Career
Penting! Kemampuan TIK Jadi Modal Utama untuk Hadapi Era Kecerdasan Buatan

21 Nov 2017


Foto: Pixabay

Pergeseran era memang tak bisa dicegah. Jangan merasa terancam dengan kemajuan teknologi yang kelak membuat kita akan hidup bersama kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Kate menilai bahwa sebaiknya kita mempersiapkan diri dengan kemampuan-kemampuan baru. “Jangan khawatir, karena teknologi baru yang datang akan menciptakan ribuan kesempatan kerja lainnya,” tutur Kate Dennis, Corporate Communication Manager University of Technology Sydney

Baca juga:
Robot dengan Kecerdasan Buatan Siap Menggantikan Para Pekerja, Siapkah Anda? 5 Jenis Pekerjaan yang Mudah Tergantikan oleh Kecerdasan Buatan

Pendiri Merah Cipta Media, grup perusahaan berbasis internet dan advertising, Antonny Liem, menambahkan, seperti halnya ketika terjadi revolusi industri yang membuat beberapa pekerjaan hilang, secara bersamaan akan timbul karier lain yang lebih relevan dengan masanya. “Maka, penting menginvestasikan diri untuk mengembangkan kemampuan yang kiranya di masa depan akan sangat dibutuhkan,” katanya.

Salah satu hal yang dinilai akan menjadi sangat penting di masa depan adalah ilmu tentang teknologi informatika (TI). Seperti yang disampaikan Kate bahwa TI menjadi hal fundamental di masa depan, sehingga penting dipelajari. Apa pun yang kita lakukan di masa mendatang, akan membutuhkan kemampuan dasar TI. Contoh, pahami keterampilan bisnis atau pemasaran yang  dapat diaplikasikan dengan TI. Sayangnya, minat wanita untuk mendalami ilmu TI masih tergolong rendah.

Menurut analisis Bloomberg, hanya 13,5 persen wanita yang bekerja di industri TI. Padahal, banyak hal di
masa depan yang sangat potensial dikuasai oleh wanita. Setidaknya seperti yang dituturkan Luke Tang, General Manager TechCode Global AI+ Accelerator, bahwa wanita punya sudut pandang yang berbeda di masa depan dalam pengembangan AI yang akan membuat teknologi ini memberikan dampak positif  dalam kehidupan.

“Di dunia AI masa depan, wanita mungkin lebih punya keuntungan dibanding pria karena punya naluri sensitivitas sosial dan empati yang lebih tinggi dalam memecahkan masalah dalam dunia nyata,” tuturnya. Wanita juga punya kecenderungan yang lebih besar untuk memperhatikan detail dan membuat keputusan berdasarkan hal-hal yang spesifik. “Kemampuan tersebut banyak dikuasai wanita dan tidak bisa direplikasi oleh mesin,” ia menambahkan.

Menariknya lagi, dengan makin banyaknya keterlibatan wanita dalam pengembangan AI di masa depan, menurut Luke, menjadi kunci penting dalam pengaplikasian AI secara lebih beragam. Sebagai contoh, akan tercipta produk-produk AI yang bisa menjawab kebutuhan wanita. Maklum saja, sekarang industri teknologi masih dikuasai oleh pria, sehingga melahirkan bias kebutuhan berdasarkan gender di industri teknologi.

World Economic Forum 2016 memberikan rentetan kemampuan yang diprediksi  akan sangat dibutuhkan pada tahun 2020 mendatang untuk memasuki revolusi industri keempat. Di antaranya adalah complex problem solving, berpikir kritis, kreativitas, people management, dapat berkoordinasi dengan orang lain, kecerdasan emosional, penilaian dan kemampuan dalam membuat keputusan, orientasi pada pelayanan, ahli bernegosiasi, dan kelincahan berpikir (cognitive flexibility).

Karena itu, di tengah garangnya persaingan di masa depan, menurut pakar karier dari Enlighten Consulting, Elvi Fianita, Psi, penting untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan tersebut. Salah satunya adalah berpikir kreatif. “Ketika nantinya banyak pekerjaan yang dilakukan oleh mesin, yang sifatnya baku, teratur dan terstruktur, sesuatu yang unik dan out of the box akan jadi lebih bernilai. Misalkan, kreatif dalam menciptakan suatu pekerjaan atau hal yang berbeda atau sifatnya eksklusif, yang tidak bisa dilakukan oleh mesin,” jelas Elvi.

Menurutnya, kreativitas inilah yang membuat manusia unggul dari mesin yang berjalan kaku. Di sisi lain, hal yang menjadi sangat krusial dimiliki oleh masyarakat modern saat ini adalah kemampuan berpikir kritis. Bagaimana kita mengevaluasi sesuatu untuk mengambil keputusan penting di tengah era banjirnya informasi. “Fakta-fakta yang datang mampu secara objektif dan logis kita evaluasi. Ini akan menjadi dasar dalam mengambil keputusan strategis,” tutur Elvi.

Sayangnya, menurut Elvi, orang Indonesia sangat lemah dalam berpikir kritis. Lihat saja masih banyak dari masyarakat kita yang dengan sangat mudah percaya pada informasi yang sesat dan menyebarkannya kembali. Ini membuktikan tidak adanya proses evaluasi dalam menerima informasi di era teknologi digital.

Selain itu, di era ketika AI mulai ‘menguasai’ dunia dan mengambil alih beberapa posisi kerja manusia, kecerdasan IQ saja tidaklah cukup. Karena, toh, kecerdasan buatan bisa menyamai –atau bahkan lebih hebat– dibandingkan kepintaran manusia. Maka, kecerdasan emosional sangat dibutuhkan. Artinya, seseorang membutuhkan kemampuan untuk mudah menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dalam dirinya dan orang lain.

“Ini adalah persoalan bagaimana kita harus matang secara emosional dalam menghadapi berbagai macam tantangan,” tambah Elvi. Di masa depan, saat hubungan antarmanusia menjadi sesuatu yang sangat berharga di tengah banyaknya kehadiran robot dengan kecerdasan buatan, jika kita tidak bisa mengontrol emosi, maka akan memperburuk hubungan antarmanusia. Jangan lupakan juga bagaimana kita harus memiliki kelincahan berpikir (cognitive flexibility). Kemampuan ini berfungsi untuk mengembangkan solusi.

“Jika solusi yang satu tidak berhasil, kita harus bisa secara cepat memikirkan solusi yang lain. Termasuk kelincahan mengombinasikan beberapa solusi,” papar Elvi, sambil mengatakan, hal ini untuk mengimbangi segala sesuatu yang akan bergerak  sangat dinamis.

Kemampuan-kemampuan ini, menurut Elvi, tak dimiliki oleh mesin dengan kecerdasan buatan. “Robot kan tidak bisa berpikir visioner. Dan yang membuat kita unggul dari mereka adalah kemampuan kita untuk menganalisis sesuatu dari berbagai macam variabel untuk membuat penilaian berdasarkan situasi dan kondisi yang berbeda-beda,” tuturnya.

Menghadapi tantangan di era yang baru, baik Antonny, Kate, ataupun Elvi sepakat bahwa merangkul perubahan tersebut adalah langkah yang paling tepat dilakukan. Dalam arti, kita terbuka untuk mempelajari ilmu-ilmu baru, keluar dari zona nyaman, dan berpikir fleksibel di tengah peralihan zaman. Seperti halnya yang dikatakan filsuf Yunani kuno, Heraclitus, bahwa tak ada yang abadi selain perubahan. Maka, marilah kita menjadi bagian dalam perubahan tersebut. (f)


Topic

#tipkarier, #artificialintelligence

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?