Event
Belajar Menulis Makanan Yang Menggugah di Ajang Jakarta Eat Festival 2018

1 Sep 2018

Foto: Hermawan

Pernahkah rongga mulut Anda tiba-tiba dibanjiri saliva ketika Anda membaca cerita tentang makanan dengan foto-foto yang mengugah selera? Atau tiba-tiba Anda punya niat yang begitu kuat untuk segera mengunjungi satu tempat gara-gara ingin mencicipin makanannya, sekaligus ingin mengenal budaya masyarakat setempat, setelah membawa tulisan di majalah?
 
Itulah salah satu kekuatan sebuah food writing. Kuliner Indonesia kini sudah menjadi pengetahuan gastronomi, sehingga kekuatan budaya ini harus dikuatkan dengan storytelling. Cerita tentang makanan inilah yang harus menjadi kekuatan ketika kita menulis untuk buku, blog, bahkan caption sebuah postingan di sosial media. Dan bagaimana cara membuat storytelling tentang makanan ini dibahas tuntas hari ini, (Kamis, 31/8/2018) pada sesi Food Writing –Made Easy! yang dipersembahkan oleh Dinas Pariwisata dalam rangkaian acara Jakarta Food Festival 2018, program yang diinsiasi Femina Group yang berlangsung di Gandari City, Jakarta, 30 Agustus sampai 2 September 2018.
 
Workshop penulisan yang dipandu oleh Lidia Tanod dari Komunitas JalanSutra, ini menghadirkan William Wongso, Santi Serad dan Ade Putri dari komunitas ACMI (Aku Cinta Makanan Indonesia). Bertiga, pegiat kuliner ternama di Indonesia ini berbagi pengalaman bagaimana mereka menyajikan makanan dalam bentuk tulisan, foto dan video yang menarik. Bagaimana mereka menggali jauh lebih dalam dari sekedar rasa enak dan tidak enak pada makanan yang tersaji di piring.
 
Dalam acara ini, hadir juga Hiang Marahimin, penulis kuliner senior yang juga mantan editor Femina. Hiang membawakan materi step by step cara penulisan yang menarik, juga akurat, karena apabila seorang penulis menggunakan data yang sembarangan dan hanya dari satu sumber, sangat rawan menyajikan hoax ketika data yang dikutip tersebut salah.
 
“Selain blusukan ke pasar, ACMI juga kerap melakukan potluck, semua peserta datang membawa masakan rumah masing-masing, menceritakan resepnya dan cerita di balik layar dari makanan tersebut. Ketika kita bercerita, maka bisa membangkitkan minat bagi yang lain untuk merawat makanan tersebut agar tidak punah,” ujar Ade Putri, di hadapan peserta workshop yang sudah datang sejak pukul 09.00, meski acara baru dimulai pukul 09.30 – 12.00 WIB.
 
Santi menambahkan, dalam sepiring hidangan terekam jejak kisah: perdagangan, migrasi manusia, penaklukan hingga peperangan. Hal-hal seperti inilah yang perlu disadari dan dipahami oleh penulis makanan sehingga bisa menghasilkan karya yang lebih dalam, bahwa lewat makanan seorang penulis bisa membedah segala hal, seperti sejarah, religi, filosofi hingga tentang integritas.
 
“Seperti contohnya pada sosok Mbah Lindu, penjual gudeg di Jogja yang sudah berusia 84 tahun. Hampir sepanjang usianya, Mbah Lindu memasak dan menjual gudeg. Sosok seperti ini layak ditulis, bagaimana kita bisa belajar konsistensi dari seorang pemasak dan penjual gudeg,” ujar William Wongso.
 
Lalu, sebetulnya, hal apa saja yang perlu menjadi pegangan seorang food writer saat sedang membuat tulisan?
 
Pertama, adalah bahwa seorang penulis harus meluaskan pandangan dalam melihat sesuatu. Pada sepotong ayam goreng misalnya, seorang penulis tidak bisa merasa..ah..kan hanya ayam goreng, nulis apa kita?
 
“Siapa bilang kalau ayam goreng itu sederhana? Ayam goreng itu tidak sederhana. Kita bisa melihatnya dari ayamnya, dari bumbunya, dari proses memasaknya dan masih banyak hal lain,” kata Hiang Marahimin.
 
Di masyarakat, memang ada banyak cara dan variasi bumbu untuk menghasilkan ayam goreng. “Bahkan, ayam dibumbui garam lalu digoreng pun juga enak. Ada juga yang harus diungkep terlebih dahulu. Atau kita juga bisa bercerita tentang sejarah ayam goreng Mbok Berek,” imbuh Hiang. Bahkan, cerita penulis tentang memori makan ayam goreng terenak yang pernah ia nikmati pun bisa menjadi tulisan yang menarik.
 
Menurut Hiang, hal mendasar dalam food writing adalah tulislah dengan gaya yang menyenangkan, seperti layaknya seseorang bercerita kepada sahabatnya saja. Bentuk penulisan dalam food writing pun bermacam-macam, bisa tentang resep masakan/kue, sejarah, budaya seputar makan, wisata kuliner, profil seseorang, dan lain-lain. “Tujuan dari food writing adalah menstimulasi sensasi, sehingga yang penting adalah melatih kepekaan setiap indera sentuhan, penciuman, suara, penampilan, rasa, yang masing-masing memberikan sensasi yang berbeda.
 
Penjelasan para narasumber pun disambut peserta dengan berbagai pertanyaan. Alif misalnya, menanyakan bagaimana strateginya ketika kita mengetahui ada budaya makan yang tidak selaras dengan kesehatan. Misalnya, budaya makan masakan jerohan bersantan yang bolak-balik dipanaskan. Peserta lain, menanyakan bagaimana tip menulis caption di Instagram untuk produk makanan miliknya agar menarik perhatian.
 
Dengan topik yang sangat menarik dan menggugah rasa ingin tahu, waktu rasanya berjalan begitu cepat, sehingga giliran Chef Rahung Nasution naik pentas unutk memasak naniura, makanan khas Batak yang terbuat dari ikan mentah. Seperti biasa, Chef Rahung memberikan pengetahuan yang berharga tetang budaya makanan Batak, yang sebetulnya menggunakan bumbu yang minimalis: hanya garam, cabai dan andaliman yang merupakan ‘nyawa’ dari semua bumbu masakan Batak.
 
Naniura, di Batak menggunakan ikan air tawar seperti ikan mas, tapi kali ini Chef Rahung menggunakan ikan salmon dan ikan tuna segar. Hasil masakan Chef yang memiliki tato di wajah ini kemudian diedarkan untuk dicicipi dan difoto peserta, karena ada tantangan untuk mengunggahnya di Inst Story masing-masing dengan hadiah menarik berupa Vacuum Stainless Steel Jar dari Oxone untuk empat pemenang.
 
Semua peserta pun seperti tak mau beranjak dari tempat acara hingga acara berakhir dan kemudian menikmati suguhan es kopi dari Anomali Coffee, tahu petis dan bakso tahu dari Tahu Petis Yudhistira dan air putih segar dari Crystalline.
 
Wajah mereka pun kian cerah, karena bukan hanya bekal imu menulis yang didapatkan namun juga goodie bag menarik yang berisi buku resep Primarasa, satu pack Anomali Coffe, Rainbow Transparent Bottle dari Oxone, voucher Bonanza Beef dan HomeTown Dairy, yang bisa dibawa pulang semua peserta. (f)

Baca Juga:
Jakarta Eat Festival 2018 Ingin Membawa Kuliner Indonesia Naik Kelas
Harmoni Rasa Indonesia oleh Chef Degan Septoadji di Jakarta Eat Festival 2018
Makanlah Karbohidrat Ini Agar Tubuh Tidak Kekurangan Antioksidan



 
  
 
 


Topic

#JEF, #FoodFestival, #Kelas Menulis, #JEF2018, #JEFFoodWriting, #FeminaFood, #kuliner

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?