Trending Topic
Benarkah Bahagia Itu Sederhana?

23 Mar 2017


Foto: 123RF
 
Berbicara tentang kebahagiaan, rasanya lekat dengan bermimpi. Apalagi, sejak kecil kita sudah dikenalkan dengan peribahasa Indonesia: berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Jadi, jangankan berbahagia, ingin merasakan senang saja perlu perjalanan panjang.

Sebuah fakta unik mencuat di tengah derasnya berita persaingan politik yang menyeret sentimen agama dan ras, kemacetan, serta berita duka akibat banjir di Indonesia, beberapa bulan belakangan ini. Ternyata, Indonesia berada di peringkat ke-7 dari 140 negara dalam daftar negara-negara paling bahagia di dunia berdasarkan hasil survei lembaga internasional Gallup Inc pada tahun 2016. Sebenarnya, bagaimana wujud kebahagiaan yang sejati?
 
Apakah kamu banyak tersenyum atau tertawa kemarin? Apakah kamu merasa merasakan gangguan fisik? Apakah kamu merasa khawatir atau sedih? Tim survei Gallup Inc mengajukan pertanyaan tersebut kepada 1.000 partisipan berusia 15 tahun ke atas di 140 negara, termasuk Indonesia. Tak disangka, 82 persen partisipan dari Indonesia menjawab ‘ya’ untuk pertanyaan pertama dan ‘tidak’ untuk pertanyaan kedua.

Sementara itu, tim survei Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan PBB di mana peringkat Indonesia adalah 79 dari 157 negara punya formula pertanyaan berbeda untuk mengukur kebahagiaan. Mereka fokus pada faktor pendapatan per kapita, dukungan sosial, usia harapan hidup sehat, kebebasan menentukan pilihan, kedermawanan, dan persepsi korupsi.

Tidak hanya di tingkat organisasi atau lembaga, formulasi kebahagiaan yang berbeda-beda juga dialami di tingkat individu. Tentu Anda masih ingat buku memoir perjalanan Eat, Pray, Love (2006). Demi mencari keping-keping kebahagiaannya, penulis Elizabeth Gilbert perlu menjelajah Italia, India, dan Indonesia. Ada juga kisah jurnalis dan penulis buku The Geography of Bliss (2008), Eric Weiner, yang bertolak ke 10 negara, yakni Belanda, Swiss, Bhutan, Qatar, Islandia, Moldova, Thailand, Inggris, India, hingga akhirnya ia menyadari kebahagiaannya berada di Miami, Amerika Serikat, di rumahnya sendiri.

Sudtria Ningsih (28) juga pernah mengalaminya. Hingga saat ini, pramugari maskapai nasional itu sudah menjelajah 53 rute penerbangan domestik dan 51 rute penerbangan internasional sejak bertugas tahun 2012. “Cita-cita saya terwujud, bisa menginjakkan kaki di tempat-tempat indah di berbagai penjuru dunia. Kesempatan ini menjadi salah satu hal yang paling membuat saya bahagia,” ujar wanita yang kini sudah menjadi ibu seorang bayi perempuan berusia 9 bulan ini.

Begitu juga dengan Andita Winda Listyarini (27). Ia berkesempatan  mewujudkan cita-citanya menjadi master di bidang international journalism dengan beasiswa penuh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari Cardiff University, Inggris, pada tahun 2015. Ia juga diterima magang di Radio Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat. “Saya memilih keluar dari zona nyaman. Tetap saja, saya bahagia. Mendapat keterampilan profesional baru dan juga belajar pantang menyerah,” ungkap wanita yang beberapa pekan lalu baru saja kembali ke Jakarta ini.

Sementara itu, demam mencari kebahagiaan juga merambah dunia maya. Di media sosial, tidak sedikit netizen yang menggunakan hashtag #BahagiaItuSederhana dan #JanganLupaBahagia. Konten visual dan teks yang menyertai hashtag itu pun beragam, mulai dari hal sederhana menyeruput kopi panas di pagi hari dan berkumpul dengan sahabat atau keluarga, hingga –yang agak melenceng dari makna sederhana--menampilkan foto dirinya sedang menenteng kantong-kantong belanja produk ternama.

Perbedaan formulasi kebahagiaan pada masing-masing orang, menurut pakar kesehatan holistik Reza Gunawan, wajar terjadi. “Sebab, pada dasarnya  manusia tidak tahu persis kebahagiaan itu apa. Sehingga, kita pun berusaha memformulasikan cara kita masing-masing untuk mencari kebahagiaan,” ujar Reza.

Namun, Reza menekankan, merumuskan formula bukanlah tantangan utamanya, melainkan saat proses uji coba untuk membuktikan formula itu. Ibarat eksperimen, proses uji coba tentu memerlukan waktu yang sering kali tidak sebentar. Bisa sukses, bisa juga gagal dan mengulanginya lagi dari awal.

Senada dengan Reza, psikolog Roslina Verauli mengatakan bahwa proses uji coba kebahagiaan sering kali memakan waktu lama dan menempuh jarak sangat jauh karena orang sering berpikir bahwa kebahagiaan adalah sebuah goal atau tujuan akhir. “Padahal, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bisa kita cari, melainkan sebuah emosi yang harus kita rasakan,” ungkap Roslina. Jika kita tidak melatih diri untuk merasakannya, maka bukan tidak mungkin kita akan sulit bahagia sampai kapan pun. (f)
            
Baca juga:
Apakah Bahagia Berbanding Lurus dengan Produktivitas?

Ingin Lebih Bahagia? Awali Hari dengan Senyum


Topic

#Bahagia, #Psikologi

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?