Trending Topic
Alissa Wahid: Membesarkan Generasi Toleran, Orang Tua Harus Pegang Tongkat Komando!

14 May 2018


Foto: Dok. Femina
 

Awal tahun 2018, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, Putri Presiden Republik Indonesia ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membagikan pendidikan toleransi yang diterimanya sebagai anak seorang ulama. Berikut penuturun Direktur Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia itu kepada femina.


Sekarang ini konflik horizontal yang dipicu oleh perbedaan makin meruncing. Tahun lalu, bersama International NGO Forum on Indonesia Development (INFID), kami melakukan studi di 6 kota tentang sikap dan persepsi anak muda terhadap radikalisme, intoleransi, terorisme, dan keindonesiaan.

Rupanya, makin muda usia, persepsi negatif terhadap orang yang berbeda makin mengkristal sehingga melahirkan prasangka. Melihat banyaknya ujaran kebencian karena perbedaan ini sempat membuat putra sulung saya, Aza (17), mengungkapkan kesedihan dan kegelisahannya di media sosial.

Para pendiri bangsa ini jangan-jangan menangis di alam kubur karena orang saling membenci. Untuk apa memerdekakan Indonesia kalau sekarang saling membenci,” ungkap Aza.

Sangat menyedihkan memang jika orang hanya memakai satu identitas saja sebagai ukuran, yaitu hanya dari agamanya. Kami menyebutnya eksklusivisme beragama, yaitu menganggap bahwa di luar agamanya bukan teman atau saudara.

Padahal, dalam Islam banyak ayat yang menyebutkan bahwa Allah menciptakan masyarakat berbeda-beda, berkelompok, dan bersuku-suku supaya kita saling mengenal. Bahwa kita harus berlaku adil, bahkan pada kelompok atau orang yang kita benci. Sebab, mereka juga  ciptaan Allah.

Sayang, banyak yang didoktrin  oleh pandangan sempit eksklusivisme beragama. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi para Gusdurian (baca boks: Tentang Alissa Wahid) untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi prasangka dan menghidupkan kembali semangat persaudaraan dan kebangsaan.

Saya dan adik-adik, sebagai anak ulama sering mendapat stereotip ‘anak Gus Dur’, yang mungkin tidak berlaku untuk anak ulama lainnya. Bahwa sebagai anak Gus Dur, kami dinilai lebih dekat dengan orang yang tidak seagama. Padahal, jika mau berhitung benar-benar, dengan jumlah warga NU yang 80 juta jiwa, tentu saja stereotip ini tidak valid.

Sejak kecil kami tidak diajar dan belajar untuk memandang orang dari apakah dia minoritas, mayoritas, atau berbeda kelompok. Teman atau bukan teman itu ditentukan dari keselarasan kita dengan seseorang, bukan agamanya. Sangat sulit bagi kami untuk bisa berkata, “Dia temanku. Itu musuhku.” Perilaku buruknyalah yang kami tolak, bukan sosok orang atau pribadinya.

Kami boleh saja tidak setuju, tapi tetap menghargai orang dan tetap bersaudara. Sebab, semua orang pernah berbuat salah, punya kelemahan, sekaligus keunggulan. Ini yang menonjol dari Gus Dur. Beliau tidak pernah mengajari kami untuk membenci orang lain.

Proses globalisasi ikut menjadi salah satu faktor berkembangnya paham ekstrem. Melalui pintu globalisasi dan teknologi internet yang tanpa batas, pertukaran gagasan menjadi sangat cair. Apa yang terjadi atau menjadi tren di belahan dunia lain juga membawa pengaruh pada kita yang ada di Indonesia.

Sebaran diaspora warga negara Indonesia pun tersebar di seluruh dunia. Kondisi ini mendorong adanya reaksi balik berupa paham dan gerakan untuk menjaga kemurnian karena merasa terancam.

Mereka terancam karena tidak siap dengan perubahan, kesetaraan, dan perbedaan. Tentang hal ini, Gus Dur pernah bicara, “Yang berbeda jangan disama-samakan. Biarkan berbeda karena itu kekayaan kita. Sebaliknya, yang sama jangan dibeda-bedakan. Sudah sama-sama orang Indonesia, kenapa harus fokus pada perbedaan?”

Pada kenyataannya, memang lebih mudah membenci daripada berdamai. Sebab, pada saat membenci, sebenarnya kita sedang merasa superior. Harga diri kita sebagai manusia naik, karena kita menganggap orang lain lebih rendah dari kita. Sementara, untuk berdamai orang perlu berjiwa besar, kita perlu saling memberi. Ini yang lebih berat.
 

"Perdamaian tanpa keadilan hanyalah ilusi. Di dalam perdamaian, tidak bisa salah satu pihak mengatakan saya yang menang, karena saya mayoritas. Harus ada keadilan. Kesadaran ini tidak bisa datang secara otomatis, tapi harus diajarkan dan dipraktikkan mulai dari dalam  keluarga," Gus Dur


Gus Dur adalah orang yang sangat berpusat pada prinsip hidup yang diyakininya. Tiga di antaranya yang paling mendasar yaitu Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, yaitu Islam yang membawa rahmat untuk alam semesta. Tidak hanya kepada sesama umat muslim, tapi seluruh makhluk hidup, termasuk mereka yang berbeda keyakinan dengan kita. Karena segala sesuatu harus berporos pada misi Islam sebagai rahmat alam semesta, maka prinsip kemanusiaan dan keadilan harus dijunjung tinggi

Nilai-nilai prinsip di atas juga yang disepakati bersama dan diajarkan oleh kedua orang tua kepada kami. Gus Dur bukan tipe orang tua yang hobi memberikan wejangan. Namun, kami tidak pernah kebingungan bagaimana harus menerapkan nilai-nilai itu, karena dalam keseharian kami melihatnya dalam ucapan, sikap, dan tindakan orang tua yang selaras

Teladan ini bagi anak sangat penting. Terutama ketika lingkungan di luar memiliki prinsip, cara pandang, dan sikap yang berbeda. Salah satu pekerjaan rumah terbesar orang tua sekarang adalah memilih sekolah untuk anaknya. Kami memilih menyekolahkan anak-anak di sekolah inklusif. Di sini mereka juga bisa mengenal dan berteman dengan anak-anak yang berkebutuhan khusus. Dalam keseharian ini mereka diajarkan bahwa kita tidak berbeda dari orang lain

Namun, orang tua tidak bisa sepenuhnya menyerahkan seluruh tugas pengajaran ini kepada sekolah. Sebagai psikolog keluarga,  tiap mengisi seminar atau workshop parenting, saya selalu menekankan bahwa jenderal pemegang tongkat komando adalah orang tua, bukan guru dan sekolah.

Guru mendampingi anak selama dia menjadi guru, ketika naik kelas, guru itu akan mengurusi anak lain. Namun, yang punya kepentingan jangka panjang adalah orang tua, dan tidak hanya untuk masa depan anak, tapi juga cucu-cucunya.

Sebagai orang tua, kita perlu sepakat, nilai apa yang ingin kita tanamkan kepada anak-anak. Kami memilih nilai keadilan dan kemanusiaan yang terus diperkuat kepada anak-anak sejak dari rumah. Rumah didesain untuk mencerminkan nilai-nilai itu. Bagaimana mereka bersosialisasi dan memperlakukan teman-temannya, diukur dari kedua nilai itu. (f)


Baca Juga:
Sikapi Insiden Bom Surabaya dengan Bijak, Ini 5 Cara Ajarkan Toleransi Pada Anak

Wanita & Anak Masih Menjadi Alat Aksi Radikal, Apa Yang Harus Kita Waspadai?
Tiga Bom Meledak di Kotanya Risma Pulang ke Surabaya



Topic

#intoleransi, #radikalisme

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?