Sex & Relationship
Generasi Millennial Cenderung Menunda Pernikahan

24 Nov 2017


Foto: Fotosearch


Agustus lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan Indeks Kebahagiaan Indonesia 2017. Hasil penelitian terhadap 72.317 responden di 487 kabupaten/kota yang tersebar di 34 provinsi menunjukkan beberapa hasil yang cukup mengejutkan. Salah satunya dan sempat ramai dibicarakan adalah soal tingkat kebahagiaan para single (mereka yang belum/tidak menikah) yang menurut data lebih tinggi dari mereka yang telah menikah.

Hasil penelitian ini pun mengundang perdebatan. Pasalnya, mereka yang setuju dengan fakta tersebut menganggap kebebasan dan kehidupan antidrama sebagai bumbu kebahagiaan. Sementara mereka yang tidak setuju menilai survei tersebut tak lantas bisa menjelaskan pernikahan tidak membuat seseorang bahagia.

Kecenderungan untuk menunda pernikahan terutama terjadi pada generasi millenial? Penelitian PEW Research yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa generasi millenial di negeri tersebut tidak lagi menganggap pernikahan sebagai hal yang penting. Disebutkan 25 persen generasi milenial usia 25-34 tahun menyatakan tidak akan menikah. Angka tersebut terus naik selama empat tahun terakhir dan tertinggi selama 50 tahun terakhir. Salah satu alasannya adalah ketidaksiapan finansial dan komitmen, serta belum menemukan orang yang tepat.

Mengenai meredupnya pamor pernikahan ini juga diamati oleh Bella DePaulo, psikolog dari University of California sekaligus penulis buku Living Single yang banyak melakukan penelitain tentang para lajang. Menurutnya, ada 18 studi yang menunjukkan wanita lebih cepat kecewa dengan perkawinannya ketimbang para pria. Di sisi lain, mereka menjadi lebih bahagia saat melajang. “Mereka justru punya lebih banyak waktu untuk bergaul dengan saudara, orangtua, tetangga, dan kawan-kawannya ketimbang saat mereka masih menikah dulu,” kata Bella.

Barangkali hal inilah yang melatarbelakangi pemikiran Yayang (28), seorang wartawati. “Lajang bukanlah sebuah bencana. Ada konsekuensi dari pernikahan, dan ada konsekuensi dari melajang. Dan, keduanya, saya siap hadapi,” katanya.  

Yayang memahami bahwa pernikahan adalah salah satu bentuk kompromistis paling tinggi yang dilakukan dua manusia. Karena itu, ia merasa ia tidak perlu cepat-cepat mencari jodoh karena kata ‘cocok’  adalah sesuatu yang tidak bisa dipaksakan. “Ya, meskipun bisa dipelajari sesuai perjalanan waktu,” katanya.

Dan selama belum ada pria yang cocok, Yayang memilih untuk menikmati kebebasannya. Ia kerap pergi ke luar negeri, untuk pekerjaan maupun sekadar bersenang-senang, atau hang out bersama kawan-kawan satu geng di masa kuliahnya dulu. “Banyak hal yang bisa saya lakukan karena menjadi lajang, dan ini bukan pelarian. Karena sesungguhnya saya senang dengan keadaan saya sekarang,” katanya.

Menurut dr. Laeli Andita, Sp.KJ, M.Kes., dokter ahli jiwa di RSUD Cibinong dan RSU Hasanah Graha Afiah, pada kasus tidak atau belum menikah pada wanita usia 20-an tahun bukanlah masalah apalagi jika hal itu terkait soal pilihan dan kesiapan hidup –termasuk soal kematangan emosional dan finansial.

“Namun, ada sekitar 2% kasus yang masuk ke ruang perawatan saya terkait trauma psikologis seperti korban perceraian, orangtua yang selalu bertengkar, melihat ibu membesarkan anak-anaknya sendirian, atau trauma psikoseksual yaitu mengalami kekerasan seksual di usia belia. Hal inilah yang mencetuskan sikap tidak tertarik atau benci pada pria” kata dr. Laeli.

Menjadi lajang memang bukan bencana. Dalam bukunya, 69 Things To Be Grateful About Being Single, penulis Febi Indirani mengungkapkan banyak hal yang bisa dilakukan para lajang, termasuk diantaranya bebas melanjutkan sekolah atau kursus ke luar negeri yang akan membuka wawasan, baik pertemanan maupun pengalaman baru. Hal yang tentunya sangat sulit dilakukan jika terikat dalam pernikahan.

Hal lainnya adalah para lajang umumnya lebih sehat secara psikis karena potensi stres mereka lebih rendah ketimbang wanita yang menikah. Hal yang konon membuat wanita menjadi tampak lebih awet muda karena tidak terlalu memusingkan banyak hal.

Dalam buku ini juga diungkapkan, bahwa secara emosional menjadi lajang lebih bebas untuk mengeluarkan ekspresi termasuk menangis sepuasnya. Dan soal menangis ini ternyata sehat karena mampu mengeluarkan racun dari dalam tubuh. Lebih kerennya lagi, menjadi lajang meningkatkan peluang untuk memiliki tubuh yang lebih langsing karena umumnya wanita menikah kurang memerhatikan berat badan dan penampilan tubuhnya. Sekaligus, punya otot lengan yang kuat, baik bisep dan trisep, karena terbiasa melakukan semua hal sendiri, termasuk mengangkat belanjaan di supermarket.

Namun memang, menjadi lajang adalah pilihan, bukan sesuatu aib yang selama ini kerap distigmakan kepada para wanita yang belum menikah. Dan jika itu membuat Anda merasa lebih bahagia dan nyaman, tentu melajang bukanlah masalah.(f)

Konsultan: dr. Laeli Andita, Sp.KJ, M.Kes., dokter ahli jiwa di RSUD Cibinong dan RSU Hasanah Graha Afiah

Baca juga:
Benarkah Lajang Lebih Bahagia?
Rindu Masa Lajang Setelah Menikah
Tak Perlu Malu Melajang, Wanita Berhak Menentukan Hidupnya Sendiri
5 Tipe Wanita Single


Topic

#lajang, #single, #status

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?