Trending Topic
Laporan FGD: Media Sosial di Mata Wanita Indonesia

21 Apr 2016


Foto: Fotosearch

Untuk mendapatkan gambaran lebih mendalam tentang kefasihan digital dan peran teknologi terhadap peningkatan karier wanita di Indonesia, Accenture bekerja sama dengan femina mengadakan focus group discussion (FGD) pada 1-2 Maret 2016. FGD diikuti oleh 20 wanita bekerja, baik di perusahaan maupun wirausaha, dari usia 20 hingga 35 tahun. 

Bagaimana mereka menggunakan media sosial? Seperti kita tahu, di Indonesia, media sosial dan aplikasi pesan instan sangat populer. Masyarakat berjejaring tumbuh sangat pesat. Pada tahun 2015, Indonesia ‘resmi’ menyandang status Ibukota Media Sosial berbekal gelar negara dengan pengguna terbanyak ke-4 untuk Facebook, negara dengan pengguna terbanyak ke-3 untuk Twitter, dan negara dengan pengguna terbanyak untuk Path.

Pengguna media sosial di Indonesia umumnya memperlakukan akun-akun pribadi mereka layaknya corong suara di berbagai bidang. Manfaatnya tak terbatas. Sahabat bisa berbagi keluh kesah harian sesuka hati, sekelompok orang yang memiliki ketertarikan serupa bisa membangun komunitas, orang yang sedang tertimpa bencana menggunakannya untuk mengumpulkan bantuan, bahkan calon presiden bisa membangun ‘pasukan’ pendukung lewat sentuhan jari.

Format visual yang ditawarkan media sosial Instagram, memikat Nadia Sibali (25), pemilik dan florist jasa dekorasi bunga berbasis online, P.S. Bloomshop. “Saya dari dulu senang merangkai bunga, tapi enggak ambil kursus formal karena mahal sekali. Jadi, saya mencari inspirasi teknik-teknik merangkai bunga dan dekorasi ruangan lewat Instagram.”

Tuntutan untuk ‘selalu cepat tahujuga mendorong Stella Sabrina (27), Secretary to Editor-in-Chief TV One, untuk setia menggunakan Twitter. Media sosial yang diberitakan mengalami stagnasi jumlah pengguna ini justru Stella andalkan untuk memantau kabar terbaru, terutama kabar buruk dalam negeri. “Posisi saya merangkap banyak pekerjaan. Kalau ada kabar buruk atau isu besar, saya harus ikut ngumpulin fakta atau berita untuk dibaca atasan saya. Paling cepat, baca di Twitter. Selengkapnya, saya browsing dari berbagai sumber,” tutur Stella.

Browsing dan media sosial juga jadi salah satu cara Dhita Ayuningtyas (30), Assistant Head of Public Relations LG Electronics Indonesia, untuk selalu terdepan dalam informasi terkait produknya. “Profesi menuntut saya selalu aware dan one step ahead dari citra kompetitor. Dengan keywords yang tepat, saya bisa memonitor brand produk perusahaan tempat saya bekerja dan juga memantau brand kompetitor tiap hari. Jadi, kalau ada berita-berita kurang bagus tentang brand yang saya pegang, bisa segera diatasi sebelum terjadi krisis,” ungkap Dhita.

Eksistensi teknologi, mau tidak mau, mengubah wajah pendidikan dan arus informasi di Indonesia. Institusi pendidikan, buku pelajaran, dan media massa konvensional tidak lagi menjadi sumber informasi yang mutlak. Dengan perluasan akses internet dan perangkat elektronik cerdas yang harganya  makin terjangkau, semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri, jika   terampil menggunakannya. Pada saat bersamaan, hal ini juga melahirkan kecemasan baru.

Peserta FGD mengaku merasa kalah atau tertinggal ketika melihat post tertentu di media sosial. Salah satunya Maria Augy Angeline (25), pendiri toko produk kecantikan berbasis online, August & September. Ia mengatakan, “Internet membuat kita melihat makin banyak orang muda berbakat di sekitar kita. Misalnya, kita sudah merasa jago meracik produk kecantikan alami, fotografi, atau ilustrasi. Ternyata, di media sosial ada orang yang lebih muda dan lebih jago lagi. Jadi terinspirasi, sekalian jadi pengingat untuk jangan cepat puas. Ibarat di atas langit, ternyata masih banyak langit lainnya.”
 
“Pengguna teknologi di negara berkembang pada umumnya masih memandang teknologi dan perangkat cerdas hanya sebagai alat untuk memudahkan hidup atau mempercepat proses. Padahal, teknologi itu turut membawa sistem baru dalam kehidupan manusia. Jika dipakai secara efektif dan etis, dampaknya akan lebih signifikan. Namun, bila penggunaannya tidak tepat, malah akan merugikan diri sendiri,” papar pakar ilmu komunikasi Universitas Indonesia, Dr. Ir. Firman Kurniawan S. M.Si.

“Budaya komunal yang lekat dengan masyarakat Indonesia ikut terbawa ke ranah digital. Apa yang ramai dibicarakan, orang lain jadi ingin tahu, dan akhirnya ingin ikut terlibat,” ujar Nia SarinastitiMarketing & Communications Director Accenture Indonesia.

Media sosial ternyata juga menyentuh proses rekrutmen pekerjaan. Perusahaan modern kini memperhatikan kepribadian serta passion calon karyawan. Rekam jejak positif dan unik di ranah digital justru bisa melesatkan karier Anda.

Sebut saja Cinta Ruhama Amelz, pemilik akun @mamaofsnow, yang akun Instagram-nya diikuti lebih dari 35.000 followers. Setelah berada di puncak kariernya sebagai deputy editor in chief di majalah remaja ternama, ia memutuskan untuk menjadi seorang blogger. Post-nya disukai followers karena rutin menampilkan kehidupannya sebagai ibu sekaligus lifestyle blogger lewat tampilan foto natural namun penuh estetika dan gaya penulisan yang santai. Tidak sedikit produk gaya hidup yang kemudian meng-endorse si cantik ini.

Diakui Syadzwina, Kiti, dan Maria Augy, fenomena memoles media sosial memang sangat populer di kalangan digital natives.  “Media sosial itu merepresentasikan pemiliknya di dunia maya. Semacam mini reality show. Kita bisa mengatur, citra apa yang ingin kita tampilkan dan sembunyikan dari teman-teman,” ujar Maria Augy, yang ternyata juga disetujui seluruh peserta.

Oleh karena itu, Sandra Christy Manurung (28), pengacara di firma hukum, mengaku tidak sembarangan mengisi media sosialnya. “Tim rekrutmen modern melakukan background research bukan hanya dari CV dan ijazah, tapi juga stalking ke media sosial kita. Jadi, sebelum interview, mereka sudah tahu karakter kita seperti apa. Makanya, saya membatasi update media sosial. Saya cuma update dengan hal-hal yang juga bermanfaat untuk orang lain. Contohnya, link artikel,” ujar Sandra.

Pengalaman mendapatkan pekerjaan baru gara-gara isi media sosial dialami Jatu. “Tim rekrutmen kantor saat ini, dulu stalking akun Instagram saya, karena akun Linkedin saya kurang update. Mereka mempelajari interest sekaligus pekerjaan saya saat itu lewat foto dan caption. Dari situ, mereka tertarik untuk mengajak saya bergabung.”

Uniknya, meski seluruh peserta FGD memiliki akun Linkedin, mereka justru jarang memperbarui informasi di dalamnya. Mereka hanya memperbarui informasi di Linkedin kalau ingin mencari pekerjaan baru. Padahal, tidak sedikit tawaran pekerjaan justru datang dari situ. “Saya beberapa kali mendapat panggilan kerja dari Linkedin, tapi memang belum ada yang sesuai,” ungkap Nila Siti Amarullah (31), pengusaha toko online.  
 


Topic

#WanitadanTeknologi

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?