Fiction
Dua Takdir [2]

18 Apr 2013

<<< Cerita Sebelumnya

Ina B. Alasta

Kisah Sebelumnya:
Arika dan Gandhi, sepasang suami-istri yang harus bercerai. Setelah dua tahun, Gandhi kembali menghubungi mantan istrinya, setelah perselingkuhan yang menjadi penyebab retak rumah tangganya. Di tempat lain, Rarasati selalu merasa di bawah bayang-bayang kembarannya, seorang news anchor yang pintar dengan kecantikan sempurna, Larasati Prawira.  

Arika & Gandhi
    gandhi-hasan    : Ayik ....
    gandhi-hasan    : Kau baik-baik saja?
    Sudah dua minggu ini aku sengaja memasang mode invisible tiap kali sign in di Yahoo Messenger. Tujuannya cuma satu. Agar bisa mengabaikan sapaan tadi. Sebaliknya, sejak chatting kami waktu itu, Gandhi tak lagi menggunakan mode invisible.

Vicky sempat jengkel dengan kebiasaan baruku itu. Dia malah mengusulkan aku membuat ID baru jika memang bermaksud menghindar dari Gandhi. Tapi, aku malas membuat e-mail address baru. Jadinya seperti itu tadi, dua minggu Gandhi tak mendapatkan apa-apa. Aku cuma memandangi kata-katanya sambil berpikir kapan dia akan bosan. Sudah dua minggu, dan dia belum bosan. Kuceritakan ini semua ke Tara dan Vicky. Mereka mengernyit.
    “Kenapa tidak mau membuat hubungan baik dengannya?”
    “Bukan begitu maksudku, Tara. Aku cuma masih malas bicara dengan Gandhi.”
    “Ehm .... bagiku kedengarannya sama saja. Iya, nggak, Vick?”
    Vicky mengangguk. Nah, dua sahabatku berpendapat bahwa aku tidak berusaha membangun hubungan baik dengan mantan suamiku. Huh!
    arikakusuma        : Iya, aku baik-baik saja. Ada apa?
    Kujawab chat Gandhi demi mematahkan pendapat dua sahabatku itu.
    gandhi-hasan    : Ah, akhirnya kau menjawab juga.... lama tidak online? Biasanya setiap hari kan?
    Bukan urusanmu, Gandhi! Tapi tentu bukan itu yang kuketik untuknya. Jadi kuketikkan untuknya sebuah kebohongan.
    arikakusuma        : Internet-ku trouble. Dikejar tenggat juga. Agak sibuk.
    gandhi-hasan    : Oohhh ...... jangan terlalu memforsir diri. Tifusmu bisa kambuh kalau kau lelah.
    Ehmmm … masih ingat juga dia soal tifusku.
    arikakusuma        : I'm OK. Tidak perlu khawatir. Thanks.
    gandhi-hasan    : OK.... Ayik, kau tinggal dengan siapa di sana? Tidak sendirian kan?
    arikakusuma        : Dengan Laila. Dia kuliah kedokteran di Airlangga.
    gandhi-hasan    : Good. Laila, ya? Ah, aku ingat dia. anak Tante Yuli kan? Di daerah mana kalian tinggal?
    arikakusuma        : Surabaya Barat.
    Aku tak berminat memberi detail alamat kepadanya. Tak perlu.
    gandhi-hasan    : Agak jauh dari Airlangga, ya?
    arikakusuma        : Ya, tapi Laila bilang tak masalah.
    gandhi-hasan    : Ayik, kenapa tak pulang ke Jakarta? Kenapa masih di Surabaya?
    Ini arah pembicaraan yang aku tidak suka. Pertanyaan yang potensial mengorek luka.
    arikakusuma        : Tidak apa-apa. Aku tidak ada masalah dengan Surabaya.
    gandhi-hasan    : Dulu kau suka mengeluh soal banjirnya....
    arikakusuma        : Aku bukan pegawai kantoran yang tiap hari mesti keluar rumah sehingga riskan terjebak banjir. Aku orang rumahan. Keluar rumah juga cuma sesekali. Di Jakarta juga banyak banjir.
    gandhi-hasan    : Iya, juga, sih.... cuma aku pikir kau akan pulang ke Jakarta setelah masalah kita.
    Gandhi menyebut perceraian dengan 'masalah kita'.
    arikakusuma        : Awalnya kupikir juga begitu. Ke sini kupikir cuma untuk ambil sisa barangku. Tapi setelah keluar dari rumah sakit kupikir lebih baik tinggal. Toh waktu itu sudah ada Laila juga. Dan ternyata memang lebih menguntungkan tetap tinggal di sini.
    gandhi-hasan    : Menguntungkan bagaimana?
    arikakusuma        : Ya, untung, tak perlu membuat konferensi pers pada orang-orang yang kukenal.
    gandhi-hasan    : Aku tak mengerti ....
    arikakusuma        : Gandhi, kembali ke Jakarta berarti bertemu dengan orang-orang yang kukenal. Berarti menghadapi tatapan mata kasihan dari mereka. Berarti harus mengulang-ulang cerita penjelasan. Bukan hal yang menyenangkan sama sekali.
    gandhi-hasan    : Ooohhh begitu ya.... Benar juga.....
    arikakusuma        : Ya
    gandhi-hasan    : Ayik, maaf ya soal kejadian itu.
    Maaf. Apakah selalu kata itu yang diucapkan mereka yang sudah bercerai? Maaf yang  selalu datang terakhir, sama terlambatnya dengan penyesalan.
    arikakusuma        : Sudahlah.
    gandhi-hasan    : Yaahhh ...memang sudah kadung terjadi.... Tapi itu lebih banyak karena salahku.
    Kuakui, kalimat ini agak melumerkan hati. Sebenarnya, dulu dia pernah mengucapkan kalimat yang kurang lebih sama. Tapi, saat itu tak berefek positif padaku. Harga diriku sudah telanjur terluka. Juga hatiku. Semuanya tak tersembuhkan cuma oleh sederet kalimat penyesalan. Waktu. Tara mungkin benar soal itu. Waktu mungkin menyembuhkan. Paling tidak, mulai menyembuhkan.
    gandhi-hasan    : Ayik .... nomor ponselmu tetap sama?
    Waktu mungkin mulai menyembuhkan. Tapi, aku tetap tidak suka dengan pertanyaan itu. Aku tak suka arahnya.
    arikakusuma        : Kenapa?
    gandhi-hasan    : Ingin sekali-sekali mengobrol denganmu. Tentu kalau kau tak keberatan.
    arikakusuma        : Mau mengobrol soal apalagi, Gandhi?
    gandhi-hasan    : Ayik .... kau keberatan?
    arikakusuma        : Entahlah.... aku tidak tahu topik apa yang akan kita obrolkan. Juga apakah kita masih bisa mengobrol dengan enak.
    gandhi-hasan    : Ayik, aku selalu berpikir kita masih bisa berhubungan dengan baik. Paling tidak sebagai teman.
    gandhi-hasan    : Nomor teleponku tetap, Yik. Kau bisa hubungi aku kapan saja. Tolong anggap aku sebagai temanmu, mungkin seperti Tara atau Vicky. Syukur kalau kau bisa menganggapku sebagai abangmu.
    gandhi-hasan    : Ayik, please ... bisa kan?
    arikakusuma        : Kenapa?
    gandhi-hasan    : Aku ingin membuat hubungan baik denganmu. Paling tidak aku pernah punya sembilan tahun waktu bersamamu. Sembilan tahun itu ternyata tak bisa dihapus begitu saja.
    arikakusuma        : Sembilan tahun itu tak lengkap, Gandhi. Paling tidak setahun terakhirnya tak keruan...  hancur sekali....
    gandhi-hasan    :  Aku tahu.
    Ya, kalau kau tahu, jangan minta terlalu banyak atas nama sembilan tahun yang tak lengkap itu, sungutku dalam hati.
    gandhi-hasan    : Tapi, tetap saja itu sembilan tahunku denganmu.
    arikakusuma        : Gandhi, kau tahu nomor handphone-ku tetap sama. Dan kalaupun berubah kau bisa menanyakannya ke Mama. Kau tahu aku tak pernah memutuskan hubungan dengan beliau.
    gandhi-hasan    : Memang. Tapi, aku perlu tahu kau tidak keberatan jika aku meneleponmu.
    arikakusuma        : OK, terserah kau saja.
    gandhi-hasan    : Thanks, Ayik :-)

****

Rarasati & Larasati
    Larasati Prawira. Itulah saudariku. Tiap langkahnya nyaris selalu berarti kejutan untukku. Kejutan pula yang akhirnya kutemui ketika mengunjunginya. Kejutan pertama: dia tinggal di apartemen. Mewah pula.
    “Berapa harga apartemen ini?”
    Dia tertawa-tawa, menarikku ke dalam. Ada dua kamar tidur, ruang makan yang jadi satu dengan pantry, dan ruang duduk dengan sofa kulit berbentuk L. Ehmmm .... interiornya minimalis. Berkelas. Hitam putih, maskulin sekali. Sebenarnya lebih cocok jadi apartemen bujangan, bukan gadis semacam dia.
    Lagi-lagi dia tertawa. “Menurutmu gajiku cukup untuk membayar ini semua?”
    Berarti ini bukan miliknya. “Kau menyewa? Ibu dan Bapak sudah pernah ke sini?” Membayangkannya bisa menyewa tempat tinggal seperti ini membuatku kecut mengingat gajiku sebagai arsitek junior di Surabaya. Ah, orang tua kami bangga melihat ini ….
    Dia menggeleng. “Punya Haris. Aku baru tiga bulan di sini. Dia yang minta.”
    Haris. Nama baru.
    “Siapa Haris? Pacar barumu?”
    Pipinya merona. Tak pernah kulihat dia seperti itu, kecuali ketika mengisahkan cinta pertamanya dengan Lukman, dulu saat kami masih gadis belasan. Lalu cerita tentang laki-laki itu mulai mengalir dari mulutnya. Mereka kenal di satu acara televisi yang disponsori perusahaan Haris beberapa bulan lalu. Laki-laki yang bukan laki-laki biasa. Tapi, bukan karena dia kaya, tukas saudariku.
Dia anak Ibrahim Usman, konglomerat terkenal itu. Katanya, dia pintar dan baik. Juga tidak sombong, tahu adat, sensitif, dan sangat menghargai orang lain. Katanya, dia sangat suka fotografi. Ditunjuknya satu foto dirinya. Karya Haris, katanya penuh bangga. Memang bagus.
    Itulah saudariku. Dia sedang jatuh cinta. Dari caranya dia membicarakan laki-laki itu, aku mengerti cintanya kali ini dalam. Aku jadi membayangkan sebuah pernikahan megah penuh pesohor. Dan aku ada di dalamnya sebagai satu titik hitam. Ah....
    
****

Malamnya kejutan kedua datang. Haris. Dia datang dengan langsung membuka pintu, tanpa mengetuk atau membunyikan bel. Saudariku langsung melompat menyongsong, bergelayut, memaksa laki-laki itu menggendongnya di punggung.
    “Itu Raras.”
   
Haris melambaikan satu tangannya ke arahku. Tersenyum. Aku ingat pernah melihatnya di televisi, entah acara apa. Waktu itu sepertinya biasa saja. Tapi, kini kupikir dia ganteng. Kulitnya cokelat bersih. Badannya tegap dan tampak liat. Perutnya rata, mungkin juga belah enam. Rambutnya pendek sekali. Dengan celana hitam, kemeja kelabu yang lengannya ditekuk hingga siku, dan sepatu bagus macam itu, dia adalah Arjuna.
Aku jadi ingat Yanuar, site engineer yang selalu memandangku dengan seluruh bola mata sendunya. Ah, alangkah berbeda mereka berdua….
    “Baby, apa yang kau masak untuk menjamu Raras?”
    “Tidak ada. Aku akan menelepon pizza atau ayam goreng setelah ini. Kau mau apa, Yang?”
    Ehmmm .... percakapan antara 'baby' dan 'sayang'. Agak risi aku mendengarnya. Apalagi dilengkapi dengan adegan gendong-menggendong seperti itu.
    “Sepertinya aku harus turun tangan memasak untuk kalian, Nona-Nona.”
    Kembarku langsung bersorak, melompat turun dari punggung Arjunanya yang segera masuk kamar, mungkin untuk menyimpan tas kerja yang sedari tadi membebani bahunya. Kembarku menyusul masuk ke kamar yang sama. Aku jadi resah. Kudengar tawa renyah mereka di dalam. Lalu senyap selama bermenit-menit. Lama sekali. Aku gelisah, menduga-duga apa yang mereka lakukan di dalam sana.
    Akhirnya handle pintu itu bergerak. Arjuna itu keluar sambil mengenakan kaus putih polos. Di bawahnya ada celana basket selutut. Dia melempar senyum padaku yang duduk kaku di sofa yang sama ketika dia masuk kamar tadi. Senyumnya biasa-biasa saja, tak sebanding dengan sejuta tanda tanya di kepalaku.
    “Ehmmm... sepertinya aku cuma bisa masak spaghetti carbonara untukmu, Ras. Dia meneliti isi kulkas. “Kau suka, ‘kan?”
    Aku cuma bisa mengangguk. Gelisahku belum hilang, kembarku belum muncul.
    “Jam berapa kau sampai?”
    “Tengah hari tadi. Laras menjemputku di bandara.” Aku tahu nadaku kikuk. “Apa yang bisa kubantu?” Kuhampiri dia yang sedang mengiris bawang di pantry.
    “Tolong rebuskan air untuk spaghetti. Cukup itu saja. Ada acara khusus di Jakarta?”
    Kembarku benar, Arjuna ini manis tutur katanya.
    “Tidak ada. Cuma kepingin menengok Laras. Mungkin juga sekadar jalan-jalan, cari-cari buku.”
    “Laras bilang kau arsitek, ya? Tidak terpikir untuk pindah ke Jakarta? Tuh, ada kamar yang lebih banyak menganggur tanpa penghuni.” Dagunya menunjuk kamar tempat aku tadi menaruh ranselku.
    “Rasanya Jakarta terlalu ramai.”
    Dia tertawa ringan. Tepat saat itu kembarku muncul. Rok terusannya tadi sudah berganti dengan celana pendek dan tank top. Wajahnya agak sembap. Sambil mengikat rambutnya ke atas, dia menuju ke arah kami. Ke arah Haris tepatnya. Lalu memeluk pinggang Arjuna itu dari belakang, tanpa sungkan padaku.
    “Sudah tidurnya? Enak?” Sang Arjuna menyambut. Yang ditanya cuma senyum-senyum.
    “Dia tak perlu dibantu, Ra. Haris pintar masak. Sebentar lagi dia pasti akan bercerita soal ilmu sampingan yang didapatnya waktu di Harvard.” Dia menarikku kembali ke sofa, meraih remote control, mengubah channel televisi.
    “La ....”
    “Ya?” Matanya tampak tanpa dosa. Mukanya masih sembap dan sedikit mengilap.
    “Kau.... Kalian....” Sungguh susah menemukan kalimat yang cocok untuk bertanya.
    “Apa?”
    Tetap tak kutemukan kata. Tapi, sepertinya dia mengerti dan berkelit dengan diam. Diam sampai Haris menaruh masakannya di meja makan dan membagi piring di antara kami bertiga.
    Malam itu dia tak mengerti betapa aku gundah dan ingin mencegah melihatnya melangkah masuk ke kamar yang sama dengan yang dimasuki Haris sebelumnya ketika bilang dia lelah dan mengantuk. Aku jadi susah tidur.
    Besoknya Sang Arjuna pergi ke kantor pagi-pagi. Ada breakfast dengan kolega-kolega bisnis katanya. Aku sedang mengamati Jakarta pagi dari jendela besar yang semalam kuabaikan. Kembarku mencium kekasihnya di pintu.
    “Hari ini jalan-jalan, yuk? Mumpung aku libur hari ini.”
    Aku memandang tepat di manik matanya. Masih kesulitan mencari kalimat yang tepat.
    “Aku mau belikan kain sari untuk Ibu. Aku sudah janji tempo hari. Nanti tolong titip ke Ibu kalau kau pulang ke Tulungagung.”
    Ibu. Pikiranku melayang ke perempuan yang dalam perutnya kami pernah bergelung bersama. Ibu, apa yang kau lakukan jika kau ada di sini sekarang?
    “Kapan kau bisa pulang?”
    “Mungkin bulan depan. Aku sudah pulang minggu lalu.” Kalimat itu susah payah keluar dari mulutku.
    Kini matanya yang berganti mencari mataku. Bermenit-menit cuma ada diam.
    “La .... kau dan Haris ….  kalian …?”
    “Aku mencintainya, Ra.” Jawabannya lirih, tapi cepat sekali keluar.
    Cinta. Aku tak tahu apakah barang itu sungguh alasan yang tepat.
    “Lagi pula, aku melakukan ini cuma dengan dia. Tidak dengan orang lain. Aku mencintainya. Dia juga begitu padaku.”
    Sekarang dia lebih tampak seperti gadis naif ketimbang kembarku yang logis dan cerdas.
    “Dia akan menikahimu?”
    Dia mengangguk. “Ya, tapi tidak sekarang. Mungkin dua atau tiga tahun lagi. Dia sedang sangat sibuk sekarang, Ra. Kau tahu, ayahnya mulai memercayakan beberapa perusahaannya pada Haris. Ayahnya sedang menguji kemampuannya. Dia anak lelaki tertua. Putra mahkota.”
    “Kau bagaimana?”
    “Aku sanggup menunggunya, Ra. Dua atau tiga tahun takkan lama. Lagi pula, aku punya karier. Dan Haris baik sekali. Kau lihat sendiri, ‘kan?” Kembarku memeluk bantal sofa seperti mendekap kekasihnya.
    Baik sekali? Dari semalam hingga pagi ini tak kulihat hal yang salah dari laki-laki itu. Baik, mungkin. Pintar memasak, iya. Kaya, pasti. Dari kalangan atas yang terkenal. Putra mahkota berpendidikan Amerika dari sebuah kerajaan bisnis. Aku bergidik mengingat itu semua.
    “Apa kata Ibu dan Bapak kalau tahu ini, La?”
    Dia memberengut. “Kau tak berniat mengadu, ‘kan?”
    Ah, mengapa dia tak mengerti bahwa bukan itu masalahnya….
    “Ra, ini Jakarta! Banyak yang melakukan hal lebih buruk dari yang kulakukan. Aku hanya tinggal dengan orang yang kucintai dan mencintaiku. Itu saja. Cinta Ra, ini atas nama cinta!”
    Kembarku sedang mengajariku tentang cinta, sekaligus menuding betapa udiknya aku. Dan dia mengenyakkanku lebih ke sudut lagi dengan satu kata terdiri dari lima huruf: cinta.
    “Ra, come on ….”
    Dia mengajakku bersekongkol, seakan apa yang dilakukannya sekadar menyembunyikan vas bunga kesayangan Ibu yang tak sengaja dipecahkannya.
    “Lagi pula, aku sudah dewasa, Ra. Aku tahu apa yang kulakukan.” Dia beranjak berdiri menuju kamar mandi. “Ayo, kita pergi jalan-jalan agar kau tahu Jakarta.”
    Itu adalah kalimat pemungkas. Mungkin kalimat itu juga yang membungkam mulutku ketika pulang ke Tulungagung. Ibu tetap asyik dengan kebanggaannya. Bapak juga tetap dengan senyum dikulumnya. Sedangkan kembarku ada di dalam layar kaca sana. Sementara aku kelu.

****

Arika & Gandhi
Starbucks sebenarnya dari tadi cukup sepi. Tapi, aku memilih untuk masuk hanya setelah kulihat ada Gandhi duduk di sana. Di satu sudut, tapi terlihat jelas dari pintu masuk. Senyumnya langsung mengembang ketika melihatku masuk. Dia berdiri menyambut.
    “Kupikir kau tak datang.”
    “Aku bukan tipikal yang suka membatalkan janji.”
    “Ya, aku tahu. Tapi, kau juga bukan tipikal yang suka datang terlambat. Karena itu terpikir olehku kau tidak datang.”
    “Kau yang terlambat. Aku sempat dua kali lewat sini, tapi tak kulihat kau ada.”
    “Ya, kau benar. Maaf. Tadi ada telepon dari kantor tepat ketika aku akan berangkat ke sini. Kenapa tidak menunggu di dalam saja tadi?”
    Ah, dia tidak tahu aku alergi duduk sendiri di kafe setelah bercerai. Aku pernah duduk sendirian menunggu Vicky datang dulu. Dan hasilnya, paling tidak ada dua laki-laki menawarkan diri menemani. Mungkin mereka tidak bermaksud buruk. Tapi, aku tidak suka perlakuan seperti itu.
    “Aku perlu tinta printer. Jadi keliling dulu.”
    Kami duduk berhadapan lagi. Setelah dua tahun. Wajahnya bersih segar. Pipinya ranum. Cuma mungkin lupa bercukur tadi. Potongan rambut masih persis seperti dulu. Badannya juga masih seperti dulu, tak lebih kurus. Malah perutnya sedikit menonjol. Kaus hitamnya tampak kontras dengan warna kulitnya. Ah, dia baik-baik saja.
Hatiku terganggu melihat jari-jari di atas meja itu polos tanpa apa-apa. Dulu pernah ada cincin emas putih dengan namaku di sana. Bagaimana dia melepasnya? Dengan sedu sepertiku? Pasti tidak!
    “Sudah observasinya?”
    Aku mengangguk.
    “Hasilnya?”
    “Kau baik-baik saja. Terawat dengan baik pula.” Sengaja kutekan nadaku di kata 'terawat'.
    Dia tertawa kecil, lalu menggeleng. “Yang di dalam sini sebenarnya tidak sebaik yang kau lihat.” Dia menunjuk dadanya. “Sudahlah, kau tak akan percaya, Ayik.”
    Percaya atau tidak, bagiku tak lagi ada bedanya.
    “Mau tahu hasil observasiku?”
    Aku mengangkat bahu.
    “Kau jadi lebih pendiam. Matamu juga beda cahayanya. Agak murung. Apa karena aku yang kau lihat sekarang? Apakah sinar matamu akan berubah jika yang kau lihat objek lain?”
    Terpaksa aku tertawa sedikit.
    “Naaahhh... begitu lebih baik.”
    “Ini semua tidak memengaruhimu, Gandhi?” (Bersambung)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?