Fiction
Dua Pelaminan [5]

25 Jun 2012


<<<<  Cerita Sebelumnya

Menurut Fritz, Dody adalah putra bungsu Bapa Soa. Tiwi tak bisa berhenti melirik ke arah tempat duduk Dody. Entah kenapa, hatinya berdebar.

Ketika mereka akhirnya berpamitan, Bapa Soa mengikutsertakan dua wakilnya, Ale dan Dody, untuk mengikuti ekspedisi ini.

Tiba di tempat tujuan, yaitu bale pertemuan di Pulau Tarwa, semua orang duduk mengelilingi meja panjang. Ulis dan Mas’il membantu dua ibu mengangkat panci yang masih mengepul dari atas tungku. Ibu-ibu mempersilakan tamunya untuk mengambil makanan sendiri.

Setelah selesai makan siang, Tiwi mendekati ibu-ibu istri nelayan itu. “Enak sekali masakannya, Ibu-Ibu. Terima kasih banyak. Kalau Ibu mau untuk datang ke Evu, saya akan memberi resep masakan Jawa. Kita harus bertukar resep,” kata Tiwi, yang menangkap sorot mata berbinar-binar.

Mereka mengangguk setuju, sambil bertepuk tangan.

Ketika kembali ke perahu, Fritz menunjukkan pada Tiwi bahwa nelayan-nelayan ini punya penangkaran kimah mutiara, yaitu kerang besar yang dipelihara untuk diambil mutiaranya, tapi dengan cara tradisional. Tiwi diperbolehkan mengambil satu kerang. Mereka bilang, siapa tahu dia beruntung menemukan mutiara di dalam kerang itu.

“Ayo, Usi pilih yang mana? Nanti saya ambilkan,” kata Dody. Sedetik kemudian tubuhnya sudah ada jauh di bawah perahu. Dengan gesit pemuda itu segera mengangkat kimah yang berdiameter sekitar 50 cm. Semenit kemudian kimah raksasa itu sudah dibawa oleh Dody. Namun, perlu diperiksa lebih lanjut apakah di dalamnya terdapat mutiara atau tidak.

“Usi, sekarang kita pergi ke Pulau Ngaf. Malam ini kita menginap di sana,” kata Fritz.

Tak ada satu pun yang memberitahu Tiwi bahwa pulau kosong itu terletak di dekat tanjung dan berhadapan langsung dengan laut lepas. Tiwi merasa perahu yang ditumpanginya tidak berjalan mendatar. Don dan Fritz jadi tampak seperti anak-anak yang sedang bermain timbangan kayu, saat mengendalikan kemudi. Kecemasan mulai merambati hatinya. Ale terdiam. Tiba-tiba semua mesin dimatikan. Tiwi mulai panik, tapi tetap bungkam. Mereka semua hanya terlihat sedang menunggu sesuatu, diam dan waspada.

Perahan-lahan, dari arah haluan, terdengar suara gemuruh air. Lalu Don bersama bagian ujung perahu terangkat setinggi tiga meter. Tiwi menjerit, sambil memejamkan mata. Perutnya yang kejang tertekuk dan dia merasa akan terjengkang ke belakang. Ada lengan yang merengkuh tubuhnya dari belakang. Dody menyangga tubuh Tiwi dengan badannya.

Serangan ombak itu terjadi sampai lima kali, hampir setiap lima menit sekali. Yang terakhir paling mengerikan karena gulungan air itu sampai mengempaskan perahu. Kedua tangan Tiwi mencengkeram pinggiran perahu kuat-kuat. Semua orang basah kuyup, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lima menit kemudian muncul tiga kepala.

Menurut Fritz, perahu menabrak penyu, tapi tidak ada yang rusak. Mesin mulai meraung dan melaju cepat menuju pantai yang sudah mulai tampak. Tiwi melihat Dody sedang memeras bajunya. Anak muda itu berdiri bertelanjang dada. Tiwi segera memalingkan mukanya yang terasa panas. Untung tidak ada yang memperhatikan dirinya.

“Usi, mau minum kopi?” sebuah suara menegurnya. Tiwi sudah hafal betul pemilik suara itu. Namun, tak urung hatinya berdebar juga. Ray seolah sedang mengulurkan segelas kopi.

Setiap kali Tiwi mengungkapkan kekagumannya pada Maluku Tenggara, Dody hanya menoleh sekilas. Seperti Ray.
Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan cukup keras. Secara refleks Tiwi memeluk lengan Dody, sambil memejamkan mata. Ketika diberi tahu bahwa itu adalah bunyi sotong yang sudah matang, Tiwi segera menarik tangannya. Dengan wajah memerah ia menatap Dody. “Maaf,” katanya.

Dody tersenyum. ”Tidak apa-apa, Usi,“ bisiknya.

Lewat tengah malam, Tiwi masih telentang memandangi langit. Bulan tinggal sepotong dengan sinarnya yang suram, tapi bintang-bintang hampir memenuhi seluruh langit. Tiwi tidak ingin cepat-cepat tidur, dia masih ingin menikmati malam yang istimewa ini dengan kesendiriannya.

Rasanya, tidak ada yang salah dengan program-program yang selama ini diterapkannya di sini. Tapi, ia merasa gelisah dan tidak tenteram. Apa yang salah? Selama ini Tiwi memang selalu ingat pada Ray, walaupun tidak setiap hari. Tapi, Ray seolah sedang berada di suatu tempat, sedang menyelesaikan suatu urusan. Tiwi yakin, Ray akan kembali bila semua urusannya telah selesai. Karena keyakinannya itu, Tiwi tidak pernah merasa kehilangan Ray.

Sosok Ray memang sedikit mengabur dari benaknya, tapi tempat Ray di dalam hatinya tidak pernah bergeser. Kini, ketika Tiwi berhadapan dengan anak muda yang mirip Ray, Tiwi jadi jengah. Dia sadar sepenuhnya bahwa dia tidak sedang jatuh cinta pada Dody, meski Dody seolah adalah jelmaan Ray 25 tahun silam.

Sepekan di Maluku, Tiwi banyak memberikan bekal berharga bagi warga di sana. Ia mencarikan solusi untuk masalah-masalah yang dihadapi para nelayan. Ia juga mengajari ibu-ibu membuat es buah, minyak goreng, gula merah, abon ikan. Tiwi senang, mereka sudah belajar berbagai macam resep. Ia berharap, ilmu itu akan mereka gunakan untuk mencari nafkah.

Sebelum pulang, Bapa Soa sempat mengucapkan terima kasih pada Tiwi. Ia memberi kenang-kenangan berupa tanduk ikan berwarna legam. Semua mata terbuka lebar. Dan, semua orang tahu, Usi Tiwi sudah menjadi anak angkat Bapa Soa Dulah laut.

Bandara Langgur sudah tinggal sebuah titik di bawah sana. Namun, bayangan orang-orang yang mengantar Tiwi masih lekat di pelupuk mata. Senyum dan genggaman hangat mereka menorehkan haru yang menggumpal dan menyelimuti hati. Dada Tiwi sesak, matanya yang terasa panas mulai berkaca-kaca. Dia merasakan perasaan hampa yang aneh.

Tiwi tidak bisa menyembunyikan kenangan manis yang dikecapnya selama sepekan itu. Ia bersyukur wanita di sebelahnya tidur lelap karena dia memang tidak ingin mengobrol. Dia sedang ingin menikmati kesendiriannya, bercakap-cakap dengan diri sendiri.

Pikirannya kembali berkelana.

Enam perahu motor melaju ke arah matahari yang baru mengintip di batas cakrawala. Air laut yang berwarna gelap dan dingin pelan-pelan menampakkan kejernihannya. Wajah-wajah nelayan dengan kulit terbakar matahari tampak gembira dan penuh semangat. Tiwi baru menyadari sesuatu. Fritz menghilang. Ulis juga tidak ada. Yang ada hanya seorang lelaki, Dody.

“Dody, mana yang lain?” tanya Tiwi.

Pria muda di belakangnya tidak menyahut, hanya menunjuk pada satu titik kabur sambil tersenyum jenaka. Tiwi terduduk lemas.

Apakah Dody titisan Ray? Apakah itu berarti Ray sudah mati? Tiwi tidak mendapatkan keyakinan. Dari kejauhan Tiwi melihat munculnya sirip-sirip hitam di seputar perahu.

“Ray, ada hiu banyak sekali,” jerit Tiwi, panik. Ia gemetar, lalu pasrah.

Ketika Tiwi sudah sampai pada batas keputusasaan, sebuah lengan yang kokoh merengkuh tubuhnya. “Nana, tidak usah takut. Ada aku di sini. Ini Ray,” bisik suara itu berulang-ulang. “Itu bukan hiu. Itu lumba-lumba. Ayo, buka matamu. Lihat, ada yang ingin berkenalan denganmu,” lanjutnya.

Tiwi mulai berani membuka mata, bahkan berani mengulurkan tangannya untuk menyentuh hidung lumba-lumba.

Ray, kenapa baru sekarang kamu muncul? Ke mana saja kamu selama ini? Tahukah kamu, aku mencarimu sepanjang hidupku? Pertanyaan itu berhamburan dari benak Tiwi. Tapi, tak satu pun keluar dari mulutnya.

Tiwi membiarkan dirinya dipeluk laki-laki yang mengaku diri Ray. Rasa nyaman mengalir hangat ke seluruh tubuhnya, bercampur dengan aroma laut yang menciptakan ketenteraman abadi. Barangkali, sebentar lagi aku mati di tengah laut. Karena itu, Tuhan berbaik hati mengirimkan Ray untuk menjemputku. Batinnya tenang.

Tiwi terbangun kaget ketika pramugari mengguncang bahunya dan memintanya duduk tegak karena sebentar lagi akan mendarat. Pesawatnya transit di Bali selama 8 jam. Ia menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan di daerah Kuta. Tapi, berada di tengah ratusan orang yang tak dikenalnya, Tiwi jadi sangat rindu rumahnya. Ia rindu jalan-jalan tanah di muka rumah yang memanjang ke arah ujung kampung dan berakhir di pinggir sawah.

Bu, awal puasa nanti, wakil dari keluarga Mas Yan yang di Jakarta akan datang melamar. Lintang akan pulang bersama Mas Yan sebelum Lebaran, ya. Tiwi membaca e-mail dari Lintang itu berkali-kali.

Jumat siang itu laboratorium mikrobiologi sudah sepi. Hanya tinggal beberapa orang yang masih ada untuk membereskan peralatan yang habis dipakai.

Tiwi merasa lelah sekali sejak pagi tadi. Tapi, dia masih bersikeras melakukan penelitiannya sendiri. Lama-kelamaan ia merasa badannya menghangat, seperti akan masuk angin. Tiwi pun memutuskan untuk pulang. Jalan Kaliurang padat luar biasa. Mobil dan sepeda motor beriringan dengan sepeda. Bus kota ikut menyesaki lalu lintas dengan asap hitamnya. Tiwi ingin segera tiba di rumah dan terbebas dari belenggu keruwetan jalan. Tapi, itu tak mungkin. Semua kendaraan merambat 20 km per jam, lebih lambat daripada becak. Ah, tapi, seramai apa pun Yogya, tetap saja ia merasa sangat nyaman berada di kota ini.

“Mbok Jum, kok, sepi. Eyang pergi?“ tanya Tiwi.

“Ada di belakang, sedang leyeh-leyeh,“ sahut Mbok Jum.

Tiwi mengangguk, lalu menuju kamarnya di sayap timur rumah utama. Tiwi baru rebahan di tempat tidur ketika pintu kamarnya diketuk. Mbok Jum bilang, Eyang Kakung ingin menemuinya. Ada apa, ya? pikirnya.

Ia bergegas menuju samping rumah utama. Eyang Suwito sudah siap bepergian. Tiwi mendekat.

“Kapan keluarga calon besanmu itu datang?“ tanya Eyang Kakung.

“Belum tahu, Eyang. Lintang bilang, mungkin minggu ini,“ sahut Tiwi.

“Kalau begitu, kalau nanti calon besanmu datang, tolong diperhatikan. Minta mereka menunggu Eyang,“ pesan Eyang Kakung. Perintahnya khas kepala rumah tangga yang biasa menjadi panutan dan pengambil keputusan.

Dua hari lalu Eyang Putri sempat bercerita bahwa Eyang Kakung diminta mewakili Eyang Wiratmo yang tinggal di Ngadisuryan untuk menentukan tanggal pernikahan putri bungsu mereka.

Sore musim kemarau ini membuat pohon-pohon di sekitar rumah meranggas. Petang terasa kian dingin. Pohon-pohon yang nyaris tak berdaun gemerisik ditiup angin. Awan-awan kelabu bergerak cepat, berlomba dengan malam yang mulai merangkak turun. Sebentar lagi hawa dingin akan memekat. Orang Jawa menamai mongso bedhidhing, musim kemarau yang ditandai dengan siang panas menyengat dan malam dingin menggigit tulang.

Matahari sore masih menyisakan semburat merah di balik pohon sawo kecik di barat rumah. Tiwi baru saja keluar dari kamar mandi. Badannya yang tadi siang panas dingin agak berkurang setelah diguyur air dingin. Ia harus segera menyelesaikan laporannya untuk Dina. Iseng-iseng Tiwi membuka e-mail, siapa tahu ada kabar baru dari Lintang. Di jajaran paling atas tertera e-mail dari Dina.

Tiwi, ada teman dari Maluku Tenggara ingin menjumpaimu. Dia ikut mensponsori Indonesia Timur. Namanya Bang Oce. Siapa tahu kamu akan mendapat kontrak. Begitu bunyi e-mail dari Dina.

Tiwi hanya menggedikkan bahu. Tiba-tiba ia merasa tungkai kirinya ngilu. Ia mengira itu karena kelelahan. Maklum, sepulang dari Maluku, Tiwi langsung masuk pada agenda rutinnya tanpa istirahat.

Tiwi membuka datanya. Ketika baru menulis beberapa baris, rasa nyeri itu menyerang lagi. Dia meringis sambil memijit-mijit tungkai kirinya. Ketika rasa sakit itu berkurang, Tiwi kembali menulis. Belum lima belas menit, rasa ngilu itu muncul lagi. Kali ini bahkan lebih hebat karena merambat sampai ke seluruh jari-jari kaki. Kepalanya ikut berdenyut-denyut. Ketika jari-jarinya menyentuh kulit kepala, sentuhan itu terasa amat menyakitkan. Tanpa terasa peluh bercucuran di sekujur tubuhnya. Daster yang dipakainya basah kuyup.

“Tiwi, kok, sepi? Eyang ke mana?“ suara Baskoro.

“Masuk, Mas. Tidak dikunci,“ jawab Tiwi, sambil menahan sakit.

Pintu terkuak. Baskoro masuk ke kamar Tiwi. Dilihatnya sepupunya itu sedang meregang, tubuhnya melengkung dengan kedua tangan mencengkeram kaki.

“Kamu pucat sekali,” kata Baskoro. Lengan Tiwi sudah sedingin es. “Kamu sakit? Ayo, kita ke rumah sakit.“ Baskoro mengusap butir-butir peluh di dahi Tiwi sebelum melesat ke belakang untuk memberi tahu Mbok Jum.

Mobil sudah keluar dari gang dan mulai memasuki bahu Jalan Kaliurang. Mata Tiwi terpejam, menahan sakit. Satu tangannya mendekap mulut. Rasa pening yang hebat membuat lambung terasa diremas-remas. Rasa mual merambat sampai ke ulu hati.

Baskoro segera melarikan mobilnya. Ia berkonsentrasi penuh pada jalan. Dia ingin segera tiba di rumah sakit. Tiwi menyandarkan punggungnya. Baskoro tidak menyangka rumah sakit begitu penuh. Setelah berputar-putar dan akhirnya mendapatkan tempat parkir, Baskoro memapah Tiwi yang tertatih-tatih.


Penulis: Yetty Diaz PR



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?