Fiction
Dua Takdir [1]

18 Apr 2013

Ina B. Alasta

Arika & Gandhi    
   
Apa yang bisa membuat kembali ke masa lalu? Mesin waktu? Bukan, tak perlu serumit itu. Alatnya cuma sederhana saja: ponsel. Dan itu terjadi hari ini, padaku. ponselku 'berteriak' dengan dering yang nyaris tak lagi kukenali. Dan ternyata, itu adalah alarm pengingat yang seharusnya dimatikan dua tahun yang lalu. Di layar tertera kalimat yang membuatku beku lebih dari dua menit: our fifth anniversary.
Dan aku terlempar ke masa lalu. Sederhana sekali, ‘kan?
   
Masa itu kami memang sedang bersama. Aku dan Gandhi. Kami dipersatukan dalam sebuah upacara ijab kabul yang senyap dan sakral. Semua serba putih. Gandhi menjabat tangan bapakku, berucap mantap, membuat semua saksi sepakat ijab kabul sah adanya. Semua menarik napas lega. Gandhi menoleh ke arahku, tersenyum. Kucium punggung tangannya, tanda bakti istri kepada suaminya. Dan kupikir akan selamanya.
   
Tapi, itu lima tahun yang lalu. Sekarang semuanya berubah. Ternyata memang tak ada yang abadi, tidak juga cinta. Cinta menghablur, waktu menggerus. Klop sekali.

Waktu kalimat tentang cinta dan waktu itu keluar dari mulutku, Tara bilang perceraian membuatku sinis terhadap cinta. Katanya, aku sedang sakit, tapi cuma butuh waktu untuk pemulihan. Ya, memang perceraian sempat memberantakkan hidupku.

Bukti pertama adalah seminggu di rumah sakit karena tifus hanya dua minggu setelah palu diketukkan. Lalu insomnia selama berminggu-minggu. Juga kreativitas sempat mandek. Juga bengong. Aku mengalami itu semua dan butuh waktu untuk membuatnya normal kembali. Karenanya, aku tak percaya ketika para selebritas setelah resmi bercerai lalu menggelar konferensi pers dan bilang mereka baik-baik saja. Huh!

Tak ada perceraian yang membuat orang baik-baik saja, apa pun alasannya. Pasti perlu waktu untuk menjadi baik, terlebih jika ada anak. Teman-teman bilang aku beruntung karena belum ada anak ketika bercerai, jadi tidak ada urusan yang rumit. Beruntung? Bahkan perceraian sudah membuatku merasa tak beruntung.
   
Hariku kembali jadi berantakan. Baru tengah hari aku keluar kamar. Tadi pukul delapan Laila sudah melongok ke kamar sebelum berangkat kuliah. Kubilang kepadanya aku sedang malas bangun. Dia mengernyit, lalu menawarkan membawakan sarapanku ke kamar. Ah, keponakan yang baik.
    “Sakit, Mbak?”
   
Kujawab pertanyaan Darti dengan gelengan mantap. Bahaya kalau sampai dia mendapat kesan aku sakit. Sebab, dia mendapat titah khusus dari ibuku untuk langsung menelepon ke Jakarta, jika ada yang tidak beres denganku. Dan, sekali telepon, maka Ibu akan berkeras mendapatkan tiket Jakarta-Surabaya, tak peduli berapa pun harganya. Ah, ini cinta yang tak pernah lekang, cinta ibu kepada anaknya. Abadi. Tak seperti cinta suami kepada istrinya.
  
Andai semuanya masih sama, apa yang kulakukan hari ini? Sibuk memasak untuk candle light dinner nanti malam di teras belakang? Masak apa, ya? Atau pergi ke salon untuk potong rambut dan lulur karena Gandhi sudah memesan tempat di resto temaram?

Emmm…  mungkin pergi ke luar untuk membeli kado buat Gandhi. Kado apa, ya? Arloji? Gandhi suka arloji. Atau kemeja? Biru atau hitam? Mungkin biru saja, ya. Hitam tidak cocok momennya. Ahhh ….  
   
Suara ponsel menyelamatkan. Ada SMS dari Vicky. Singkat saja: online di YM, aku kirim offline message. Emmm… panggilan Vicky berarti job baru datang. Dia membanjiri aku pekerjaan seperti tidak ada penulis dan penerjemah lain di muka bumi ini.

Tapi, harus kuakui, dialah dewi penolongku. Dua tahun ini dialah yang membuatku berhenti untuk termenung-menung. Dia juga yang membuat insomniaku berubah jadi waktu produktif yang mendatangkan rupiah.
   
Tapi, yang kudapat ketika sign in di Yahoo Messenger ternyata tak cuma pesan Vicky. Satu sapaan membuat jariku beku menggantung di atas keyboard.
    gandhi-hasan    :Ayik .... are you there?
   
Sebenarnya ID tersebut terlihat offline. Tapi, pesan itu muncul barusan, bukan offline message seperti yang dari Vicky. Berarti dia cuma invisible. Dan aku beku. Kenapa sekarang? Kenapa hari ini?
    gandhi-hasan    : Ayik .....
    Jariku masih beku.
    gandhi-hasan    : kau tahu alarm handphone-ku berbunyi tadi pagi....
   
Oh Tuhan ... karena itu dia membuka percakapan ini. Padahal, sejak palu itu diketuk, ID-nya tak pernah lagi kulihat online.
    gandhi-hasan    : aku pikir alarm handphone-mu juga berbunyi tadi pagi, tentu kalau kau tidak lupa mematikannya seperti aku.
    gandhi-hasan    : Ayik .... tidak mau bicara?
    Ah....
    arikakusuma        : ya, aku di sini
    Balasannya cepat sekali datang.
    gandhi-hasan    : ahhh, akhirnya. Kupikir kau tak mau bicara denganku.
    arikakusuma        : baru dari toilet. Tumben menyapa.
    gandhi-hasan    : oh, pantas tak ada jawaban tadi. Iya, baru kali ini berani. Apa kabar?
   
Emmm… kenapa tak ada pertanyaan itu sehari atau seminggu setelah palu itu diketukkan? Tidakkah terpikir olehmu menanyakannya waktu itu? Atau terlalu sibuk dengan Widya?
    arikakusuma        : baik. Kau?
    gandhi-hasan    : ehmmm ... yaaa masih begini-begini juga :-)
    Aku tak berselera mendetail apa yang dimaksudnya dengan 'masih begini-begini juga'.
    gandhi-hasan    : oh ya, kau baca tadi alarm handphone-ku berbunyi?
    arikakusuma        : iya
    gandhi-hasan    : punyamu juga?
    Ini juga bukan pertanyaan yang membuatku berselera untuk menjawabnya sebenarnya.
    arikakusuma        : iya
    Terlambat untuk menarik jawaban jujur itu. Kukutuki diriku atas kejujuran itu.
    gandhi-hasan    : yaaaa... rupanya kita sama-sama lupa mematikannya. Alarm itu membuatku termenung-menung sehari ini.
    Arikakusuma        : ehmmm...
    gandhi-hasan    : oh iya, kau makin sukses, ya. Novelmu. Sudah bosan jadi penerjemah?
    arikakusuma        : tidak juga. Vicky yang membuatku menulis novel.
    gandhi-hasan    : ahhh Vicky. Aku ingat dia. Bagaimana kabarnya? Masih energik pasti, ya?
    Arikakusuma        : masih seperti dulu. Anaknya sudah empat sekarang.
    gandhi-hasan    : woowww ...... produktif juga .... he…he…he….
    Mau tak mau aku tersenyum karena komentar itu.
    gandhi-hasan    : Ayik, kau ada acara bedah bukumu di Aksara tempo hari, ‘kan? Mungkin dua atau tiga bulan lalu. Aku lupa persisnya.
    arikakusuma        : iya. Kau tahu?
    gandhi-hasan    : sebenarnya aku ada di sana. Di barisan paling belakang. Kau tak melihatku. Dan sebenarnya juga tak sengaja datang. Kebetulan sedang di mal. Ketika sedang berkeliling, kulihat kau ada di sana.
    arikakusuma        : oh ....
    gandhi-hasan    : tapi aku tidak ikut maju meminta tanda tangan seperti yang lain. Nanti malah kau kaget dan jadi rusak acaranya  :-). Tapi diam-diam aku beli bukumu, lho….
    arikakusuma        : thanks
    gandhi-hasan    : kau lama di Jakarta waktu itu?
    arikakusuma        : tidak. Cuma tiga hari saja.
    gandhi-hasan    : Ayik .....
    arikakusuma        : ya?
    gandhi-hasan    : ehmm… mau ngobrol-ngobrol seperti ini nanti lain waktu kalau kita sama-sama online?
    arikakusuma        : tak masalah.
    gandhi-hasan     : good. Oh ya, kau di mana ini? Di rumah?
    arikakusuma        : ya, di rumah, kau tahu kan aku tak pernah punya kantor.
    gandhi-hasan    : ya, aku tahu. Cuma sekadar memastikan saja. OK, aku tinggal dulu, ya. Ada meeting sebentar lagi.
    arikakusuma        : ok
    gandhi-hasan    : Ayik....take care, please....
    arikakusuma        : ok.
    arikakusuma        : bye
    gandhi-hasan    : ya....

                        ****

Sepanjang sisa hari itu aku berenang-renang di masa lalu. Alarm itu bersama Gandhi bersekongkol melemparkanku ke masa lampau.
   
Masa yang indah. Banyak yang bilang kami hebat karena berhasil melewati masa enam tahun pacaran, termasuk dua tahun ketika Gandhi mesti ke Jepang untuk menjalani beasiswanya.

Lalu seusai ijab kabul itu Gandhi membawaku ke Surabaya. Kantornya menempatkannya di sini karena cabang Surabaya baru dibuka. Dia bertindak sebagai orang pusat yang mengawal peletakan dasar di cabang baru ini. Jadi rencananya kami hanya sementara di sini.

Tapi kemudian batu sandungan muncul. Widya. Dan semuanya tiba-tiba terjadi begitu saja. Aku merasa seperti diempaskan oleh sapuan angin topan yang tak kumengerti asal-muasalnya. Entah bagaimana Widya mendekat pada Gandhi. Yang kutahu hanyalah dia marketing yang menawarkan kartu kredit kepada Gandhi dan teman-temannya. Itu saja. Bagaimana perkenalan itu berlanjut jadi mengempaskanku, sama sekali tak kupahami. Yang jelas, hasil akhirnya adalah palu yang diketukkan, lalu aku dan Gandhi berpisah.

****


Rarasati & Larasati
   
Klik. Begitu televisiku menyala, wajahmu yang terpampang. Ehmm .... sebenarnya bukan pesawat televisi dalam arti sebenarnya. Sebenarnya adalah desktop yang aku tambah dengan TV tuner. Tapi tenang saja, Kembarku, sebab wajahmu tetap terpampang dengan sempurna di dalam sana. Kau duduk dengan punggung tegak. Seperti biasa, ada laptop di dekat tanganmu.

Apa gunanya barang itu, Kembarku? Apakah kau membaca semua berita itu dari sana? Rasaku tidak. Karena jarang sekali matamu mengarah padanya. Matamu justru terus menatap ke depan. Hei… ada yang baru di wajahmu. Kacamatamu baru. Kemarin-kemarin kau masih mengenakan frame tipis oval. Sekarang sudah berganti dengan kotak tebal. Ahhh .... tapi tetap pantas-pantas saja. Kemarin-kemarin kau cantik dengan kacamata oval itu. Dan hari ini pun kau cantik dengan yang baru. Teorinya, pemilik bentuk wajah bulat telur tidak akan punya kesulitan apa pun soal bentuk kacamata. Jadi, beruntunglah kau, Kembarku.
   
Berita apa yang kau bawa untuk kami? Ehmmm… katamu presiden kita memimpin upacara pemakaman Sudharmono, mantan wakil presiden era Soeharto dulu, entah yang keberapa. Untuk acara itu, presiden kita mempersingkat keberadaannya di Bali. Kau juga bilang bahwa Soeharto juga sempat datang melayat dengan dua anak perempuannya. Berjalan sendiri pula.

Ehmmm.... perlu rupanya disebutkan bahwa Soeharto bisa berjalan sendiri. Berarti cukup layak untuk diseret ke pengadilan? Itukah  pesan yang kau bawa, Kembarku? Pesan itu akan membuat lawan-lawan politik Soeharto mendidih lagi. Sengajakah kau mengirim pesan itu?

Memang tak pernah ada yang abadi. Dulu betapa Pak Tua yang kini renta itu sangat berkuasa. Semua orang berebut untuk ada dalam lingkarannya. Semua bangga ada di sekitarnya dan merasa ikut berkuasa. Lalu situasi berubah. The Smiling General terjengkang dari kursinya. Semua ikut semburat meninggalkannya, termasuk loyalis yang biasa meminta petunjuk.

Tidak ada kawan atau lawan yang abadi di dunia politik, bukan? Sekarang kawan, besok atau lusa bisa jadi berganti posisi menjadi berseberangan. Dan mungkin besok lusa sebaliknya lagi.  Bukan barang aneh. Sejarah memang bisa dibuat oleh si kuasa. Dan  tiap pemimpin lahir pada masanya. Jadi, begitu masa seseorang habis, maka turunlah dia, walau terkadang dengan paksa.

Kembarku, sebenarnya aku terkejut dengan perubahan drastis itu. Seingatku bahkan beberapa saat sebelum demo mahasiswa menurunkannya, dia masih orang tua yang sangat kuat. Tapi, semua berubah cepat. Dan kini rona mukanya pun tak lagi sama. Apakah aku benar menurutmu, Kembarku?
   
Lalu, kau beritakan juga bahwa fit and proper test untuk kandidat panglima TNI akan diadakan tanggal 1 Februari 2006 nanti. Tapi, sang kandidat  belum menerima pemberitahuan resmi dari DPR. Dia cuma mendengar informasi tak resmi dari salah satu politikus.

Menurutmu, siapa yang layak naik takhta, Kembarku? Aku tak punya pendapat dan tak bisa memprediksi. Sedangkan kau kulihat fasih sekali berbicara masalah-masalah seperti ini. Kau sering duduk bersama banyak orang dengan macam-macam pangkat dan sebutan. Ada yang petinggi ini itu, ada yang pengamat ini itu, dan seterusnya.  Sebagian malah pernah kau pitas kata-katanya hingga bungkam.  Dari mana kepintaran seperti itu, Kembarku?
   
OK, dunia pun tahu dengan jelas sungguh kita berbeda, Kembarku. Mereka mengerti bahkan sebelum kita sendiri saling menyadarinya, kendatipun telah sembilan bulan lebih bersama di rahim Ibu. Mungkin waktu itu kita sempat pula bertinju di dalam sana. Tapi, tak mengerti perbedaan. Lalu, hari untuk mulai menghirup udara tiba.

Mereka bilang, kau memberiku jalan agar keluar lebih dulu. Lalu kau menyusul. Mereka bilang kaulah kakakku, bukan sebaliknya. Terserah. Aku tak mau memperdebatkan beda yang cuma semenit dua menit itu. Dan kenyataannya memang kemudian kita tak terbiasa dengan kakak-adik. Kita saling menyebut 'kembarku' untuk masing-masing. Lalu semua hal menunjukkan kita tidak pernah benar-benar kembar, selain tinggal bersama selama sembilan bulan sekian hari.
   
Kembar fraternal atau juga disebut dizigot.  Ibu kita sedang subur sekali rupanya waktu itu. Dia mengeluarkan dua ovum. Dan bapak kita langsung membuahi keduanya. Lalu jadilah zigot. Lalu orok. Lalu kita. Rarasati. Larasati.
   
Kembar fraternal. Kembar dari dua telur dan dua sperma. Masing-masing membawa kantong ketuban dan plasenta sendiri-sendiri. Jadi, benar-benar dua embrio yang berbeda. Tapi, aku sungguh terkejut dengan keberbedaan itu. Dan seumur hidup aku berandai-andai kita kembar monozigotik.

Aku ingin kita berasal dari hasil pembelahan satu telur yang telah dibuahi satu sperma. Pembelahan yang sempurna, pembelahan yang adil sama rata. Aku ingin kita mempunyai ari-ari yang sama. Hingga kita tidak pernah jadi terlalu berbeda. Hingga kita menjadi kembar dalam arti yang sebenarnya, bukan sekadar bersama dalam gua garba Ibu. Sehingga, tak perlu membuat orang lain berkerut dahi ketika kubilang kita kembar.
   
Tapi, kita telanjur jadi fraternal. Tak bisa berubah. Kita bukan pinang yang dibelah dua. Kita adalah dua pinang yang ada bersama dan kemudian keluar bersama pula. Waktu kecil aku menerima ketika semua mengartikan 'bersama' setara dengan 'sama'. Jadi, kita selalu berbaju sama, bersepatu sama, berbando sama, dan semua sama. Kalau ada yang berbeda biasanya cuma sekadar warna. Kalau aku merah, maka kau kuning. Kalau kau hijau, maka  aku biru. Sungguh rumus yang paten.

Lalu,  makin kita besar,  makin semua menyadari bahwa 'bersama' tidak selalu berarti 'sama'. Muka kita tidak sama. Kulit kita tidak sama. Dan tragisnya, jumlah lipatan pada otak kelabu kita rupanya jauh berbeda. Lalu mulai ada yang superior.  Dan selebihnya adalah bayangan.
   
Rarasati. Larasati. Tahukah kau bahwa kedua nama itu mengacu pada satu perempuan yang sama? Dia anak Prabu Bismaka dengan seorang swarawati bernama  Ken Sagupi. Tapi, si Ken Sagupi kemudian justru menikah dengan Antagopa yang gembala itu dan statusnya menjadi  si anak gembala. Konon, Rarasati alias Larasati ini adalah perempuan sempurna. Dia lemah lembut, setia, patuh dan berbakti. Dia tenang, sabar, selalu berusaha menyenangkan orang lain, dan selalu mampu menguasai dirinya.

Dan hebatnya lagi, selain sempurna kewanitaannya, dia juga seorang prajurit yang andal, mahir berolah-kanuragan dengan panah dan keris. Arjuna adalah gurunya, juga suaminya tentu saja. Konon, dia mengalahkan Srikandi demi membuat perempuan itu bersedia menjadi istri Arjuna seperti dirinya. Di antara sekian banyak istri Arjuna, dia dianggap sebagai penyeimbang antara Sumbadra yang lembut tiada tara dan Srikandi yang cenderung ‘ugal-ugalan’. Rarasati alias Larasati adalah lambang aras atau kasih sayang.
   
Jadi, manakah dari uraian itu yang menggambarkan kita, Kembarku? Mereka bilang aku cukup lembut. Dan, kau sangat pandai. Mereka tidak pernah menyebut kedua bersamaan pada saat menyebut masing-masing dari kita. Jadi, sebenarnya semua mafhum kalau kita berbeda. Mungkin cuma aku yang tidak terima.
   
Kembarku, entah sejak kapan aku menyesali ketidaksetaraan. Mungkin sejak kurasakan menjadi bayanganmu itu gelap adanya. Sekian banyak yang mengenalmu mengernyit dahi ketika kukenalkan diriku sebagai kembarmu. Ooooohhh… kembaran Laras? Oh-nya panjang. Dengan ekspresi muka heran yang segera disamarkan. Aku paham maksudnya. Mereka menjaga perasaanku.
   
Kau pasti mengalami juga hal seperti ini. Cuma dalam konteks yang lebih melegakan. Ooooohhh .... kembaran Raras? Oh-nya masih panjang, tapi tak akan ada muka heran yang negatif. Karena, yang di depan mata adalah kutub positif.
   
Itulah kenyataan. Dan diam-diam aku terganggu dengan kenyataan itu. Merasa tersisih juga. Kau tak akan mengerti itu, Kembarku. Kau tak akan mengerti bagaimana rasanya melihatmu langsung memenangkan sayembara mengarang Porseni justru pada keikutsertaan pertamamu. Padahal, bertahun sebelumnya, mengarang yang kuakui sebagai hobiku tak pernah membuatku menjadi pemenang kompetisi itu.
   
Juga ketika kau memenangkan lomba melukis. Kau di urutan pertama, sedangkan aku di urutan ketiga. Mungkin sejak inilah aku mengerti tentang subjek dan bayangan.
   
Lalu masa remaja kita. Sorot cahaya mengarah pada wajah bersih, kulit putih, dan badan rampingmu. Semua keindahan fisik itu masih ditambah dengan otak brilianmu. Paduan yang sungguh tepat untuk menjadi populer, sangat populer malah. Waktu itu cuma satu hal yang aku tak mengerti, kenapa saat itu kau menolak ketika begitu banyak orang mendorongmu ikut kontes kecantikan, Kembarku? Itu kau jawab dengan sebaris kalimat pendek, “Bukan itu yang aku inginkan.”  

Nah, lihatlah, Kembarku. Ketika kau sudah mengerti betul apa yang kau inginkan, pada saat itulah aku begitu putus asa dengan kesempurnaanmu, juga putus asa untuk menemukan sorot lampu untukku. Saat itu tiap saat yang kuinginkan adalah lepas darimu. Lepas dari status kembar kita.
   
Akhirnya hari itu datang. Masa kuliah kita. Bapak minta kita kuliah di satu kota yang sama, agar tetap saling menjaga. Tapi, diam-diam kuganti pilihanku. Jadi, pergilah kau ke ibu kota, masuk ke kampus jaket kuning. Sedangkan aku, membuat jarak jauh denganmu, Malang. Pilihanmu sempat mengecewakan orang tua kita. Ekonomi. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku mereka bilang aku membuat pilihan yang lebih bagus darimu. Arsitektur.

Tapi, itulah kau, selalu yakin dan percaya diri. Kau bilang, tak ada yang salah dengan pilihan itu. Kalimat yang membuat orang tua kita diam dan memupus impian punya anak yang menjadi dokter.
   
Waktu membuktikan ucapanmu. Tak ada yang salah dengan pilihan itu. Di tahun kedua, seakan tak puas kau sekaligus menjadi mahasiswa Sastra Prancis. Dan di tahun kelima dua gelar sarjana kau kantongi, sementara aku masih tertatih dengan tugas studioku. Lalu stasiun televisi berita membuat wajahmu muncul nyaris  tiap hari di kotak kaca. Orang tua kita bersorak gembira. Juga sangat bangga. Kini semua orang di penjuru tanah air melihat wajah putri cantik kesayangan mereka di layar gelas. Dan tidak main-main, sebagai pembaca berita di stasiun televisi bergengsi.

Ibu sontak meninggalkan hampir seluruh acara sinetronnya dan beralih selera menjadi penggemar acara berita dan macam-macam talk show politik ekonomi. Terus terang, aku menyangsikan beliau mengerti sepenuhnya isi acara itu. Yang pasti beliau duduk di depan televisi dengan takzim, seolah sedang menyimak puisi dari mulut penyair.

Sedangkan Bapak, walau tak banyak kata keluar dari mulut beliau,  dari kuluman senyum dan miring kepalanya  tiap kali kau berkata-kata dan menyebut namamu Larasati Prawira, kutahu ada yang nyaris pecah di dadanya. Terlebih lagi seluruh tetangga memperbincangkanmu, dan tentu kagum, lengkap dengan iri.  Apa yang lebih membanggakan orang tua daripada kesuksesan anak-anaknya, Saudariku? Dan kau memberikan itu dengan mudah. Bahkan sering kupikir terlalu mudah. Dan aku makin merasa tak berdaya. (Bersambung)




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?