Fiction
Dua Takdir [3]

18 Apr 2013

<<< Cerita Sebelumnya

Ina B. Alasta

Kisah Sebelumnya:
Setelah dua tahun bercerai, Gandhi kembali menghubungi mantan istrinya, Arika, dan mencoba memperbaiki hubungan mereka. Di tempat lain, Rarasati selalu merasa di bawah bayang-bayang kembarannya, seorang news anchor yang pintar dengan kecantikan sempurna, Larasati Prawira. Bagaimana Rarasati harus menahan diri melihat rahasia ‘hitam’ kembarannya agar orang tua mereka tetap bangga.


Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan-pelan sebelum menjawab. “Bohong kalau aku bilang aku tak terpengaruh. Tapi, kau juga tidak akan terlalu percaya kan kalau itu berefek hebat padaku? Ayik, kau tak tahu perasaanku ketika kau masuk rumah sakit tepat setelah kejadian itu. Adukan antara rasa bersalah, menyesal, hina, dan takut. Kau tak tahu seperti apa aku waktu itu.”
    “Kau yang mengirim Intan untuk tinggal tiga hari di Surabaya?”
    Dia mengangguk. “Terpaksa kuminta adikku yang datang karena kau pasti tidak menerimaku. Akan memperburuk kondisimu. Aku sungguh merasa dihukum waktu itu.”
    “Hei... itu sakit yang datang tanpa kuundang. Kalau bisa memilih, tentu aku lebih suka sehat. Itu bukan untuk menghukummu.”
    Lagi-lagi dia mengangguk. “Aku tahu. Tapi itu yang kurasakan.”
    “Ehmmm... bukankah ada Widya?”
    “Ya, memang ada dia. Tapi, jangan kau kira lalu semuanya terhapus begitu mudahnya. Aku juga tidak baik-baik saja, Ayik, sama sepertimu. Jangan berpikir seakan aku menafikan kita. Semua ada artinya.”
    “Kenapa kau belum juga menikahinya?”
    “Ehmmm.... apa ya... seperti yang aku bilang tadi, aku tidak baik-baik saja. Dan mungkin seperti itulah seharusnya sesuatu yang salah berjalan. Tidak berujung pada hal yang baik. Semuanya selesai begitu saja. Apalagi tidak ada dasar yang kuat.”
    “Dasar yang kuat?”
    “Ya...  dasar seperti ketika kita menikah dulu.”
    “Tapi, walau ada dasar yang kuat pun tak beda hasilnya. Kita juga hancur….”
    Dia mengangguk-angguk. “Ya, aku tak menolak itu memang salahku. Dan aku tak hendak membela diri di depanmu. Penyesalan memang tak pernah datang awal.”
    “Kenapa, Gandhi...? Maksudku, kenapa kau lakukan itu?”
    “Entahlah... aku tak bisa menerangkan secara persis dan gamblang. Tak ada yang salah padamu. Semua berawal dari rasa kasihan. Aku kasihan mengetahui semua cerita hidupnya. Aku sepertinya harus hati-hati dengan rasa kasihan. Dan sebenarnya itu tak sejauh yang kau kira. OK, kuakui aku suka dia waktu itu, simpati, kasihan, dan sebagainya. Cuma aku tidak melakukan hal-hal yang.... Ah, tapi memang aku ada dalam posisi salah. Tak seharusnya aku punya perasaan-perasaan semacam itu.”
    “Dan untuk menjelaskan bahwa tidak melakukan 'itu' dengan Widya, kau mengajakku bertemu sekarang?”
    Dia tersenyum. “Ayik, Ayik... aku kenal kau. Aku tak akan memanipulasimu dengan cara itu. Tak akan mempan. Aku sudah lama ingin bertemu. Melihat keadaanmu langsung dengan mataku sendiri.”
    “Aku baik-baik saja, Gandhi. Tak perlu dikhawatirkan secara berlebihan.” Itu tadi bahasa halusnya. Kasarnya sebenarnya adalah 'sudahlah, kau bukan siapa-siapaku lagi, tak perlu urusi hidupku!'
    “Ayik, aku akan sering kunjungan kerja ke cabang Surabaya. Kau juga ada di sini. Kita punya sejarah. Memang secara hukum semuanya sudah selesai. Tapi, ada yang tidak dapat dijangkau oleh hukum. Perasaanku. Perasaanmu. Aku mau hidup tenang, Ayik. Dan ada ganjalan besar.  Karena itu aku minta ketemu kau. Memperbaiki hubungan. Aku ingin ganjalan ini terkikis pelan-pelan hingga akhirnya hilang sama sekali. Aku tak peduli berapa lama, yang penting harus mulai kukikis.” Matanya tampak sungguh-sungguh.
    “Gandhi, seperti aku bilang tadi, aku baik-baik saja. Waktu akan menyembuhkan semuanya. Mungkin lebih baik kau gunakan waktumu untuk hal lain, menemui Widya misalnya. Menjalani hidupmu sendiri.”
    Lagi-lagi senyum sabarnya mengembang. Senyum itu dulu yang selalu dipakainya senjata, jika aku sibuk mengomel terhadap sesuatu.
    “Lama semuanya sudah selesai, Ayik. Dia juga sudah menikah dengan orang lain. Kan tadi aku sudah bilang bahwa sesuatu yang tidak mempunyai dasar yang kuat, maka berakhir begitu saja.”
    “Ya sudah, carilah orang lain.”
    “Kau malas bertemu denganku karena sangat benci, atau karena sudah menemukan orang lain?”
    Kulihat wajahnya datar saja ketika mengucapkan kalimat itu. Juga intonasi suaranya. Aku sebal sekali. Tak ada yang mudah dalam masa hidupku selama dua tahun ini. Dan semuanya bermuara pada satu peristiwa. Jangankan mencari orang lain, menemukan diriku sendiri pun baru berhasil kulakukan.
    “Aku tak sempat melakukan itu. Aku sibuk menata kembali hidup yang terasa seperti dijungkirbalikkan, semrawut tak keruan. Sibuk berusaha menerima bahwa itu memang terjadi padaku, tak peduli pernah ada janji 'selamanya'. Dan aku telanjur memercayai kata itu dengan parahnya…. Kacau sekali, Gandhi.”
    “Ya, aku memang salah besar.”
    Kesadaran yang sangat terlambat dan tak mengubah apa-apa. Andai saja dia menyadari hal itu ketika kami masih bersama, lalu segera meninggalkan Widya, dan menutup semuanya rapat-rapat hingga aku tak pernah tahu....
    “Gandhi, sudah waktunya aku pulang.”
    “Kita belum makan malam.... Ayo, cari makan malam sebentar, lalu kuantar kau pulang.”
    “Ehmmm... tidak usah. Aku tadi minta Laila jemput di depan. Dia pasti akan datang sepuluh menit lagi. Jadi, sebaiknya aku keluar sekarang. Lagi pula, kau pasti menginap di hotel dekat sini, ‘kan? Jadi tak perlu berputar-putar hanya untuk mengantarku ke  barat.”
    “Ayik, jangan begitu....”
    “Gandhi, tolong jangan memaksa. Jujur saja, aku juga tak ingin Laila melihatmu. Aku tak siap dengan pertanyaan-pertanyaan.”
    Dia tepekur menatapku lama-lama.
    “Baiklah. Mari kuantar kau sampai pintu keluar.”
    Dia berdiri, menggamit lenganku. Halus kutolak lengannya. Gandhi benar-benar menepati kata-katanya tadi. Dia membiarkan aku keluar sendiri. Laila belum tampak. Dari sudut mata aku tahu Gandhi masih berdiri menunggu hingga akhirnya mobil Laila masuk.

****

Rarasati & Larasati
Kejutan ketiga datang di Jumat akhir minggu. Bentuknya berupa Larasati. Dia sedang duduk di ruang tunggu dengan resepsionis kantorku yang tersenyum-senyum senang karena sedang berhadapan dengan Larasati Prawira yang terkenal. Aku baru pulang dari proyek.
Hari ini tuntas sudah kedokku. Hari ini orang sekantor tahu Larasati Prawira yang penyiar berita terkenal itu saudariku. Berapa orang yang terbeliak? Mungkin semua. Mungkin semua juga sedang sibuk membandingkan kami berdua sekarang.
    “Kenapa tidak bilang mau datang? Kalau tahu kan aku bisa jemput di bandara.”
    “Mendadak. Jam berapa jam kantormu selesai?”
    Sejam kemudian kubawa dia keluar, kubonceng pulang ke tempat kosku.
    Baru kusadari mukanya lebih putih dari biasanya. Pucat. Juga layu. Bicaranya pun tak sebanyak dan secepat biasanya. Aku mencium sesuatu yang tidak beres. Tapi dia bungkam dan tak punya nafsu makan.
Pikiranku cuma tertuju pada Arjuna itu. Tak  sedikit pun melintas alternatif yang lain. Cinta bisa mengkhianati dengan kadar yang sama seperti ketika membahagiakan. Karena itu, cinta adalah objek eksploitasi yang tak lekang oleh siapa pun, dari pujangga hingga jelata.
    Sabtu pagi-pagi dia bergegas masuk ke kamar mandiku, lalu muntah di dalamnya. Saat itu juga aku tahu. Dia mengaku dengan matanya ketika kuusap liurnya dengan handuk kecil.
    “Berapa bulan, La?”
    “Sepertinya empat minggu,” jawabnya, susah payah.
    Inilah buah cinta. Banyak pasangan merindukan saat seperti ini. Dan saking indahnya, banyak sutradara membuat momen ajaib itu menjadi iklan susu khusus ibu hamil. Tapi, kembarku tidak sedang bersuka. Mukanya yang lesi bukan semata karena perutnya yang menolak untuk diisi.
    “Haris sudah tahu?”
    Kepalanya bergerak antara mengangguk dan menggeleng tak tentu. Kusimpulkan, Arjuna itu belum tahu dan tidak akan senang jika tahu.
    Runyam.    
    “Bilang kepadanya, lalu kalian harus menikah segera!” Aku mengucapkan itu semua seakan keduanya adalah hal yang sangat mudah dilakukan. Tapi, menurut kembarku, tak semudah itu persoalannya. Katanya, Haris pasti menolak. Dia sedang sibuk membangun masa depan. Sibuk membuktikan kemampuan. Sibuk sekali. Sekarang bukan waktu yang tepat membentuk keluarga. Tapi, bukan berarti tak cinta. Menurut saudariku, cinta Haris tetap utuh tak tercela. Aku tak sepakat.
    “Kalau dia cinta, maka tak ada alasan untuk menolak ini semua. Toh, kalian melakukannya dengan sadar. Juga suka. Tak ada alasan baginya untuk berkelit sambil bilang tetap cinta,” kataku, tegas. Aku tak suka laki-laki yang mengelak dari tanggung jawab. Terlebih lagi kembarku yang harus memikul tanggung jawab yang ditepisnya. Aku tak rela.
    “Ra, dia dan aku memang masih muda, ‘kan? Aku rasa kami terlalu muda menjadi orang tua!”
    Hatiku meradang karenanya. Kenapa orang selalu merasa terlalu muda untuk menjadi orang tua, sementara tak pernah merasa terlalu muda untuk bercinta ala suami-istri yang sah?
    Saudariku terguguk. Dia jadi teringat orang tua kami. Apa kata mereka bila tahu ini semua? Lagi-lagi dia memintaku bersekongkol, sama seperti ketika memintaku menutupi kehidupannya dengan Haris tempo hari. Bedanya, kali ini dia meminta dengan berurai air mata.
    “Lalu apa rencanamu untuk menyelesaikan ini?” Tiba-tiba aku merasa ngeri akan kata 'menyelesaikan' yang baru saja meluncur dari mulutku sendiri. 'Menyelesaikan' membuatku teringat pada kosakata lain yang seharusnya bukan padanan yang tepat.
    Dia menggedikkan bahunya, artinya belum tahu.
    “Yang pertama harus kau lakukan adalah katakan pada Haris.” Aku mendiktenya.
    “Bagaimana kalau dia tidak suka?”
    “Kita tidak sedang bicara tentang suka atau tidak suka, La! Walau tidak suka pun, dia harus mengambil tanggung jawab ini. Dan ini harga mati, sama sekali bukan pilihan!”
    Lama kami diam, sampai akhirnya dia yang membuka mulut, merengek. “Aku kepingin sekali makan rujak manis di tempat yang dulu itu, Ra.”
    Sebuah remeh-temeh yang keluar dari mulut yang tengah menghadapi masalah pelik. Aku tak tahu apakah hamil dua minggu membuat seorang perempuan mulai mengidam.

           ****

    Mungkin sambal kacang dan gula yang pedas membuatku terpikir meragukan cerita kembarku.
    “Kau sudah ke dokter memastikan kehamilanmu?” aku sengaja berbisik agar tukang rujak tak mendengarku. Sedari tadi kulihat beberapa kali dia mencuri pandang pada kembarku. Mungkin sedang mengingat-ingat di mana pernah melihat wajah itu.
    Laras menggeleng. Masih duduk di atas motorku dia mencondongkan badan ke arahku. “Aku sudah pakai test pack, Ra.”
    Test pack. Barang itu bisa salah.
    “Ayo, ke dokter. Mungkin saja kau cuma telat datang bulan karena kecapekan. Aku juga terkadang telat seminggu kalau sedang banyak pekerjaan.”
    Dia menurut saja. Lalu tahu-tahu aku sudah memacu motorku dan berhenti di depan tempat praktik dokter kandungan. Kembarku berubah gelisah.
    “Kita daftar pakai nama apa?”
    Hal yang tak terpikirkan olehku. Dan tak terpecahkan pula. Akhirnya kami kembali kepada test pack. Kali ini tiga merek yang berbeda. Harapanku, ketiganya menunjukkan hal yang kontra dengan apa yang ditunjukkan test pack saudariku.
    Minggu pagi kami tegang berdua. Tiga test pack terendam dalam urine kembarku. Dan menunggu lima belas menit terasa sangat menyiksa. Dan sialnya, ketiga test pack itu tak bersedia mengkhianati kebenaran. Aku lemas.
    “Jangan bilang Ibu Bapak.”
    Bibirnya tampak lesi. Sama denganku, harapannya baru saja putus.
    Pesan itu juga yang diulangnya di bandara. Pesan yang memintaku bersekongkol. Partner in crime. Ini kejahatan kedua yang dimintanya dariku.
    Lambung pesawat menelan kembarku dan segera membawanya pergi. Diam-diam aku berpikir apakah gerakan menukik ke atas itu akan membuat benih yang mungkin cuma sebesar biji kacang hijau itu gugur dari pijakannya? Aku tak tahu, seperti aku tak tahu apa yang akan dilakukannya di Jakarta nanti. Terlebih jika Haris menolak.
    Ah, Saudariku, bagaimana cinta membuat otak cerdasmu tak cukup punya daya untuk berpikir dengan tepat layaknya si cemerlang yang selalu menggelapkanku selama ini?
    Senin malam lega kulihat tampilmu di televisi dengan wajah yang tak lagi layu, berganti dengan keayuan. Dengan suara bulat yang enak didengar dan artikulasi yang sempurna, dia adalah Larasati Prawira yang utuh. Katanya Gubernur Negara Bagian California, Arnold Schwarzenegger, sedang memproklamirkan Thanksgiving Day.
    Adakah Arjuna yang kegirangan itu yang mengubah keadaan?
    Mestinya kemarin putra mahkota itu datang menjemput di bandara. Lalu mungkin ada makan malam yang syahdu dan romantis. Lalu kembarku menunjukkan salah satu dari test pack kemarin. Lalu si putra mahkota mengamatinya dengan dahi berkerut-kerut sebelum akhirnya terbeliak tak percaya. Lalu dia bersorak dan memeluk kembarku dengan sukacita. Lalu tak ada lagi yang perlu dicemaskan karena pernikahan yang megah akan segera digelar sebagai gong terakhir.
Orang tuaku akan berbesan dengan konglomerat terkenal itu. Para tetangga akan kembali berdecak kagum.  Ehmmm… ending yang ideal dan sangat membahagiakan. Kau sungguh beruntung, Kembarku.
    Malam itu dan selanjutnya yang kulakukan adalah mencari tanda-tanda ketidakberesan pada dirimu, Kembarku. Dan seluruh lagak lagumu seperti mengirim pesan semuanya baik-baik saja untukku. Pesan itu jugalah yang ditangkap oleh orang tua kita.

****

Arika & Gandhi
    Ada ketukan di pintu depan. Laila yang pergi membuka. Lalu dia kembali kepadaku dengan mata membola.
    “Ada Oom Gandhi di depan....”
    Dalam hati aku mengeluh panjang pendek. Mungkin ibuku yang memberitahukan alamat ini pada mama Gandhi.
    Laila menangkap keenggananku.
    “Tadi sudah aku bilang Tante sibuk mengetik. Tapi, Oom minta aku tanyakan dulu mungkin Tante tak keberatan. Kalau Tante tak mau, akan kusampaikan.”
    Tak ada gunanya menolak karena kesannya tak akan bagus.
    “Sudahlah, tak apa. Tolong minta Darti bikinkan minum, ya. Teh saja, gulanya sedikit.”
    Ternyata Laila belum mempersilakan Gandhi masuk. Dia masih duduk di teras depan. Aku tak nyaman bercakap dengannya di luar, tak nyaman dilihat tetangga.
    “Masuklah.”
    Dia menatapku. “Yang membeli rumah ini kau atau Tante Yuli?”
    Ini satu alasan mengapa aku enggan memberikan alamat padanya. Dia pasti akan ingat sesuatu tentang rumah ini. Dan sesuatu itu bisa membuatnya berpikir macam-macam.
    “Aku. Awalnya Tante Yuli yang mau membayarnya. Cuma kupikir tak ada salahnya berinvestasi. Aku, toh, belum punya rumah.”
    “Ini rumah yang dulu pernah kita inden, ‘kan?”
    Nah, kan dia masih ingat fakta itu....
    “Sebenarnya aku sudah coba cari lokasi lain. Cuma tak ada yang cocok. Dan kebetulan setelah pembatalan kita dulu, belum ada yang memberikan DP untuknya. Jadi, ya, sudah aku ambil saja.”
    Dia memutar mata mengamati seluruh bagian ruang tamu, termasuk plafon, sampai Darti masuk membawa nampan berisi teh dan brownies pisang. Ehmmm... kenapa juga harus hari ini aku membuat brownies itu.
    Mata Gandhi berkilau. “Ahhh... ini dia.... Yik, aku langsung ambil, ya?” Tangannya segera menjangkau sepotong, tanpa menunggu persetujuanku. “Aku kangen kue ini!“
    Entah karena ingin membuatku terkesan atau benar-benar kangen dengan kue andalanku itu, dia segera mengambil potongan kedua dengan demonstratif.
    “Aku dapat alamatmu dari Mama. Mama dapat dari Ibu.”
    “Mama tahu kau di sini sekarang?”
    “Tak tahu spesifik sekarang. Cuma aku memang cerita, aku akan mengunjungimu. Mama menitip ini. Oleh-oleh dari Pekalongan katanya.”
    Batik. Mama dan aku memang punya satu kesamaan: sangat suka batik.
    “Terima kasih. Nanti aku telepon Mama.”
    “Yik, aku mengganggumu? Kau sibuk?”
    “Yaaaa... memang tadi aku sedang mengerjakan translasi cerpen. Biasa, pesanan si Vicky. Kau muncul tiba-tiba, Gandhi.”
    “Ya, sengaja tanpa meneleponmu terlebih dahulu. Aku tidak mau kau menolak sebelum sempat mencapai rumahmu.”
    “Kau pikir aku akan menolakmu?”
    Dia mengangguk sambil mencomot sepotong brownies lagi. Aku tak tahan melihatnya mengunyah cepat seperti itu.
    “Bulan lalu aku tahu kau terpaksa pergi ke Starbucks. Andai tinta printer-mu tak habis, pasti kau sudah menolakku. Tapi kan aku sudah bilang bahwa aku sedang berusaha mengikis. Aku sudah bertekad untuk memulainya, dan tetap akan melakukannya, walau kau menolak. Maaf, untuk yang ini aku tak akan menerima penolakan. Tidak untuk alasan apa pun.”
    “Terserah kau sajalah. Aku cuma berpikir apa kata orang nanti.”
    “Ehmmm... kata orang. Biar sajalah mereka berkata-kata. Niat baik memang sering disalahartikan karena ketidaktahuan.”
    “Gandhi, kau bertandang ke rumah seorang janda.”
    “Ya, aku tahu. Aku tidak mendatanginya pada saat dia sendirian di rumah. Dan pintu rumahnya terbuka lebar selama aku di sini. Orang di luar bisa melihat apa yang kulakukan denganmu. Seandainya kau sendirian di rumah, aku tidak akan masuk ke dalam, Yik. Aku tahu aturan. Aku juga duda yang bebas, tidak terikat pada siapa pun. Jadi, apa salahnya?”
    “OK, sudahlah, aku tak berniat berdebat soal ini. Jadi ada apa kau datang?”
    “Cuma ingin tahu kabarmu. Kau sering tidak membalas SMS-ku. Oh iya, kau tidak ingin menanam sesuatu di halaman depanmu? Mangga mungkin. Atau rambutan? Atau mungkin bambu kuning di dekat tembok itu. Kau dulu kan ...,” dia berhenti demi melihat ekspresi mukaku.
    “Aku tak hidup di masa lalu, Gandhi. Tak ada dulu lagi.”
    “Ya, maaf. Aku cuma teringat banyak hal karena rumah ini.”
    Dan, keteringatan itu pula rupanya yang membuatnya meneleponku di Sabtu dua minggu kemudian. Aku sedang sibuk berdebat tentang naskah novelku dengan Vicky di kamar hotelnya.
    “Ayik, aku bawa mangga. Mau ditaruh di mana?”
    “Ditaruh di mana? Terserah sajalah kau mau taruh di mana. Atau tanya si Darti atau Laila. Mereka ada di rumah, ‘kan?”
    “OK, biar aku tanya mereka.”
    Dan, ketika aku sampai di rumah, yang kulihat adalah seorang Gandhi yang menggulung ujung celananya hingga sebatas lutut, bertelanjang kaki, dan sibuk dengan cangkul dan sekop di halaman depan. Laila tampak membantu dengan bukti selang air di tangannya. Laila juga telah meminjamkan kaus longgarnya pada Gandhi. Dan barang itu basah oleh peluh sekarang.
    Vicky menatapku dengan mata penuh pertanyaan sebelum menghampirinya seraya mengulurkan tangan. Sedangkan aku tertegun di tempatku berdiri.
    “Hai, Vicky. Tanganku kotor. Kau lihat, aku agak sibuk sekarang. Mau bantu?”
    “Ehmmm... kau benar. Arik memang seharusnya tidak membiarkan halamannya kosong. Apa saja yang kau tanam untuknya?”
    “Mangga manalagi, dadap merah, dan entah apa namanya tanaman daun hijau muda itu, aku lupa.”
    “Ya… ya… ya… semoga yang hijau-hijau ini bisa melumerkan hati, ya.”
    Kulihat Vicky mengedipkan sebelah matanya. Gandhi terbahak. Laila berusaha menyembunyikan senyumnya dariku.
    “Ayik, tadi kutanya Laila dan Darti soal posisi ini semua, tapi mereka tak mengerti. Jadi, aku berimprovisasi sendiri. Kau tidak keberatan, ‘kan?”
    Seperti kerbau dicocok hidung, aku mengangguk. Toh, tadi aku salah mengerti. Mangga yang disebutnya di telepon kukira adalah buah mangga. Ternyata pohon mangga yang dibawanya. Dan, kalaupun tidak setuju dengan posisi yang dipilihnya, aku tak tega memprotes, karena dia telah bermandi peluh mencangkul dan menanam pohon-pohon itu. Pohon, bukan bibit kecil.
    “Tadi terpikir untuk menanam bambu seperti yang kau pernah bilang dulu. Tapi, aku khawatir kau jadi sibuk menyapu guguran daunnya nanti.”
    “Terima kasih, Gandhi.”
    Sore itu aku jadinya memasak tidak hanya untuk menjamu Vicky. Gandhi menjadi tamu tambahan yang semula tak masuk dalam hitunganku.
    “Kau masak apa? Mari kubantu.”
    Darti segera menyingkir begitu Gandhi menginjak dapur.
    “Sup buntut. Vicky yang minta kemarin. Duduklah di depan dengan Vicky. Semua sudah setengah jadi. Tinggal memasukkan wortel dan tomat, serta membuat sambal saja.”
    Tapi, dia tak beranjak dari dapur. Dan memang seperti itulah Gandhi dulu, selalu menemaniku di dapur. Dulu, di dapur bersamanya adalah waktu yang menyenangkan. Dulu. Sekarang, bahkan kudukku merinding menyadari dia berdiri dua meter di belakangku, sementara aku mengupas wortel dan mengiris tomat.
    Makan malam yang meriah. Tapi, justru memerihkan hatiku. Membuatku susah tidur malamnya karena sejuta andai-andai. Aku tak suka. Aku capek dengan andai-andai. Dan sialnya, begitu jatuh tertidur, andai-andai itu tembus menjadi mimpi. Mimpi aku dan Gandhi ada di taman hijau, lalu dia memetikkan bunga dadap untukku. Dia mengulurkan bunga merah itu  kepadaku sambil berkata,”Untuk Ayikku.” Ketika terjaga, aku masih bisa mengingat jelas senyum dan ucapannya. (Bersambung)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?