Profile
Sindy Asta, Pendiri Komunitas A Day To Walk, Mengajak Warga Malang Menelusuri Sejarah Kota

8 Apr 2017


Foto: Dok. Pribadi
 

Jika banyak orang bermimpi untuk menghabiskan liburan dengan berkunjung ke kota lain atau luar negeri, Sindy Asta (22) justru lebih tertarik menyusuri jalanan kota kelahirannya, Malang. Pertemuan tak terduganya dengan beberapa bangunan bergaya kolonial yang menyimpan nilai sejarah telah mendorongnya
untuk memperkenalkan cara baru menikmati keindahan Kota Malang lewat komunitas A Day to Walk. Tidak sekadar wisata sambil jalan kaki tapi sekaligus
berkontribusi untuk menjaga kelestarian bangunan-bangunan Malang tempo dulu yang kaya cerita dan sejarah.

Cinta Bangunan Tua
Tahun 2013, ketika tengah berjalan kaki di sekitar kawasan Alun-Alun Tugu, Kayutangan, hingga Idjen Boulevard, pemilik nama lengkap Sindy Ridho Asta
Sumartono ini, merasa ruas-ruas jalan di Kota Malang yang ia lalui, sangat nyaman untuk pejalan kaki. Ia juga menemukan banyak bangunan kuno, monumen, dan hal-hal yang membuatnya penasaran. “Saat itu juga saya berpikir, ini harusnya bisa menjadi potensi wisata yang menarik,” cerita Sindy.

Dengan logat Jawa yang kental, ia bercerita tentang kawasan alun-alun dan Kayutangan yang terletak di pusat kota Malang, namun jarang dilirik wisatawan. Di alun-alun misalnya, ada bangunan balaikota yang berarsitektur kolonial. Lalu, di Kayutangan, yang dulu adalah jalur perdagangan zaman Belanda, masih berdiri dengan megah bangunan kembar dengan menara pengintai di atasnya.

“Keterbatasan informasi yang membuat kita kerap melewatkan begitu saja bangunan bangunan tersebut tanpa kita tahu nilai sejarahnya,” cerita Sindy Asta yang memang penggemar barang antik karena nilai historisnya.

Berangkat dari pengalaman tersebut dan alasan tidak ingin merasa asing di kotanya sendiri, ia pun mulai bergerilya mencari informasi seputar bangunan kuno di Malang. Awalnya, wanita kelahiran 20 September 1994 ini mencari informasi tersebut lewat Google dan media sosial. Namun, ia kesulitan karena informasi yang ia cari tidak banyak. “Saya jadi makin penasaran. Saya rasa harus ada seseorang atau komunitas yang memulai langkah kecil ini untuk masa depan kotanya sendiri,” katanya, serius.

Awal memulai, wanita yang aktif menjadi komika sejak tahun 2012 ini, mengajak temannya sesama anggota komunitas stand up komedi Kota Malang, Farida Firdani. Berdua, mereka menyusuri kembali jalanan seputaran Kayutangan dan alun-alun kota dan menemukan beberapa spot menarik lainnya. “Kami tidak sekedar jalan dan melihat bangunan saja. Dalam perjalanan itu kami juga berinteraksi dengan warga setempat, bertanya tentang bangunan yang ada untuk menggali informasi,” cerita wanita yang menggabungkan informasi dari warga dengan hasil temuannya di internet.

Dari rajin berselancar pula, ia akhirnya bertemu dengan beberapa komunitas yang samasama memiliki kepedulian pada bangunan tua di Facebook, salah satunya Malang Zaman Lawas. “Dari mereka saya mendapatkan banyak informasi termasuk foto-foto Malang tempo dulu dan sejarahnya. Namun, kebanyakan anggota komunitas ini memang orang-orang yang sudah cukup berumur,” katanya.

Kenyataan ini semakin memicu wanita yang kerap tampil dalam acara stand up komedi di beberapa kota di Jawa Timur seperti Malang Sidoarjo, Kediri, dan Jombang ini, untuk mengajak anak muda Malang jalan kaki menyusuri kota Malang. Mengapa berjalan kaki? Karena selain sederhana, berjalan kaki diakui Sindy Asta membuat kita lebih dekat dengan objek-objek kota dan berinteraksi dengan orang-orang yang kita temui di jalan.

Peserta A Day to Walk pertamanya adalah teman-teman kuliahnya. “Kami menyusuri jalanan dan berkunjung ke delapan hingga sepuluh monumen. Sebelum jalan, saya sudah survei dulu dan mencari informasi dari Google,” ungkap lulusan D2 Bisnis Administrasi LP3i BC, Malang. Sukses dan mendapatkan sambutan positif, ia mulai intens membuat agenda A Day to Walk.

Salah satunya keliling bioskop-bioskop kuno. “Zaman dulu, Malang punya banyak bangunan bioskop. Sekarang ini hanya tersisa kurang dari lima saja,” cerita Asta. Program A Day to Walk, ia perkenalkan lewat media sosial, seperti Facebook dan Instagram @ADaytoWalk. Kegiatan A Day to Walk yang utama adalah menyusuri seluk beluk kota Malang yang bernilai historis (sejarah kontemporer/post colonial), diikuti dengan diskusi dengan para pelaku sejarah dan budayawan.

“Minimal sebulan dua kali, kami menelusuri perkampungan/pertokoan lawas untuk mencari tahu sejarahnya. Tidak jarang juga beberapa mahasiswa arsitektur dan planalogi mengajak kami berkolaborasi untuk kegiatan atau tugas kuliah mereka,” jelas anak pertama dari tiga bersaudara pasangan (alm) Hari Sumartono
dan (alm) Surya Dwi Astuti ini.

Wisata Alternatif
Sindy Asta mengaku siapa saja bisa ikut serta dan tidak terikat secara khusus di komunitas ini. “Setiap kali trip, anggotanya berubah-ubah. Kami tidak mengikat orang untuk selalu ikut karena untuk mengenali kota dan menyusuri sejarahnya diperlukan kesadaran masing masing,” ungkap penggemar buku-buku karya Paulo Coelho, Jostein Gaarder, Jonas Jonasson, dan Emha Ainun Nadjib.

Dari pengalaman bersama A Day to Walk, ia bertemu dengan orang-orang yang masih peduli dengan sejarah kota Malang, berbincang dengan para pelaku sejarah, dan budayawan. “Selain bisa dekat dengan masyarakat, kami juga berkesempatan untuk masuk ke bangunan-bangunan kuno yang tidak semua orang bisa, seperti Ex-Fotax (Rumah Namsin) dan rooftop Toko Riang di Kayutangan,” kata wanita yang kini menjalankan A Day to Walk bersama temannya,
Gaharu Jabal. Keduanya meramu kegiatan, membuat dokumentasi, hingga bekerja sama dengan komunitas kreatif di Kota Malang.

Meski antusiasme orang untuk ikut sangat besar, terbukti dari jumlah peserta A Day to Walk yang selalu meningkat setiap kali digelar, tapi tidak sedikit pula orang yang mempertanyakan kegiatan mereka. “Ada juga yang komentar, ‘buat apa sih, jalan kaki keliling kota, panas, capek’,” cerita wanita yang sehari-hari
bekerja sebagai Document Control ISO & Quality Assurance Staff di sebuah perusahaan susu di Malang.

Dulu, Thomas Karsten, seorang arsitek dan perencana wilayah pemukiman dari Hindia Belanda, menata kota ini dengan sangat indah. Ruas-ruas jalan, pemukiman, hingga taman kota dibuat dengan perhitungan yang jelas. Banyaknya bioskop pada era tahun 80-an seakan menandakan kota Malang tidak kekurangan tempat hiburan. Bangunan-bangunan ikonik kota seperti Balai Kota, bangunan Kembar, toko-toko kuno, hingga kawasan terindah se-Hindia Belanda pada masa itu: Idjen Boulevard.

“Perlahan tapi pasti kami mulai menjadi media informasi alternatif bagi anak muda Kota Malang yang belum tahu tentang sejarah kota dan bangunan kunonya. Kegiatan ini juga menggerakkan roda ekonomi warga, salah satunya tempat makan yang buka sejak tahun 1940-an, Kafetaria Riang, yang kini semakin
ramai dikunjungi anak muda,” katanya.

Dari hasil penyelusurannya selama ini, ia mulai mendokumentasikan temuannya dalam bentuk foto dan tulisan. Ia juga membuat booklet yang dibagikan gratis kepada anggota komunitas dan meletakkannya di café-café dan perpustakaan di kotanya. Dengan cara ini ia berharap masyarakat makin kenal dan akhirnya lebih peduli, sehingga bangunan-bangunan tua itu tidak dijual bahkan dirubuhkan.

Belakangan ini ia sedang menggarap proyek di kawasan Kayutangan berkolaborasi dengan komunitas lainnya di Kota Malang, seperti Walkingalam (komunitas street photography), Dari Masa Lalu (komunitas kamera analog), Project Sederhana, dan lainnya. “Saya percaya kemampuan anak-anak muda kreatif Kota Malang jika disatukan akan menciptakan sebuah karya yang apik,” kata wanita yang aktif di berbagai komunitas ini.

Mimpinya adalah Kota Malang bukan hanya persinggahan wisatawan yang berkunjung ke Batu atau Bromo saja tapi juga memiliki wisata sendiri, yaitu kota tuanya. “Kami ingin membuka alternatif wisata baru di pusat kota yang seakan tersisihkan,” katanya. Meski kini fokusnya hanya di Malang, tapi ia tidak menutup kemungkinan jika konsep ini dijalankan di kota-kota lain berkolaborasi dengan komunitas setempat. (f)

Baca juga:
Jenny Jusuf, Kisah Hidup Penulis Naskah Film Ini Sedramatis Tokoh Novel
Nova Riyanti Yusuf, Terobsesi pada Kesehatan Jiwa
Joanna Lasmono, Melahirkan Buku Karena Resep Masakan Rumahan

 

Faunda Liswijayanti


Topic

#wanitahebat

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?