chika sebagai bantal, dan dia tidur melintang. Akhirnya Chika mengubah posisinya, mereka pun berbaring bersisian.
    Angke membiarkan matanya menjelajahi bagian atas tenda berwarna ungu tua itu. Kenangan bersama ayahnya tergambar di situ, seperti rekaman video yang diputar ulang.
    “Gimana, sih, rasanya punya ayah sudah meninggal?” tanya Chika, tiba-tiba, sambil membalikkan badannya. Mata anak itu penuh rasa ingin tahu, seakan tak sabar ingin mendengar sebuah pengalaman hebat yang hanya dimiliki segelintir anak-anak tertentu seusia mereka.
    “Ya, sedih saja. Angke suka kangen. Angke tahu Ayah meninggal. Waktu Ayah dimakamkan, Angke lihat. Tapi, kalau lagi kangen, rasanya Ayah masih ada dan Angke ingin ketemu.”
    Chika terdiam beberapa saat. Mencoba memindahkan kepedihan itu dalam benaknya. Kalau Papi meninggal, tentu saja aku tak bisa bikin sarapan bareng lagi, batin Chika. Tak ada yang mengantarnya sekolah atau nonton film kartun bareng di rumah sambil menikmati popcorn buatan mereka berdua.
    “Wah…. nggak enak juga, ya, kalau ayah kita meninggal!”
    “Iya….”
    “Apalagi Papi dan Mami sudah bercerai, dan Mami sudah menikah lagi….”
    “Kok, bisa begitu, papimu kan masih hidup?!”
    “Nggak tahulah. Papi hanya bilang, kalau aku sudah besar, baru akan mengerti. Orang dewasa memang suka bikin bingung anak-anaknya.”
    Angke tidak menjawab. Giliran ia memikirkan bagaimana rasanya ditinggal ibunya. Beberapa detik kemudian dia bergidik sendirian, tak kuasa meneruskan apa yang dia rangkai dalam benaknya.
    

^^^
    Pagi hari pukul 02.38. Tiba-tiba, klek! Bukaan kelopak raflesia bergerak lebih lebar. Farah membuka ritsleting sleeping bag-nya. Teddy, Erik dan Suta sudah bergegas menghampiri bunga raksasa itu.
    “Sudah waktunya….?” suara Farah lebih mirip gumaman orang mengigau.
    “Sedikit lagi…… Lima belas menit yang lalu aku siram air kendi sedikit. Ternyata ada reaksi!”
    “Air kendi?” tukas Farah. “Kesannya mistik, deh…!” Kali ini suaranya lebih jelas dan nyaring. Rupanya dia seratus persen sudah bangun.
    “Air kendi tak sedingin air kulkas. Namanya juga trial and error, coba-coba sedikit boleh, ‘kan?” ujar Teddy, ringan. “Suhu yang dibutuhkan raflesia untuk menggerakkan kelopaknya sangatlah relatif dan tak bisa diduga!”
    “Menunggu mekarnya raflesia saja butuh kesabaran ekstra….”
    “Seperti menunggu orang melahirkan saja.”
    “Iya, dan air kendi itu, kok, jadi mirip cairan infus yang merangsang bunga itu membuka lebih lebar….”
    “Mbak Farah bisa saja, ah….!” kata Teddy, sedikit tersipu. Sehelai daun jatuh menimpa pundaknya. Erik dan Suta sedang menyetel tripod kamera otomatis yang merekam gerak raflesia.
“Mekarnya bunga hanya bagian kecil dari proses pembudidayaan raflesia. Kita akan melewati banyak tahapan lagi sampai benar-benar bisa membudidayakan bunga ajaib ini!” kata Teddy, serius.
    “Ya, selanjutnya kita harus berusaha agar ada dua bunga yang mekar dalam waktu berdekatan.”
    “Betul, Mbak, kita hanya akan menciptakan populasi yang mati bila hanya satu bunga yang mekar. Bila bunga betina mekar sendirian, dia tidak bisa melakukan reproduksi, putik sarinya tak berguna. Sebaliknya, bila yang mekar bunga jantan saja, serbuk sarinya jadi mubazir.”
    Rafflesia arnoldi termasuk jenis tumbuhan berumah dua, bunga jantan dan betinanya hidup terpisah. Agar terjadi penyerbukan yang sempurna, mereka harus mekar bersamaan. Waktu yang dibutuhkan dari mulai terbentuknya kuncup bunga hingga mekar sempurna adalah sekitar 21 bulan.
 “Mudah-mudahan kita nggak keburu pensiun dan masih sempat memperbanyak bibit raflesia ini…,”    ucap Farah, perlahan. Suara serangga malam menembus kelam.
“Don’t worry be happy! Ada dua calon peneliti cilik yang siap meneruskan cita-cita orang tuanya….”  
Teddy melepaskan kacamatanya, lalu mengelapnya perlahan. Untuk pertama kalinya, Farah melihat mata Teddy tanpa dibatasi kacamata. Mata itu sesejuk air kendi yang dibiarkan semalam, dinaungi alis mata yang tebal selebat tajuk pepohonan di belantara Sumatra.


Penulis: Katherine Achmad



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?