Trending Topic
Mencari Akar Pemicu Sikap Intoleran di Indonesia

24 Aug 2016


Foto: Stocksnap.io

Faktor rendahnya tingkat pendidikan ternyata turut menjadi pemicu sikap intoleran dan bertindak radikal. “Mereka yang berpendidikan rendah memang lebih mudah terhasut provokasi. Ketika mendengar informasi, langsung diserap tanpa disaring, tidak diterima dengan pikiran kritis,” kata Pemerhati Pendidikan dan Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Prof. Dr. H. Arief Rachman, M.PdSelain itu, kematangan emosi juga sangat menentukan tindak perilaku seseorang. 
           
Tidak ada cara lain untuk menumbuhkan sikap toleransi, harus diajarkan lewat ranah pendidikan, baik pendidikan di sekolah maupun dalam keluarga. “Tidak ada pelajaran formal tentang toleransi. Pelajaran Pancasila atau tentang kebinekaan Indonesia itu hanya teoretis semata. Yang terpenting bukan sekadar mengetahui kulit luarnya saja bahwa ada perbedaan, tapi bisa memahami maknanya berbeda itu apa dan harus bagaimana. Toleransi adalah pengajaran karakter,” beber Arief.

Pengajaran karakter ini pun harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari lewat contoh role model dan suasana pembelajaran, lanjutnya. Misalnya saja, siswa diajarkan untuk tidak menciptakan ‘kasta’ antara anak IPA versus IPS yang sering kali diejek lemah dalam kemampuan hitung-hitungan.  Atau, pihak sekolah umum negeri tidak mewajibkan pemakaian atribut yang mengotak-ngotakkan identitas agama siswa,  misalnya aturan penggunaan hijab di beberapa sekolah negeri di Banten, atau kewajiban membaca doa secara Islam yang diterapkan pada siswa nonmuslim juga.

“Berada di lingkungan yang heterogen, yang mengizinkan anak berinteraksi dengan banyak agama, suku, ras, gender, dan status sosial, membuat anak belajar untuk bisa menerima perbedaan dengan sendirinya,” ujar Arief. Toleransi, menurutnya, adalah sebuah keterampilan yang membentuk kebiasaan dan akhirnya membentuk sikap dan menjadi nilai yang dipegang seseorang.

Hal ini dirasakan benar oleh Ayu Kartika Dewi, Co-Founder Komunitas Pertukaran Siswa SabangMerauke. Ketika menjadi guru SD di sebuah desa di Maluku Utara tahun 2010-2011, ia menyaksikan bagaimana kasus kerusuhan Ambon-Poso tahun 1999 masih sangat berdampak di desa-desa di daerah tersebut. Tak hanya menyebabkan ribuan nyawa melayang, imbas lainnya banyak desa yang disekat: desa Islam dan desa Kristen. Tujuannya, untuk mengurangi gesekan.

Sayangnya, hal ini justru membuat banyak anak-anak tumbuh tanpa pernah mengenal orang dengan agama yang berbeda. Buruknya lagi, mereka menganggap golongan lain lebih buruk dibandingkan golongannya tanpa benar-benar tahu yang sebenarnya. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan.
           
Sepulang ke Jakarta, Ayu bertemu dengan beberapa rekan yang memiliki kegelisahan serupa. Diskusi mereka pun mengerucut pada kesimpulan bahwa agar Indonesia lebih damai, harus ada lebih banyak anak yang mengenal dan berinteraksi secara nyata dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda. Lahirlah komunitas SabangMerauke yang memfasilitasi pertukaran siswa untuk merasakan hidup di keluarga asuh yang berbeda agama, suku, ataupun strata sosial.

Adapun, kelompok Gusdurian melakukan banyak kegiatan untuk membentuk sikap toleransi di kalangan pemuda. Di Malang misalnya, ada kunjungan ke tempat-tempat ibadah berbeda demi mempererat silaturahmi. Atau di Klaten, teman-teman di pesantren dan suster-suster saling halalbihalal, sementara di Jombang diadakan Diversity Camp, serta di Yogyakarta menggelar Kemah Persaudaraan Anak Bangsa.
           
“Bahkan, demi memperingati Hari Toleransi Dunia di bulan November tahun lalu, kami menyelenggarakan Festival Film Toleransi. Ide-ide cerita yang kritis dan satir kami hadirkan untuk dipertontonkan kepada para Gusdurian. Salah satunya adalah film Cahaya Dari Timur arahan Angga Sasongko,” jelas Alissa Wahid, Koordinator Jaringan Gusdurian Indonesia.

Baca juga: Kita Memang Berbeda

Maarif Institute juga mengambil langkah proaktif, antara lain memberi pelatihan kepada para guru di sekolah-sekolah negeri di seluruh Pulau Jawa untuk menguatkan pengajaran toleransi dan nilai nasionalisme, serta menyelenggarakan Jambore Nasional tahunan. Tahun ini acara Jambore dilaksanakan di Surabaya pada 1-6 Agustus lalu dan diikuti oleh 100 pemuda/i dari seluruh Pulau Jawa.

“Program live in ini maksudnya untuk memberi mereka kesempatan berbaur dengan teman-teman dari berbagai kota dan mengajarkan nilai kebinekaan serta empati lewat kerja sosial berupa  pemberian santunan dan kampanye hidup sehat kepada masyarakat marginal yang tinggal di bantaran rel kereta,” kisah Darraz.
           
Tahun depan, Maarif Institute berencana membuat program baru, yaitu membawa siswa dari Pulau Jawa untuk live in di daerah timur Indonesia untuk bisa merasakan kehidupan dan mengetahui budaya atau adat istiadat di sana.
           
“Program live in sangat baik  untuk mengajarkan toleransi, karena anak langsung tercebur dalam kebiasaan dan budaya yang berbeda. Apa yang dirasakan langsung biasanya lebih melekat dan membentuk karakter anak. Apalagi jika bisa live in di negara asing sehingga tak hanya toleransi, tapi wawasan dan cara berpikir anak bisa lebih terbuka nantinya,” pungkas Arief. (f)
 


Topic

#intoleransi

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?