Fiction
Dua Pelaminan [4]

25 Jun 2012


<<<<  Cerita Sebelumnya

Ketika Janges menikah di Magelang, Lintang sudah duduk di kelas dua SD dan Tiwi sudah menjadi dosen. Lima tahun kemudian istri Janges melahirkan anak pertama, Erlangga. Suatu berkah sekaligus tragedi karena kelahiran bayi itu meminta nyawa ibunya, Nin. Erlangga pun kemudian dirawat oleh neneknya, Bude Murti, di Magelang.

Berita duka itu membuat Tiwi sangat pilu. Dia bisa ikut merasakan duka mendalam yang dialami Janges. Duka bercampur kekalutan dan panik, sama seperti yang dialaminya saat Ray tiba-tiba menghilang dan Tiwi ditinggalkan dalam keadaan hamil.
Tiwi jadi sering berkunjung ke Magelang. Ketika Erlangga berusia tiga tahun, Tiwi membelikan sepeda roda tiga model terbaru. Anak laki-laki kecil itu senang bukan main. Ia jadi teringat ketika Lintang mendapat oleh-oleh boneka beruang dari Janges. Tiwi merasa kehilangan ketika Janges menjemput Erlangga untuk masuk TK di Bandung. Tiwi tidak pernah berani bertanya mengapa Janges tidak menikah lagi.

Tanpa terasa Lintang sudah harus kuliah. Ia memilih kuliah di Semarang. Baskoro, adik Janges yang saat itu tinggal di rumah eyangnya dan bekerja di universitas yang sama dengan Tiwi, diminta oleh Bude Murti untuk kos saja. Tiwi paham, budenya itu pasti memikirkan Tiwi dan Baskoro. Tinggal dalam satu rumah dan masih sama-sama lajang.

Dua bulan berlalu. Suatu pagi, ketika itu belum pukul sepuluh, Baskoro datang bersama seorang wanita asing setengah baya, Ms. Renatte Stressner. Wanita itu adalah profesornya saat mengambil master di Belanda. Kunjungannya di Indonesia adalah kunjungan sosial, khusus ke Yogyakarta dan Ambarawa untuk napak tilas nenek moyangnya yang dulu pernah tinggal di Indonesia. Baskoro mempertemukannya dengan Eyang Kakung-Putri yang paham betul masa-masa pendudukan Belanda.

Ms. Stressner menginap di rumah selama 4 hari. Ia begitu terkesan ketika melihat Tiwi memberikan kursus menjahit gratis untuk para remaja putri dan pengangguran yang ada di sekitar desa. Pembicaraan Ms. Stressner dan Tiwi menelurkan sebuah proposal yang dibawanya pulang untuk dicarikan dana di negaranya. Itulah awal Tiwi berurusan dengan yayasan sosial.

Meski pekerjaan Tiwi bertambah, dia tetap meluangkan waktu untuk menelepon Janges. Tiwi mengikuti perkembangan Erlangga.

Tiwi sudah berada di pesawat yang terbang menuju Ambon. Dari Ambon dia harus terbang lagi ke Tual, kota kabupaten yang cukup besar di samping Dobo, kota mutiara di Kepulauan Maluku Tenggara.

“Berapa hari kamu di sana, Wik?” tanya Janges, dua hari sebelumnya.

“Kalau lancar, hanya seminggu,” kata Tiwi.

Janges mulai memberinya banyak wejangan agar Tiwi menjaga diri. “Kapan Lintang pulang?” tanya Janges.

“Katanya, sih, pertengahan puasa, bersama Yan, calon suaminya. Tapi, sebelum itu akan ada wakil dari keluarga Yan yang akan datang melamar. Itu saja katanya,“ sahut Tiwi.

Janges mengangguk. Dia sudah mengetahui kabar itu dari Lintang sendiri. Berarti, belum ada kabar terbaru. Lintang sangat dekat dengan Janges. Kebutuhan akan sosok ayah membuat hubungan batin antara Lintang dan Janges menjadi erat. Dan, diam-diam Tiwi mengamati semua itu.

Janges sempat merasa cemas, asal calon suami Lintang sama dengan tempat kelahiran Ray. Bagaimanapun, pengalaman pahit Tiwi 25 tahun lalu itu sulit terhapus dari benaknya. Namun, kecemasan itu berusaha ditepisnya.

“Wik, apakah kamu masih berharap Ray akan datang? Apakah kamu tidak pernah merasa bahwa ada orang yang lebih membutuhkanmu daripada dia? Apakah kamu lebih suka menyia-nyiakan orang yang mencintaimu hanya demi sebuah monumen atas nama cinta yang agung tapi kosong karena telah kehilangan rohnya?” tanya Janges.

Tiwi ternganga.

“Wik, berhentilah menunggu Ray. Aku dan Angga mencintaimu, membutuhkanmu. Jadilah ibu untuk Angga. Aku juga berjanji akan menjadi ayah yang baik bagi Lintang. Asal kamu mencintaiku sedikit saja, itu sudah cukup. Kamu tidak perlu mencintaiku sebesar cintamu pada Ray. Aku cukup realistis, kok, Wik,” lanjut Janges.

Tiwi membeku. Dia tidak menyangka Janges akan sejauh itu. Dia bertanya pada diri sendiri, mencoba melakukan sebuah refleksi diri. Betulkah selama ini aku terlalu egois? Hanya memikirkan diri sendiri? Semua kegiatanku selalu dipusatkan untuk pencapaian cita-cita pribadi? Benarkah semua keputusanku telah mengurangi makna hidupku sendiri?

”Mas Janges, aku tidak bisa mengambil keputusan sekarang. Aku bingung,” kata Tiwi, lirih.

“Tidak usah sekarang. Kami akan menunggu sampai kamu siap,” bisik Janges, sambil melingkarkan lengannya ke bahu Tiwi. Itulah percakapan terakhir Tiwi dengan Janges sebelum dia pergi ke Maluku Tenggara.

Pesawat Tiwi yang berikutnya ditunda 24 jam. Malam itu, dalam tidurnya Tiwi bermimpi memeluk Angga di lengan kiri dan Lintang kecil di lengan kanan. Ray menatap ketiganya dari kejauhan.

Sepekan lalu untuk pertama kalinya Tiwi menginjakkan kaki di tanah Kei. Sebuah pulau yang dikelilingi ratusan pulau kecil. Tiwi ditemani John, anggota LSM di Ambon. Dari luar pagar Bandara Langgur, seseorang melambai. John mengenalinya. Ia salah satu tuan rumah dari Desa Evu yang bertugas menjemput mereka.

Tiwi merasa, kerusuhan Ambon beberapa waktu lalu masih menyisakan suasana lain yang cukup mencekam. Setiap pojok bangunan, pintu masuk, dan pintu keluar bandara dijaga oleh orang-orang berseragam bersenapan laras panjang. Berarti, suasana belum benar-benar pulih.

“Ibu Tiwi, ini Fritz dari LSM di Evu. Dia akan mendampingi Ibu selama di sini,“ John memperkenalkan mereka. Tiwi mengangsurkan tangan pada pemuda berusia awal tiga puluhan, yang berkulit gelap, berambut keriting, dan berwajah simpatik itu.

“Ibu sudah ditunggu teman-teman di balai kami,“ sapanya ramah, sambil menawarkan diri membawakan tas Tiwi.

Yang disebut balai pertemuan adalah bangunan setengah tembok yang luas, berada di tengah-tengah bangunan-bangunan serupa yang lebih kecil. Balai itu kosong. Kehadiran satu set pesawat televisi di pojok ruangan cukup menarik perhatian Tiwi.
Ketika melewati pintu masuk, 12 pria tampak menunggunya.

Wajah-wajah yang serius, pikir Tiwi.

“Selamat pagi, Val be he, apa kabar?“ sapaan Tiwi dalam bahasa setempat mengendurkan wajah-wajah tegang mereka. Beberapa orang spontan menjawab, “Bok bok ket, baik-baik.”

Suasana mencair. Tiwi mengeluarkan oleh-oleh yang dibawanya dari Yogya. Semua mata menanti dengan penuh ingin tahu. Tiwi merasa diterima dengan baik. Sebuah awal yang bagus, catatnya dalam hati. Setelah berbasa-basi seperlunya, setiap orang mengemukakan masalah mereka. Tiwi bertindak sebagai pendengar yang baik.

Diskusi malam itu dilakukan sambil makan malam. Makin seru dan mulai panas ketika pokok bahasan sudah menyangkut solusi alternatif. Di ruang depan balai pertemuan riuh oleh suara dan gelak orang-orang yang sedang menonton televisi. Tiwi baru mengetahui, itu adalah satu-satunya pesawat televisi di desa ini. Hiburan yang murah meriah.

Malam merangkak pelan. Langit pekat karena bulan dan bintang tidak menampakkan rona peraknya yang gemerlap. Tiwi pun tertidur lelap.

Esoknya Tiwi bangun kesiangan. Pasti karena perbedaan waktu antara Maluku dan Yogya. Tiwi segera mandi dan berganti pakaian. Kini aku siap menjelajah, pikir Tiwi, sambil menyandang tas menuju ruang makan. Ia menyantap sagu kering, sekilas mirip kue wafel, dan menikmati segelas kopi.

Pukul sembilan mereka menuju ke arah barat desa. Ada tiga perahu kecil bermesin tunggal tertambat di akar-akar pohon bakau. Empat pria sibuk menaikkan jerigen-jerigen berisi air tawar. Dua pria lain membawa panci, dandang, dan peralatan masak sederhana. Mas’il, satu-satunya nelayan wanita yang ikut dalam perjalanan ini, membawa keranjang berisi sagu, botol-botol kecap, bumbu-bumbu, kopi, dan cabai untuk membuat sambal colo-colo.

Tiwi tidak bisa berenang, tapi ia tidak ingin menampakkan ketakutannya di depan semua orang.

“Usi Tiwi aman. Ini perahu paling bagus kita orang punya,” teriak Ulis, seolah bisa membaca kecemasan Tiwi.

“Kita singgah dulu di Dulah Laut. Bapa Soa ingin berjumpa Ibu Tiwi,“ kata Fritz pada Don, yang segera memutar kemudinya ke kanan. Fritz adalah ketua rombongan. Dia juga ketua Soa, Nen Mas’il.

Ketika tiba di tempat tujuan, Tiwi, Fritz, dan Ulis pergi ke rumah ketua adat yang ada di tengah-tengah rumah penduduk. Anak-anak kecil mulai berdatangan, merubung, lalu membentuk arak-arakan di belakang mereka bertiga. Tiwi mengangguk pada setiap ibu-ibu yang menatapnya malu-malu dari depan pintu rumah mereka.

Sebagian besar rumah berdinding gaba-gaba (batang pohon sagu yang dijajar rapat, lalu dianyam dengan tali) dan beratap rumbia. Rumah Bapa Soa adalah satu-satunya rumah yang berdinding tembok dan beratap asbes. Pintu rumah terbuka lebar, menandakan tuan rumah sedang menanti tamu. Beberapa pria muncul, tergopoh menyilakan tamu-tamunya untuk masuk, lalu melesat untuk memberi tahu tuan rumah.

Seorang pria berusia sekitar 70 tahun masuk ke ruangan, diiringi 12 pria. Ia gagah. Tatapan matanya jernih. Tiwi menyambut uluran tangannya yang hangat ketika Fritz memperkenalkan mereka berdua. Tiwi bisa merasakan kewibawaan dan kearifan seorang pemimpin dalam diri ketua adat itu.

Bapa Soa memperkenalkan para pengiringnya itu satu per satu. Tiwi menyambut uluran tangan setiap orang dengan formal. Ketika pria terakhir berdiri tepat di depannya, Tiwi hampir saja berteriak. Untung dia segera mendekap mulut. Pemuda sekitar 25 tahun itu diam menatapnya, membuat seluruh sendinya tiba-tiba ngilu. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Keringat dingin keluar dari seluruh pori-porinya.

“Dody,” kata pemuda itu, pelan.

Tiwi tak menyahut, tapi dia menyambut uluran tangannya. Dia menatap wajah pemuda itu dalam-dalam. Apakah dia Ray? Mengapa dia mirip sekali dengan kekasihku sewaktu muda dulu? Bibir Tiwi kelu.


Penulis: Yetty Diaz PR



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?