Family
Psikolog Anak: Harus Ada Momen Keluarga Tanpa Gadget, Setuju?

24 Nov 2017


Foto: Pixabay

Nelly Alimin, ibu dari Anne (15) dan Angela (11), memilih untuk menyekolahkan kedua anaknya di sekolah yang menerapkan pendidikan Montessori. Penggiat pendidikan berbasis Montessori Henderina Corry, mengungkap pendidikan ini lebih menerapkan sistem pembelajaran student centered. Mendorong anak lebih aktif ketimbang gurunya dalam proses belajar.

Anak-anak diberi pengalaman belajar langsung, misalnya cara membuka gembok kunci. Sehingga, anak terasah kemampuan problem solving, kreativitas, dan sikap keyakinan ‘I can do’-nya. “Saya ingin anak-anak saya menjadi anak yang tak hanya cerdas, tapi juga kreatif, mandiri, bertanggung jawab, dan bisa memecahkan persoalan. Sebab karakter seperti itulah yang nantinya menjadi modal ia saat bekerja dan untuk kehidupannya,” ungkapnya.   

Pendidikan karakter anak bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi harus bersinergi juga dengan keluarga dan masyarakat. Agar bisa survive hidup di era teknologi cerdas, psikolog anak, remaja, dan pendidikan Hanlie Muliani, M. Psi memberikan panduan bagi orang tua untuk membekali anak dengan kompetensi untuk lebih fleksibel dan adaptif.
 

Selain itu, anak didorong untuk punya inisiatif tinggi, inovatif, kritis, terbuka untuk belajar dari banyak sumber, dan berjiwa kepemimpinan. Menurutnya, manusia seharusnya menjadi sosok humanis dan bukan ‘robot-robot’.


“Anak-anak harus diajarkan untuk bisa berkomunikasi dan berkolaborasi,” tegas wanita yang juga menjadi pendiri parenting and education support consultant Sahabat Orang Tua dan Anak, ini. “Sekarang ini bukan zamannya lagi berkompetisi untuk menyingkirkan yang lain. Tapi, yang dibutuhkan adalah bagaimana menggabungkan kekuatan masing-masing,” tambah Hanlie.

Selain membekali anak dengan pendidikan karakter, menguasai teknologi  menjadi hal krusial. Kenyataannya, hidup kita tak dapat dipisahkan dari teknologi cerdas. Mulai dari merajai  arus informasi, komunikasi, bahkan transportasi publik pun telah menggunakan manajemen pengelolaan berbasis online.

AI tidak semata berbentuk mesin bergerak, tapi juga bisa dalam bentuk software atau aplikasi. Misalnya, software pembelajaran dan pembuatan laporan keuangan (menggantikan tugas guru dan akuntan).  AI juga sebagai asisten virtual seperti mesin pencari Google, Siri, Alexa, Waze, dan sebagainya.

“Semuanya menjadi serba digital, serba terkomputasi, sehingga bukan anak saja sebagai citizen dunia digital yang harus tech savvy, tetapi orang tuanya juga harus ikut belajar,” ujar Hanlie. Yang menjadi PR bersama bukan hanya bagaimana berkompetisi dengan AI, tapi juga bisa menguasainya. Survei McKinsey & Co menyebutkan bahwa sebanyak 710 atau 34% dari total pekerjaan bisa dilakukan oleh robot.

Fakta yang membuat orang tua khawatir tentang masa depan dan kesempatan berkarier bagi anak-anak mereka. Terlebih, khawatir  tumbuh kembang anak terganggu akibat hidup di era teknologi maju seperti saat ini.  “Mereka tidak lagi belajar secara real, tetapi media pembelajarannya dari televisi atau software aplikasi. Tidak ada rangsangan interaktif pada anak dalam proses belajar mereka,” kata Hanlie.
 

Alhasil, banyak anak mengalami speech delay, masalah social skill akibat stimulasi satu arah ini. Ketergantungan pada gadget juga berimbas pada keharmonisan hubungan sosial dan stimulasi tumbuh kembang anak.


“Tidak sedikit keluarga yang duduk satu meja, tapi tenggelam dengan gadget masing-masing. Hubungan keluarga menjadi tidak intim lagi. Interaksi sosial tergangggu. Jangan sampai akhirnya teknologi yang mengontrol kita!” Hanlie mengingatkan.

Hal tersebut sudah dirasakan oleh Miranda Astri, ibu dari Anastasia (8). Kesalahannya, sejak usia TK, ia sudah memberikan putrinya smartphone dan menjadikan gadget sebagai comfort toy si anak. “Anak saya kini kecanduan game. Ia lebih memilih menyendiri dan sibuk dengan game-nya ketimbang berinteraksi dengan teman atau orang tuanya. Matanya tak bisa lepas dari layar ponsel,” keluhnya. 

Dulu, zaman sebelum ada gadget, anak bermain dengan teman sebayanya dan belajar bagaimana membangun teamwork, jujur,  sabar menunggu giliran, sikap toleransi dan suportif. Kini, anak bermain dalam dunia virtual. Mereka menyerap pengajaran dari yang mereka lihat saja.
 

“Orang tua harus mengedukasi anak bijak menggunakan teknologi cerdas sejak dini. Pemakaiannya harus dikontrol,” kata Hanlie. Misalkan, tidak sepanjang hari bermain game atau menonton televisi. Hanya dibatasi 1-2 jam saja.


Orang tua bisa saling janjian dengan orang tua lain untuk membawa anak-anak mereka beraktivitas outdoor di akhir pekan agar anak tahu ada banyak hal menyenangkan bisa dilakukan di kehidupan nyata. “Harus ada momen keluarga tanpa gadget,” tegas Hanlie. AI boleh hadir di tengah kehidupan kita, tapi manusia tidak boleh dikontrol oleh teknologi. (f)

Baca juga:
Humanity VS Robot: Perkara Empati, Interaksi, dan Integritas yang Tak Tergantikan
Robot dengan Kecerdasan Buatan Siap Menggantikan Para Pekerja, Siapkah Anda?
5 Jenis Pekerjaan yang Mudah Tergantikan oleh Kecerdasan Buatan

 


Topic

#mendidikanak, #artifisialintelligence

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?