Trending Topic
Anak-anak di Kabupaten Sumba Barat Sulit Mendapatkan Akta Kelahiran

4 Jan 2017


Foto: YOS

Memiliki akta kelahiran merupakan bentuk hak identitas tiap anak. Negara pun mengeluarkan peraturan bahwa  tiap kelahiran anak wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya peristiwa kelahiran itu paling lambat 60 hari sejak kelahiran. Namun, bagi anak-anak penganut kepercayaan lokal Marapu di Sumba, mendapatkan akta kelahiran bukanlah hal mudah. Padahal, tanpa memiliki akta, mereka seperti ‘tiada’.
 
Ingin Sekolah
Waktu sudah lepas dari tengah hari. Namun, matahari siang di bulan November tidaklah terlalu garang menyinari kampung adat Dikita, Kecamatan Tana Righu, sekitar 18 kilometer dari Waikabubak, ibu kota Kabupaten Sumba Barat. Seperti kampung adat Marapu pada umumnya, Dikita berada di dataran tinggi, sehingga saat siang pun kabut tipis seolah menyelimuti 22 rumah adat (uma) penganut Marapu.

Marapu adalah kepercayaan tradisional masyarakat Sumba yang meyakini adanya kekuatan tertinggi yang disebut Mawolu-Marawi, yang secara harfiah berarti ‘yang menciptakan’ atau ‘yang membuat’. Mawolu-Marawi, juga disebut Marapu, kedudukannya sangatlah tinggi, sehingga untuk menyampaikan permohonan dan mengetahui kehendak-kehendak-Nya maka diperlukan perantara. Perantara itu adalah roh para leluhur, yang diyakini memiliki kedudukan tempat yang lebih dekat kepada Mawolu-Marawi. Karena itu, penganut Marapu memuja arwah leluhur mereka.

Penganut Marapu memiliki banyak pemujaan, dari yang sederhana hingga yang rumit. Ritual-ritual sederhana dilakukan dengan mempersembahkan sesaji berupa buah sirih dan pinang. Kadang-kadang juga disertai   seekor ayam, yang disembelih untuk dilihat oleh rato (pemimpin spiritual) untuk melihat apa yang dikehendaki Marapu. Upacara sederhana ini biasanya dilakukan saat ingin mengolah ladang, menyebar bibit, panen, berburu, atau ketika hendak bepergian. Sementara ritual yang rumit biasanya untuk meramal masa depan dengan mengorbankan hewan yang lebih besar, seperti babi atau kerbau, dengan jumlah lebih dari satu ekor.

Di Kampung Dikita, tinggal 29 kepala keluarga, dengan jumlah penduduk 150-an jiwa dan separuhnya berusia di bawah 17 tahun. Rumah-rumah adat yang terbuat dari kayu dan bambu dengan atap ilalang yang menjulang dibangun berjajar dan dibuat mengelilingi sebuah pelataran suci (natara podu) yang menjadi pusat kegiatan upacara adat. Di sekitar natara dan rumah tersebar makam megalitik, makam batu. Warga Marapu memang membangun kubur batu tepat di depan rumah, agar roh kerabat yang meninggal bisa tetap berdekatan dan bisa mengawasi orang yang masih hidup.

Kubur-kubur batu yang sebagian besar sudah berusia tua, setua kampungnya, juga menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, seperti tempat menjemur padi atau tempat anak-anak bermain. Siang itu, di salah satu kubur batu yang terletak paling dekat dengan pintu gerbang masuk kampung (bina tama), tampak sekelompok anak sedang asyik bermain. Sebagian bermain bekel, sebagian hanya bercanda dan bercakap saja. Kegiatan khas anak-anak setelah mereka pulang sekolah.

Ya, hampir semua anak-anak Marapu memang bisa sekolah, terutama yang masih berusia sekolah dasar. Meski harus berjalan kaki dua atau tiga kilometer untuk mencapai sekolah masing-masing, tak menyurutkan semangat mereka. Di kampung adat Dikita, ada 29 anak sekolah SD, 13 di bangku SMP, dan 8 yang duduk di bangku SMU. Ada 4 orang yang tercatat sebagai mahasiswa di perguruan tinggi.

Hal yang sama juga terjadi di kampung adat Bondomaroto, yang terletak sekitar 4 kilometer dari pusat kota. Anak-anak di kampung  yang dihuni 32 kepala keluarga ini hampir semua terdaftar ke sekolah, dari tingkat PAUD hingga SMU. Meski menurut Rato Toda Lero, ada saja anak-anak yang malas sekolah.  “Kalau ada yang malas, saya bilang kepada mereka untuk rajin,” ujar Rato Toda, rato di kampung adat Bondomaroto.

Dengan bahasa Indonesia terbata-bata, Rato Toda bercerita, dia pernah marah besar kepada anaknya –bahkan sampai dia pukul, katanya-- gara-gara ketika SMP anak laki-lakinya itu hobi bolos sekolah sehingga datang surat peringatan dari sekolah. “Saya tidak ingin anak-anak ini seperti saya, yang dulu tidak pernah sekolah,” ujar Rato Toda, yang menghidupi keluarganya dengan bertani.

Loru Pida, ibu 6 anak dari Kampung Bondomaroto yang sudah ditinggal meninggal suaminya 3 tahun lalu, juga bekerja sekuat tenaga agar keenam anaknya bisa sekolah setinggi mungkin. Semampu yang dia bisa. “Kalau pagi saya ke ladang, kalau siang begini, saya menenun dan membuat anyaman. Anak pertama saya sudah kelas 3 SMA, sebentar lagi harus kuliah, tapi saya tidak punya uang untuk biaya kuliah,” ujar Loru Pida, yang tak mampu menutupi rasa sedih di wajahnya yang tirus. Saat ditemui, ia sedang menenun di serambi rumahnya ditemani anak bungsu dan anjing cokelat yang terlihat jinak.

Keinginan, semangat, dan harapan para orang tua agar anak-anak mereka bisa menuntut ilmu setinggi mungkin membuat siapa pun angkat topi. Karena, selain persoalan biaya yang harus dihadapi oleh sebagian orang  --hidup sebagai petani atau peladang di tanah Sumba yang kering hanya memungkinkan mereka panen sekali atau paling banyak dua kali dalam setahun-- persoalan dokumen kependudukan juga menjadi kendala lain.

Persoalan yang terakhir ini berhubungan erat dengan kepercayaan tradisional yang masih mereka pegang dengan erat. Warga yang masih berpikir sederhana ini, apalagi mereka yang tinggal di pelosok perkampungan, sering kali tidak merasa perlu mengurus dokumen administrasi kependudukan, seperti KTP, kartu keluarga, juga akta nikah. Sebagai kepercayaan lokal yang belum mendapat pengakuan dari negara, para Marapu kesulitan mendapatkan akta perkawinan, yang akhirnya juga berakibat pada kepemilikan dokumen kependudukan yang lain, termasuk akta kelahiran anak.
 
Adat Lebih Penting
Untuk mengetahui duduk perkaranya, kita bisa mengawalinya dari soal perkawinan. Seperti halnya masyarakat di Indonesia, warga Marapu juga memiliki tata cara yang khas dalam perkawinan mereka. Ketika menikah, calon pengantin laki-laki harus memberikan belis (maskawin) kepada calon mempelai wanitanya. Belis itu diartikan sebagai bentuk penghormatan laki-laki kepada wanita, dan besarannya tergantung dari status sosial seseorang, terutama pengantin wanitanya.

Biasanya, belis berupa hal-hal yang maskulin, seperti kerbau, kuda, parang, tombak, dan mamoli (perhiasan yang sering dipakai sebagai anting-anting, berbentuk rahim yang merupakan simbol kesuburan). Mamoli akan diberikan langsung kepada ibu pengantin wanita sebagai simbol pengganti anaknya yang dibawa pergi. Pihak pengantin wanita kemudian akan memberikan belis balasan  berupa babi dan kain tenun, sesuatu yang dipiara dan dikerjakan oleh tangan wanita.

“Jujur saja, bagi kami, dalam perkawinan itu asal ada belis, kain, mamoli, hewan yang dipotong untuk upacara adat dan pesta, sah sudah. Tidak merasa perlu ke kantor catatan sipil,” ujar Rato Hengu Kaka, pemimpin spiritual kampung adat Waigali, Wanokaka. Wanokaka ini terkenal dengan pasola, perang adat dalam bentuk dua kubu penunggang kuda yang saling melempar tombak ke arah lawan. Pasola yang bertepatan dengan musim tanam ini sudah menjadi agenda wisata kelas dunia.

Menurut Rato Hengu, warga Marapu memang lebih perhatian untuk urusan adat. Sebetulnya, bukan merasa tidak penting, tetapi mereka selama ini tidak merasa perlu karena memang merasa tidak membutuhkan. Bagaimanapun, secara adat mereka sudah sah.

Tidak adanya pencatatan sipil perkawinan tersebut juga disebabkan karena Marapu sebagai kepercayaan belum diakui negara. Padahal, Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 Pasal 2 menyatakan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.”

Karena itu, pasangan Marapu yang menikah jarang yang mengurus akta nikah. Setidaknya, di kampung adat yang femina datangi, yaitu di Kampung Tarung, kampung adat yang terletak di tengah Kota Waikabubak, hanya 4 pasangan yang memiliki akta nikah. Mereka bekerja sebagai PNS. Di Kampung Bondomaroto dan Kampung Dikita tidak ada yang memiliki akta nikah sama sekali.

Belakangan, dengan makin pahamnya warga Marapu untuk memiliki dokumen kependudukan, mereka sudah ada yang mulai mengurus. Biasanya, di dalam kampung ada salah satu warga yang mengorganisasi, seperti yang dilakukan Dorkas Dapaloka di Kampung Watukarere, yang terletak 25 kilometer dari pusat kota. Di kampung adat yang besar ini –karena mampu menampung 73 kepala keluarga-- kini hanya 5 pasangan yang belum memiliki akta nikah.              

Mama Dorkas, begitu wanita berumur 40-an ini dipanggil, dengan sukarela ikut membantu warga sekampungnya untuk mengurus dokumen administrasi kependudukan, mulai dari akta nikah, KK, KTP, hingga akta kelahiran anak. Untuk itu, ia harus sering bolak-balik ke kantor dinas kependudukan di Waikabubak.

Menurut  Mama Dorkas, mengurus surat-surat kependudukan sungguh tidak mudah. Biaya untuk sekali jalan ke Waikabubak bisa habis Rp50.000. Padahal, ia harus beberapa kali datang, karena ada saja dokumen yang diperlukan yang tidak lengkap. Menurutnya, ganti staf yang melayani, bisa saja berganti hal-hal yang harus ia lengkapi.           

“Kami, orang Marapu, menangis betul karena ingin anak-anak kami bisa sekolah,” ujar Mama Dorkas. Akta nikah  memang menjadi syarat untuk mendapatkan akta kelahiran anak. Sebetulnya, ada jalan lain yang bisa ditempuh, yaitu berdasarkan Undang-Undang Administrasi Kependudukan, yang  menyebutkan, anak yang orang tuanya tidak memiliki akta nikah tetap dapat memperoleh akta kelahiran. Namun, hanya nama ibu kandungnya  yang dicantumkan dalam akta kelahiran anak. Tapi, jalan ini tidak banyak yang mau mengambilnya. “Mama-mama di sini tidak mau kalau hanya nama mereka yang tercantum di akta kelahiran, karena anak mereka kan punya bapak,” jelas Mama Dorkas.

Menurut Hana Koedji Wadoe, Program Manager-START dari Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC), yang melakukan pendampingan warga Marapu untuk mendapatkan dokumen administrasi kependudukan, ada implikasi lain ketika hanya nama ibu yang tercantum dalam akta kelahiran, yaitu dalam hal pembagian warisan. Selain itu, sebagian masyarakat juga memandang buruk akta kelahiran yang hanya mencantumkan nama ibu kandung saja.

“Selain soal sekolah, anak-anak yang tidak memiliki akta kelahiran juga berpotensi tidak mendapatkan layanan kesehatan, seperti asuransi BPJS, trafficking untuk tenaga kerja di bawah umur, pernikahan dini, eksploitasi seksual, hingga syarat untuk kelak mendapatkan KTP,” ujarnya.

Jadi, bagaimana cara anak-anak ini sekolah bila tanpa akta kelahiran? Untuk sekolah setingkat SD biasanya masuk sekolah pertama kali tidak diminta akta. Tapi, guru-guru biasanya meminta orang tua untuk mengurusnya,” tutur Mama Dorkas. Cara termudah yang ditempuh adalah anak-anak ini mengadopsi agama yang sudah diakui pemerintah, yaitu yang ada di Sumba adalah Kristen, Katolik, dan Islam. Karena Kristen dan Katolik adalah agama mayoritas, maka kebanyakan mereka memilih untuk memeluk agama tersebut agar bisa sekolah.
 
Perlu Lembaga Resmi
Yuliana Leda Tara masih ingat betul apa yang pernah ia alami semasa sekolah dulu. “Saya pernah diusir dari sekolah karena mengaku Marapu,” ujar ibu satu anak dari Tarung, kampung adat yang terletak di tengah Kota Waikabubak. Karena ingin sekolah, maka ia pun memilih menjadi Kristen dan mengambil nama Kristen, Yuliana, di depan nama aslinya, Leda Tara. “Tapi, setelah lulus sekolah, saya kembali ke agama Marapu,” ujar Yuliana, yang pernah menikah dengan pria Prancis ini.

Hingga kini, apa yang dialami Yuliana beberapa puluh tahun lalu juga masih terjadi. Tentu tidak sampai diusir dari sekolah seperti yang dialami Yuliana, melainkan anak-anak Marapu memang harus memilih agama Kristen, atau setidaknya memakai nama Kristen di depan nama mereka, agar bisa melanjutkan sekolah.

Soal kepercayaan, warga Marapu adalah orang yang sangat toleran. Adat juga tidak mengucilkan warganya yang berpindah kepercayaan, dengan memeluk agama lain. Mereka tidak diusir dari kampung adat dan pergaulan. Satu-satunya hal yang berbeda, yang tidak lagi menganut Marapu tidak bisa mengambil bagian penting dalam upacara adat.

Demi anak-anak mereka bisa sekolah, sebagian besar orang tua Marapu merelakan anak-anak mereka memakai nama Kristen di depan namanya. Bahkan, agar bisa melanjutkan  sekolah yang lebih tinggi, atau kuliah di luar Pulau Sumba, sebagian anak-anak itu meminta diadopsi oleh keluarga Kristen agar bisa mendapatkan akta kelahiran yang selalu menjadi persyaratan masuk sekolah.

Meski  sangat toleran, tetap ada kegelisahan yang bergejolak di dada para tetua Marapu. “Dulu, waktu zaman saya, masuk sekolah kan tidak harus pakai akta. Sekarang, dengan aturan baru yang harus pakai akta, saya lihat Marapu lama-lama bisa hilang,” ujar Rato Dango Duka, dari Kampung Waegali, Wanokaka, dengan nada berapi-api. ‘Hilang’ yang dimaksud Rato Dango adalah fakta bahwa memakai nama Kristen membuat secara data statistik Marapu hanya 7% dari jumlah penduduk, padahal angka sesungguhnya bisa lebih dari itu.

Keresahan juga hinggap di hati Rato Kedu Kalego dari Kampung Malisu, yang terletak di Kecamatan Laboya Barat. Duduk di kubur batu di natara podu, lengkap dengan baju adat, Rato Kedu mengatakan, ”Anak saya dibaptis karena ingin melanjutkan sekolah. Jadi, saya tidak lagi bisa mewariskan posisi rato kepada anak saya,” ujarnya.

Menurut rato bertubuh kurus ini, ketika dibaptis, seorang Marapu memang sudah memilih jalur jalan yang berbeda, sehingga tidak mungkin lagi menjadi pemimpin spiritual. Karena itu, ia sekarang harus memikirkan dan mulai memilih orang lain sebagai penggantinya sebagai rato. Ia juga berharap, anak-anak Marapu yang memakai nama Kristen sebaiknya tidak memilih untuk dibaptis.

Sebetulnya, Pemkab Sumba Barat sudah melakukan berbagai terobosan untuk mencari solusi bagi penganut Marapu. “Tidak ada perbedaan dalam pelayanan untuk Marapu maupun mereka yang sudah beragama yang diakui negara,” kata Bupati Sumba Barat, Agustinus Niga Dapawole. Bupati yang dulunya juga penganut Marapu ini mengatakan, tidak dipungkiri masih ada pemikiran dari penganut Marapu yang tidak merasa perlu mengurus dokumen kependudukan. Soal KTP misalnya, “Masih ada yang berpikir, memang apa gunanya KTP,” imbuhnya.  

Pemerintah, melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), juga melakukan jemput bola, yaitu mendatangi  kampung-kampung untuk memastikan warga Marapu mendapatkan dokumen administrasi  kependudukan. “Sekarang masih dalam tahap pembuatan kartu keluarga, yang menjadi pokok dari seluruh dokumen administrasi kependudukan yang lain karena mengandung nomor induk kependudukan,” ujar Kepala Disdukcapil, Yermia Ndapa Doda.

Satu hal yang lebih penting adalah bagaimana membuat Marapu menjadi kepercayaan yang diakui negara. Hal inilah yang masih menjadi kesulitan bersama. “Sejak saya terpilih menjadi bupati, saya sudah mengumpulkan para rato yang ada di Sumba Barat untuk membuat organisasi, agar bisa disahkan sebagai kepercayaan. Tapi, hingga kini belum ada kabar dari mereka,” ujar Bupati.

Maklum, ketika berbicara adat Marapu, dalam  tiap keputusan memang harus ada darah yang ditumpahkan, artinya harus memotong hewan korban. Sehingga, wajar kalau bagi mereka, memilih siapa yang menjadi ketua adat bukan hal sederhana, karena segala hal harus dilihat dari kehendak Marapu yang disampaikan lewat hati hewan korban.

“Tapi, kami sudah siapkan AD/ART organisasi Marapu, jika mereka siap, kami bisa segera mengurus bersama-sama,” ujar Yermia Ndapa Doda. Karena, sesuai harapan warga Marapu, dengan diakui sebagai kepercayaan, mereka memiliki lembaga yang bisa melindungi dan memenuhi hak-hak sipil warga Marapu. (f)

Baca juga:
Pentingnya Akta Kelahiran Sebagai Bukti Pengakuan Orang Tua Terhadap Anak 
Pro dan Kontra Pernikahan Remaja, Apa Hak Anak?
Carlos Ferrandiz Mengabdi untuk Sumbawa
 


Topic

#hakanak

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?