Fiction
Will [3]

29 May 2012


<<<  Cerita Sebelumnya

Siapa Wanita Misterius yang disebut Will dalam puisinya?

Sejak tahun 1592, penduduk kota London mulai membicarakan nama William Shakespeare.

Will menulis naskah drama berjudul Richard III untuk dipersembahkan kepada Richard Burbage, yang kemudian meraih sukses besar. Richard III adalah seorang raja yang kejam, seorang pembunuh. Namun penampilan Burbage di panggung, dengan suara lantangnya dan aktingnya yang memuaskan, meninggalkan kesan yang apik pada sang tokoh. Tak lama setelah itu seluruh London meniru penggalan dialognya yang terkenal saat kudanya terbunuh di medan perang :

A horse! A horse! My kingdom for a horse!

Berbagai kalangan datang untuk menyaksikan pertunjukannya, dan akibatnya Will mempunyai banyak teman baru. Suatu hari seusai pementasan, aku melihatnya sedang bercakap-cakap dengan seorang pemuda di luar Teater Rose. Pemuda itu sangat cantik, mirip seorang gadis, mungkin... tapi masih terlihat ketampanannya. Aku menanyakan perihal pemuda itu pada Will.

"Earl of Southampton," jelasnya. "Usianya baru delapan belas, tapi ia mencintai puisi dan drama."

"Bukankah dia kawan Earl of Essex?" Setiap orang tahu siapa Earl of Essex. Pemuda yang tampan, bahkan beberapa orang mengatakan bahwa Ratu Elizabeth jatuh cinta kepadanya.

Pada awalnya, aku tak tahu-menahu tentang hal itu. Sang Ratu sudah berusia 59 tahun, dan beliau seorang wanita yang sangat cerdas.

Kendati pun begitu, rumor itu ternyata benar, bahwa beliau menyukai berada di sekeliling pemuda-pemuda tampan. Earl of Essex salah satunya.

"Ya, ia kawan Earl of Essex. Tapi kukira Essex orang yang berbahaya. Henry membutuhkan teman-teman yang lebih baik darikepadanya."

"Henry, eh?" tanyaku terkejut. "Astaga! Benar kau memanggilnya Henry? Bukan Lord Southampton?"

"Hanya ketika tak ada orang selain kau, aku, dan teman-temanku, tentu." Lantas Will tertawa. "Aku hanya seorang aktor dari Stratford, Toby. Bukan orang penting. Mari kita mampir sebentar ke Boar’s Head sebelum pulang."

Will selalu begitu. Pendiam. Tidak pernah menggembar-gemborkan namanya ke semua orang.

Sesampainya di Boar’s Head, kami bertemu beberapa orang teman dan mengobrol. Kami membicarakan tentang wabah pes yang kembali berjangkit di London.

"Kau sudah dengar berita terakhir?" tanya seorang pria. "Lebih dari 30 orang meninggal setiap minggunya."

"Dan Dewan Kota," sambung yang lain, "hendak menutup seluruh teater. Mereka selalu berbuat begitu setiap kali wabah menyerang kota London. Takkan ada lagi pekerjaan untuk kita, sebagai aktor."

"Tapi para pemain masih bisa melakukan tur, bukan?" tanya Will.

"Ya," jawab pria yang pertama, "tapi kau akan menemui kesulitan. Mengunjungi kota yang berbeda, penginapan yang berbeda, pertunjukan yang berbeda setiap malamnya. Aku lebih memilih untuk tetap tinggal di London."

Wabah tersebut sangat menakutkan, tapi di London lebih buruk lagi. Wabah itu datang dengan cepat laksana api yang membumihanguskan seluruh kota. Jika seseorang di sebuah rumah terkena wabah itu, maka semua pintu akan terkunci rapat, dan sebuah tanda silang besar berwarna merah dicoretkan di pintu-pintu itu. Tak seorang pun sanggup meninggalkan rumah. Kau harus tetap tinggal di dalamnya, berjuang melawannya, ... atau mati. Jika kau kaya, kau dapat meninggalkan London sesegera mungkin. Pada bulan September 1592, Dewan Kota menutup seluruh teater.

"Apakah kita jadi melakukan tur, Will?" tanyaku kepadanya suatu ketika. "Atau kembali ke Stratford? Kita tak bisa terus-terusan tinggal di London."

"Kau saja yang kembali ke Stratford, Toby. Aku akan menginap di rumah Lord Southampton untuk sementara waktu. Dia yang memintaku. Di sana aku bisa menulis, membaca buku-bukunya, dan bertemu dengan beberapa orang teman."

Aku menatapnya. "Ada wanita lain, bukan? Aku dapat melihatnya di matamu selama minggu-minggu terakhir ini."

Will tertawa, namun ia tidak menjawab pertanyaanku.

Baru pada bulan Juni 1594, teater-teater di London kembali dibuka. Will sering mengunjungi Lord Southampton, namun terkadang kami pergi melakukan tur bersama dengan kelompok teater tempat kami bekerja, atau melewatkan waktu senggang di rumah kami di Stratford. Will lebih sering menghabiskan waktunya di Stratford karena suasananya yang tenang, membuatnya lebih dapat berkonsentrasi menulis. Aku tak pernah tahu apa yang dipikirkan Anne terhadap itu semua.

Tahun-tahun berikutnya Will lebih banyak menulis puisi. Salah satunya berjudul Venus and Adonis, yang sangat indah dan panjang, dipersembahkan untuk sahabatnya, Lord Southampton. Selain itu ada juga puis-puisi pendek, disebut soneta. Tapi puisi-puisi itu tidak dibukukan, melainkan hanya untuk dibaca teman-temannya.

Suatu hari setelah kami kembali ke London, aku membaca salah satu sonetanya. Saat itu Will sedang pergi entah ke mana, dan aku sedang berada di penginapan kami di Bishopsgate. Kebanyakan dari isi puisinya bercerita tentang seorang wanita jahat, berambut hitam, bermata hitam. Ia seorang wanita yang dingin dan kejam, lalu menjadi setia dan penyayang, dan kemudian menjadi kejam lagi.

For I have sworn thee fair, and thought thee bright,
Who art as black as hell, as dark as night
[ Ku t’lah bersumpah demi kau sang jelita,
dan kusangka kau sang penggembira,
yang sesuram neraka, sekelam malam ]

Apakah Will menulis tentang dirinya sendiri? Dan siapakah Wanita Misterius ini?

Aku selalu ingin tahu apa yang sedang terjadi, sehingga aku selalu mengamati teman-teman wanitanya.

Dan suatu hari aku melihatnya. Aku baru saja memasuki pintu penginapan saat ia sedang menuruni tangga. Rambutnya hitam, matanya hitam menusuk, di leher serta telinganya tergantung perhiasan dari emas. Ia berjalan melewatiku laksana sebuah kapal yang maju ke medan peperangan. Ia tampak liar, marah, namun sangat, sangat cantik.

"Hu!" kataku. "Itukah Wanita Misteriusnya Will? Will takkan pernah bisa hidup tenang dan damai!"

Wanita itu kuduga berparas Italia. Aku menanyakan hal ini pada John Florio, guru bahasa Italia Lord Southampton. Setelah aku menjelaskan ciri-ciri wanita itu kepadanya, Florio langsung mengenalinya. "Emilia," ujarnya, "Emilia Bassano. Sekarang Emilia Lanier, istri Alphonso Lanier. Sebelumnya dia tinggal bersama si tua bangka Lord Chamberlain. Wanita itu bukan istrinya, kau mengerti ’kan. Tapi mengapa kau ingin mengetahuinya?"

"Jika ia telah menikah, tentunya ia tak punya kekasih gelap bukan?"

Florio tertawa terbahak-bahak. "Kekasih! Kau tak tahu siapa Emilia Lanier! Dia bukan wanita baik-baik, Kawan, bukan wanita baik-baik." Sekarang ia berbisik. "Ia pernah berteman dengan Lord Southampton. Tapi sekarang tidak lagi."

Aku tidak menanyakan tentang Will kepadanya. Mungkin Emilia Lanier adalah Wanita Misteriusnya Will, atau mungkin juga Will berusaha membantu sahabatnya, Lord Southampton. Tak ada seorang pun yang tahu hingga kini.


Wabah telah usai. Kami kembali sibuk. Semakin banyak kelompok teater baru yang bermunculan, dan sekarang Will bekerja untuk Lord Chamberlain’s Men. Lord Chamberlain termasuk orang penting yang dekat dengan ratu, dan kami sering diundang untuk pentas di istana, juga di rumah-rumah para bangsawan Inggris. Kami mempunyai pemain-pemain bagus. Ada Will, Richard Burbage, John Heminges. Ada pula Augustine Phillips, Henry Condell, Thomas Pope. Mereka bekerja selama lebih dari 20 tahun, dan menghasilkan uang yang banyak pula.

Aku bekerja di bagian kostum dan barang-barang properti para pemain Lord Chamberlain’s Men. John Heminges mengomentariku sebagai penyedia properti terbaik di seluruh kota.

Will juga istimewa, karena dialah yang menulis naskah-naskahnya. Naskah-naskah yang luar biasa! Ia tak pernah mengulang naskah yang sama, tidak seperti penulis-penuls lainnya. Ia selalu mencoba sesuatu yang baru, yang berbeda. Dan ia tidak pernah berlama-lama menulis. John Heminges tak pernah dapat memahaminya. "Bagaimana kau bisa menulis secepat itu? Kau tak pernah membuat satu kesalahan atau mengubah satu huruf pun!"

Will juga tidak mengerti sebabnya. "Semuanya ada di kepalaku. Aku pikirkan, lalu tertuang begitu saja di atas kertas."




Penulis: Jennifer Bassett





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?