Trending Topic
Kita Memang Berbeda

7 Aug 2012

Pegiat Gusdurian (komunitas yang merawat pemikiran almarhum Gus Dur tentang pluralitas), Alissa Wahid, mengakui adanya gejala bahwa kita makin bingung menyikapi perbedaan. “Kita sudah melihat banyak sekali kasusnya, dari yang paling ekstrem seperti kekerasan dan pembunuhan di Cikeusik, sampai yang paling halus, seperti tidak mau bertetangga dengan orang yang tidak seiman,” ujar Alissa.

Padahal, sambung Alissa, perbedaan itu sifatnya kodrati, karena datang dari Sang Pencipta. Kita tak bisa mengingkari. “Perbedaan itu justru bisa menjadi rahmat, bila kita bisa menjadikannya sebagai modal untuk harmoni. Tetapi, bisa menjadi ujian bila kita menjadikannya sebagai alasan untuk saling menindas,” ungkapnya.

Dibandingkan dengan kesukuan, agama lebih mudah menjadikan seseorang intoleran, karena menurut Rocky Gerung dosen filsafat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, hal ini tidak bisa dipisahkan dari sifat agama yang pada dasarnya tidak memiliki nilai toleransi karena bersifat obsesif. “Agama selalu ingin absolut dan selalu mencemburui pemikiran yang berbeda,” imbuh Rocky. Itulah sebabnya, nilai-nilai agama seharusnya tidak bisa digunakan untuk mengatur kehidupan demokrasi, yang memberikan tempat bagi perbedaan.

Masalah kian runyam ketika nilai-nilai agama itu kemudian dipakai untuk menyelesaikan problem politik. Hal ini kini banyak dilakukan, baik oleh masyarakat maupun penguasa.

Masyarakat misalnya, ketika korupsi kian marak dan penegakan hukumnya mengecewakan, maka pelaku korupsi ‘dihakimi’ dengan nilai-nilai agama. Sementara, di sisi penguasa, agama sering kali dimanfaatkan untuk kepentingan politik sesaat. Rocky maupun Ismail mengakui adanya kecenderungan itu. “Umumnya bisa dikatakan begitu, termasuk di Aceh,” kata Ismail Hasani, Manager Program Setara Institute.

Dalam buku Politik Diskriminasi yang diterbitkan Setara Institute, Koordinator Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPUK), Azriana Rambe, mengatakan bahwa politisasi tubuh wanita kian marak saja. Azriana merujuk keluarnya beberapa qanun (aturan) yang bertujuan mengawasi tubuh wanita, seperti Qanun Rok di Aceh Barat.

Menurut Azriana, aturan-aturan semacam ini biasanya muncul di daerah yang kinerja pemerintahnya tidak terlalu baik. “Untuk daerah-daerah mayoritas muslim di Aceh, isu agama paling manjur untuk meredam kontrol sosial masyarakat terhadap kinerja pemerintah,” tulisnya.

Pada dasarnya, aturan-aturan khusus itu diperbolehkan disusun oleh semua pemerintah daerah. Hal itu sebagai bentuk akomodasi pemerintah pusat terhadap keragaman daerah. "Namun aturan yang dibolehkan adalah yang mengandung kearifan adat lokal untuk kepentingan bersama." katanya. Sebagai contoh adalah perda-perda mengenai perlindungan terhadap masyrakat adat. Syarat lain adalah, aturan tersebut juga tidak bertentangan dengan undang-undang yang ada di atasnya.

Lalu bagaimana bila nilai-nilai agama dianggap sebagai kearifan lokal? "Boleh saja, asal sifatnya konstruktif dan tidak diskriminatif," imbuh Ismail. Satu contoh adalah perda mengenai kewajiban pandai mengaji bagi anak-anak sekolah negeri sebagai syarat untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi di beberapa daerah di Sumatera, Madura dan Sulawesi. Menurut Ismail, perda ini seharusnya tidak boleh ada, karena tidak sesuai dengan undang-undang yang ada di atasnya, dalam hal ini adalah Undang-undang Sistem Pendidikan nasional (Sisdiknas).

Namun, karena ‘hanya’ dipakai sebagai alat politik sesaat, biasanya ‘masa berlaku’ aturan yang diskriminatif dan intoleran itu juga hanya sebentar saja. Panasnya sebentar saja, lalu dilupakan. Meski begitu, Ismail menegaskan, tetap tidak boleh ada pihak yang memandang remeh hal tersebut. “Karena kenyataannya, paham intoleran dan radikalisme itu benar-benar ada di sini.”

Dengan membiarkan, kelompok-kelompok yang mengusung ide ini punya kesempatan untuk menyebarluaskan paham mereka. Dan kelompok-kelompok ini biasanya bergerak dengan cepat, dan bersuara dengan nyaring. Karena itu, agar paham itu tidak makin diikuti banyak orang, harus ada upaya untuk melawannya. “Kita tidak boleh diam saja. Karena pada dasarnya, masyarakat Indonesia itu toleran,” kata Ismail. (f)
    



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?