Trending Topic
Jalan Panjang Atlet Menuju Kesuksesan

13 Oct 2018


Foto: Shutterstock

10.18 detik, Lalu Muhammad Zohri pun membuat geger dunia atletik dan Indonesia setelah capaian waktu itu membuatnya menjadi pelari tercepat di nomor 100 meter, nomor yang paling bergengsi di 2018 IAAF World U20 Championship di Finlandia, 11 Juli lalu. Rasa bangga meluap, apalagi putra NTB itu berlari di jalur paling luar -jalur yang tidak diunggulkan-namun berhasil menjadi pemenang.
 
Sayangnya, kemenangan itu 'dinodai' oleh pihak-pihak yang memanfaatkannya untuk kepentingan masing-masing. Dari soal tiadanya offical team dan bendera merah putih di garis finish yang menimbulkan kesan Zohri terlihat kesepian dalam kemenangan, hingga terkuak kondisi kemiskinan keluarga Zohri lewat postingan foto rumahnya di NTB yang viral.
 
Cerita tentang atlet dan kemiskinan bukan monopoli Zohri. Atlet 19 tahun ini pun sebetulnya tidak terdengar meratapi kondisinya karena tentu perlu kerja keras dan jalan panjang untuk kesuksesan.
 
Di berbagai belahan dunia, juga banyak cerita inspiratif bagaimana olahraga menjadi jalan keluar dari jeratan kemiskinan. Bagaimana pelari (kini sudah pensiun) Usain Bolt (31), pemegang rekor dunia 100 meter putra dengan catatan waktu 9.58 detik, kemiskinan membuatnya harus berlari cepat sejak kecil karena jarak sekolahnya yang sangat jauh dari rumah, hingga kisah pemain bola bergaji milyaran rupiah per minggu seperti Cristiano Ronaldo yang memupuk bakat dari gang-gang sempit perkampungan kumuh di Madeira, Portugal.
 
Kemenangan Zohri pun memberinya bonus bernilai ratusan juta rupiah dari berbagai pihak, renovasi rumah dan kesempatan menjadi TNI tanpa tes. Di luar guyuran bonus -bila mampu berprestasi- ada hadiah lain yang menjadi dambaan para atlet di tanah air, yaitu diangkat menjadi Aparat Sipil Negara (ASN). Awal tahun ini saja, ada 37 atlet, di antaranya adalah pebulu tangkis Tontowi Ahmad, Liliyana Natsir, Mohammad Ahsan, Hendra Setiawan, Tontowi Ahmad, Liliyana Natsir, Greysia Polii, Anthony Ginting, Kevin Sanjaya, dan Marcus Ferinaldi diangkat menjadi ASN.
 
Hingga kini, menjadi ASN masih jadi dambaan bagi sebagian masyarakat Indonesia. Sehingga, tak heran kalau hal ini pun dijadikan gula-gula untuk menarik minat masyarakat untuk menjadi atlet. “Kami berharap dengan adanya motivasi baru ini para atlet tidak memikirkan lagi hal-hal seperti apa pekerjaan mereka di masa depan. Adanya formasi khusus ASN ini, kepastian masa depan mereka sudah ada,” ujar Asman Afnur, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, seperti dikutip dari situs resmi Sekretariat Kabinet Republik Indonesia.
 
Kemudahan untuk jadi ASN mungkin bisa jadi pendorong orang tua untuk mengizinkan anak-anak mereka menjadi atlet. Tapi, bagi seorang anak, justru tokoh heroik atlet bisa jadi daya tarik yang lebih jelas.
 
“Prestasi dan sukses dari pemain seperti Kevin Sanjaya dan Marcus Ferinaldi yang saat ini menjadi pemain nomor satu dunia membuat banyak anak ingin menjadi atlet bulu tangkis. Saya bisa melihatnya dalam seleksi untuk mendapatkan beasiswa klub. Kalau dulu atlet yang datang ke Kudus untuk audisi, kini kami yang melakukan road show karena banyak calon atlet dari berbagai daerah,” ujar Yuni Kartika, mantan atlet bulu tangkis nasional yang kini aktif dalam PB Djarum, klub bulu tangkis yang bermarkas di Kudus, Jawa Tengah.
 
Hal serupa disampaikan Gading Safitri, yang bersama suaminya, atlet bulu tangkis Sonny Dwi Kuncoro, mengelola gelanggang olahraga, Sonny Dwi Kuncoro Badminton Center, di Surabaya. Dari pengamatannya, makin banyak orang tua yang mengirimkan anak untuk berlatih di GOR dengan harapan anak mereka bisa menjadi atlet.
 
Gading yang pernah mencoba merintis karier sebagai pebulu tangkis, meski tak berlanjut, termasuk orang tua yang ingin anaknya menjadi pebulu tangkis berprestasi. “Dua anak saya, Divya Amanra Kuncoro (7) dan Naraya Aisha Kuncoro (4)), alhamdulillah suka bulu tangkis,” katanya senang.
 
“Saya rasa, saat ini orang tua tak lagi menahan anaknya untuk tidak menjadi atlet dengan alasan atlet bukan profesi mapan,” ujar Triyaningsih, atlet lari jarak jauh yang dijuluki ‘ratu maraton’. Sekarang sudah berkembang pemikiran baru. Orang tua lebih terbuka dan punya kebanggaan tersendiri terhadap olahraga nasional. Bagaimanapun, menjadi juara adalah sebuah momen yang paling membanggakan.
 
“Banyak orang tua justru ikut mengarahkan anak-anaknya terjun ke olahraga. Selain alasan kesehatan, atlet bisa menjadi profesi masa depan yang membanggakan, karena pemerintah berperan banyak. Jika anak saya kelak ingin menjadi atlet, saya juga akan mendukungnya,” tambah Triyaningsih.
 
Daya tarik lain adalah perolehan materi. Secara garis besar ada lima sumber pendapatan bagi atlet Indonesia, yaitu kontrak individu, hadiah kejuaraan, bonus sponsor, bonus dari klub, dan bonus dari pemerintah.
 
Bukan rahasia lagi kalau pemerintah kerap melimpahi atlet berprestasi internasional dengan bonus berupa uang. Sebagai contoh, saat memenangkan medali emas Olimpiade 2016, pemerintah mengganjar bonus Rp5 miliar per keping medali emas, medali perak Rp2 miliar, dan Rp1 miliar untuk medali perunggu. Sementara, untuk Asian Games, pemerintah menjanjikan bonus sekitar Rp1,4 miliar lebih untuk peraih medali emas. Menggiurkan, ya.
 
Bagaimana dengan atlet yang belum juara? “Meski belum meraih medali tingkat nasional dan internasional, jika sudah dikontrak klub besar dan mendapat sponsor, atlet sudah mendapat penghasilan,” ujar Yuni.
 
Bonus dan tawaran menjadi ASN juga diberikan kepada atlet yang membela daerahnya di ajang PON. Di lingkungan Pemprov DKI Jakarta misalnya, Dedeh Erawati, atlet lari gawang yang membela DKI, kini menjadi ASN di Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) DKI Jakarta Bidang Prestasi. Wanita yang kini sedang mempersiapkan diri untuk berlaga dalam World Master Athletics Championship bulan September nanti di Malaga, Spanyol, ini juga meraih kesempatan melanjutkan kuliah dengan beasiswa.
 
Menurut Dedeh, banyak hal positif yang bisa ia ambil dengan menjadi atlet. “Saya bisa hidup sehat, sportif, punya pola pikir positif, bisa keliling dunia, merasakan bangganya ketika mengibarkan merah putih, bahkan kerja pun jadi lebih mudah. Bagi atlet, bekerja menjadi pegawai negeri sipil (PNS) akan dipermudah. Apresiasi pemerintah untuk tiap medali yang didapatkan di ajang multi event, biasanya akan diberikan bonus, atau terkadang kesempatan bekerja,” ujar Dedeh, yang banyak mengisi seminar tentang olahraga atau hal-hal yang berkaitan dengan motivasi. (f)

Baca Juga:

5 Pelajaran Hidup di Balik Emas Pertama Syuci Indriani di Asian Para Games 2018
5 Keunikan Saat Menonton Asian Para Games
Ikut Menciptakan Lingkungan yang Ramah Bagi Penyandang Disabilitas di Asian Para Games 2018
 
 


Topic

#atlet

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?