Trending Topic
Film Horor Asia Berjaya di Hollywood

10 Mar 2017


Foto: Dok.IMDB.com

Awal tahun 2000-an bisa dikatakan momen penting makin terbuka lebarnya pintu masuk industri  film horor Asia untuk dilirik pasar internasional, khususnya Hollywood. Kesuksesan sineas Asia dalam menciptakan ‘teror’ dalam bentuk film, menggugah pemain-pemain besar industri perfilman dunia untuk merekonstruksi ulang kesuksesan itu menjadi lebih besar di pasar internasional. Lihat saja The Ring, The Grudge, Shutter, Dark Water, hingga yang terbaru, Rings (2017), yang selama lebih dari satu dekade terakhir mencuri perhatian para penikmat sinema horor dunia.
 
Samara, si hantu berambut panjang menutupi muka yang hidup di dalam sumur tak bertuan dan meneror siapa pun yang melihatnya di dalam video penuh misteri, kembali menghantui seluruh dunia dalam film Rings yang ditayangkan di Hollywood, Februari lalu. Para penikmat film horor tentu mengenal Samara, atau dikenal juga sebagai Sadako, yang merupakan urban legend dalam film box office berjudul The Ring (2002) yang diadaptasi dari film Jepang, Ringu (1998).

Jika pada tahun 2002, tangan kreatif Gore Verbinski cukup sukses merepresentasikan ulang film Ringu untuk pasar internasional, kini Paramount Pictures memercayakan sineas F. Javier Gutierrez untuk menggarap Rings. Masih percaya pada kekuatan kisah asli The Ring yang bisa mendulang untung hingga 3 triliun rupiah, film yang dibintangi oleh Matilda Lutz ini masih mengikuti pakem dalam cerita asli novel Ring karya penulis Jepang, Koji Suzuki (1991). Hanya, ada penyegaran dalam cerita film dengan anggaran sekitar 25 juta dolar AS (sekitar Rp 300 miliar) ini. Jika dalam film sebelumnya konteks ‘video’ yang dimaksud dalam cerita masih berbentuk VHS, di era yang lebih modern dalam film ini menjadi lebih digital berupa video yang tersebar melalui e-mail atau yang ditayangkan di televisi pesawat.

Kendati inti cerita masih sama dan telah balik modal dengan keuntungan hingga 67 juta dolar AS (sekitar Rp900 miliar) di minggu keduanya, awal penayangan Rings tak cukup disambut baik. Banyak kritik menghujani film ini seminggu setelah penayangan. Salah satunya adalah Peter Travers, editor Rolling Stone Amerika Serikat. Travers memberikan ‘nol bintang’ untuk review film ini, yang menyebutkan buruknya penyutradaraan, penulisan skrip, hingga akting para bintangnya. Sementara, A.A. Dowd dari portal gaya hidup, The A.V Club, berkomentar bahwa film ini tak lebih berwarna dibandingkan versi sebelumnya pada  tahun 2002 dilihat dari segi visual dan struktur plot. Tak ada pengembangan cerita yang baik dan berkesan pada karakter filmnya.

Di luar banyaknya kritik yang menyerang Rings, kembali hadirnya film horor remake ini mengingatkan kita pada kejayaan film-film hantu Asia yang dibuat ulang oleh Hollywood. Tahun 2000-an adalah masa keemasan para sineas film horor di dunia bagian timur untuk mengekspansi teror-teror sinematik mereka. Tak hanya adaptasi dari film horor Jepang yang legendaris, kepiawaian sineas horor dari negara belahan Asia lain, seperti Korea Selatan, dataran Cina, hingga Thailand, juga memikat banyak pembuat film internasional.

Tentu, selain si legendaris The Ring yang masih jadi jawara film horor remake terbaik, banyak film daur ulang lainnya yang mencuri perhatian penikmat sinema dunia. Misalnya saja, The Grudge (2004), yang bercerita tentang seorang wanita yang dihantui seorang bocah setelah mengunjungi rumah misterius, yang diadaptasi dari  film Jepang, Ju On: The Grudge (2002).

Contoh lain adalah cerita tentang pasangan baru yang menemukan penampakan yang aneh pada foto mereka dalam film horor Shutter (2008), yang didaur ulang dari film berjudul serupa asal Thailand. Juga kisah dua kakak beradik yang berusaha menguak misteri dan keanehan atas meninggalnya ibu mereka dalam film The Uninvited (2009), yang terinspirasi dari film thriller Korea Selatan, A Tale of Two Sister (2003).

Maraknya film horor Asia remake Hollywood di bioskop berbagai belahan dunia pada tahun 2000-an  juga melahirkan tren J-horror atau K-horror. Mata publik kian terbuka dengan kualitas perfilman horor Asia yang tak bisa dipandang sebelah mata.

Banyak alasan mengapa para sineas Hollywood begitu terpikat untuk menyulap ulang film horor Asia. Selain karena karakter film yang kuat dan berhasil membuat para penontonnya bergidik, popularitas dan keuntungan film orisinalnya juga jadi penggugah utama para produser film dunia untuk mencetak ulang kesuksesan yang sama di kancah perfilman internasional.

“Motivasinya adalah keuntungan. Karena, formula paling mudah untuk membuat sebuah film horor yang sukses adalah menyadur film horor lain yang sudah berhasil. Di sebuah industri perfilman yang berbasis pada pencarian keuntungan, ya,  mereka menggunakan formula itu,” cerita Krisnadi Yuliawan, pengamat film dari rumahfilm.com. Tentunya akan lebih mudah menerapkan formula tersebut jika mengubah film aslinya dalam versi bahasa Inggris, agar bisa mudah dipahami lebih luas oleh masyarakat dunia.

Berhasilnya The Ring mereplikasi Ringu membuat banyak orang di Hollywood percaya untuk menerapkan hal yang sama pada film-film horor Asia lainnya untuk disulap dan dikembangkan dengan budaya yang lebih mudah diterima pasar Eropa dan Amerika. Tak mengherankan, setelah The Ring, makin banyak bermunculan film-film horor daur ulang yang diambil dari cerita-cerita horor Asia yang memang sebelumnya sudah sukses di masing-masing negara asalnya. (f)

Baca juga:
Ini Yang Membuat Film Horor Digemari
Tren Film Horor
5 Alasan Menyukai Film Horor


 


Topic

#industrifilm, #Hollywood

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?