Fiction
Will [2]

29 May 2012


<<<  Cerita Sebelumnya

  
Di suatu sore di bulan Februari 1585, istri Will melahirkan lagi. Kembar laki-laki dan perempuan. Will memberi mereka nama Hamnet dan Judith, sesuai nama teman-teman Will. John Shakespeare menjadi semakin bahagia, karena ia punya seorang cucu laki-laki sekarang. Semua orang tampak bahagia. Untuk sesaat.

Will dan aku terkadang masih pergi bersama. Ia masih tetap membaca, menulis, dan aku dapat melihat perubahan pada dirinya. Ia telah berusia 23 tahun sekarang, tapi ia tidak bahagia dengan kehidupannya.

"Stratford terlalu kecil, Toby," ujarnya suatu kali. "Terlalu tenang. Terlalu membosankan. Aku harus pergi."

"Iya, tapi bagaimana caranya? Ingat, anakmu sudah tiga."

Di setiap musim panas, beberapa kelompok pertunjukan datang ke kota kecil. Tahun 1587, ada lima kelompok yang datang. Will dan aku selalu menyempatkan diri untuk menonton pementasan mereka. Will suka berbicara dengan para pemainnya dan mendengarkan cerita mereka tentang kota London.

The Queen’s Men tiba di Stratford bulan Juni. Kami menyaksikan aksi panggung mereka. Aku tidak ingat yang mereka mainkan. Yang kuingat hanya aku tertawa keras sekali, dan Will bilang permainan mereka sangat jelek. Tak ada satupun kata-kata puitis dalam dialog mereka.

"Mengapa kau tidak mencoba sendiri menulis sebuah naskah?"

"Menulis naskah drama?" Ia tertawa. "Anne takkan pernah lagi mau bicara kepadaku."

Meskipun begitu, setelah beberapa bulan berselang, aku mampir mengunjungi rumah keluarga Shakespeare di suatu sore. Ketika aku baru saja memasuki pintu dapur rumah mereka, kulihat Anne, dengan wajah sangat merah, membentak keras sekali. "Beraninya kau berbuat hal ini kepadaku! Bagaimana anak-anak...," ucapannya terhenti saat menyadari kedatanganku.

Will sedang duduk di samping meja, dan tampak gembira melihat kehadiranku. "Telah kukatakan pada Anne bahwa aku akan pergi dan tinggal di London. Aku ingin menjadi aktor, dan menulis beberapa naskah drama, kalau bisa."

"Drama!" lengking Anne. "Akting! Para aktor orang-orang yang kotor, kejam! Mereka semua pencuri dan penjahat! Mereka mabuk tiap hari dan tak pernah ke gereja..."

"Jangan berkata bodoh, Anne. Kau tahu itu tidak benar. Dengar, aku akan pulang kalau sempat, tapi aku tetap harus pergi ke London. Aku tidak bisa berbuat apa-apa di Stratford." Kemudian ia menatapku. "Kau ikut denganku, Toby?"

Selama dua hari perjalanan menuju London, Will nyaris tak pernah berhenti berbicara kepadaku. Dapat kulihat sorot matanya bersinar penuh semangat. Di kepalanya tersimpan banyak rencana, puisi.... Semangat hidupnya telah kembali.

"Aku telah berbincang dengan salah satu pemain Queen’s Men," katanya. "Dia bilang dia bisa memberikanku pekerjaan di teater. Berakting, mungkin. Atau membantu menulis beberapa naskah drama. Aku telah menunjukkan kepadanya beberapa naskahku, dan dia sangat tertarik."

Ketika kami sampai di London, aku mulai disergap rasa takut. Kota ini begitu besar, sedangkan kami hanyalah dua pemuda biasa dari kota kecil. Aku takkan pernah melupakan keramaian, suasana dan hiruk-pikuknya. Sebanyak 200.000 ribu orang bermukim di London... suatu jumlah yang tak pernah terpikirkan sebelumnya sepanjang hidupku!

Kami melewati Sungai Thames dan melihat London Bridge, dengan toko-toko serta rumah-rumah di sekitarnya. Di bawah sungai tertancap Tower of London, di mana pasukan musuh kerajaan pernah memasukinya melalui pintu gerbang sungai, dan kebanyakan dari mereka keluar dengan kepala terpenggal.

Kami menemukan sebuah penginapan kecil di Eastcheap. Tidak terlalu mahal, dan tersedia roti, daging serta bir untuk makan malam kami.

"Well, kita sampai juga!" kata Will. "Akhirnya!"

"Mmm... selanjutnya apa yang akan kita lakukan?"

Ia tertawa. "Segalanya!"

Hari berikutnya kami memulai pekerjaan kami. Tahun-tahun awal kami di London berlangsung baik. Tentu saja kami tak punya banyak uang, oleh sebab itu kami harus bekerja keras. Seorang pemain baru seperti kami hanya mendapatkan 6 shillings per minggu, padahal tidak selalu ada pementasan setiap minggunya. Aku membatalkan keinginan menjadi aktor.

"Mengapa?" tanya Will suatu kali. "Itu pekerjaan yang bagus."

Bulan itu kami bekerja untuk Queen’s Men pada sebuah teater bernama The Curtain di Shoreditch. Will mendapatkan empat peran kecil dalam dua judul drama yang berbeda. Ia bermain sebagai seorang serdadu dan seorang pembunuh dalam sebuah pementasan, dan dalam pementasan yang lain ia berperan sebagai seorang pencuri, juga seorang bangsawan Italia yang jatuh cinta pada Ratu Malam. Ia mencintai peran-perannya.

"Aku tidak pandai sepertimu," jelasku kepadanya suatu waktu. "Aku tak bisa mengingat keseluruhan dialognya. Aku bahkan lupa siapa diriku! Saat aku menjadi bangsawan Italia, yang keluar dari mulutku adalah ucapan si serdadu. Aku tiba di panggung terlalu lambat, atau terlalu cepat. Aku berdiri di posisi yang salah..."

Will tertawa. "Lantas apa yang akan kau lakukan?"

"Kostum," jawabku. "Dan barang-barang properti. Aku telah berbicara dengan John Heminges, dia bilang bahwa mereka membutuhkan seseorang untuk membantu memerpsiapkan kostum dan perlengkapan lainnya."

"Kau akan bekerja dengan baik di situ," komentar Will pelan. "Sekarang aku harus mempersiapkan adegan berkelahi untuk pementasan besok, dan aku harus mati dengan darah berceceran di sekelilingku. Apakah kau bisa mencarikanku semacam darah atau sejenisnya?"

"Aku sudah mendapatkannya!" Aku tersenyum kepadanya. "Darah domba. Aku dapat dari pasar Smithfield pagi ini. Kau bisa mengambilnya sebanyak yang kau mau. Aku akan membuatnya tetap hangat untukmu."

Will mampu bermain bagus. Bukan yang terbaik, tetapi bagus. Seorang aktor harus mampu melakukan apa saja. Ia harus mempelajari dialog dengan seksama, mungkin untuk enam pertunjukan drama yang berbeda di hari yang sama. Ia harus bisa menari, berdansa, bernyanyi, bermain alat musik. Ia juga harus melompat, jatuh, dan berkelahi. Perkelahian harus tampak seperti sungguhan.

John Heminges dari Queen’s Men mengajarkan kami banyak hal. Ia seorang teman yang baik selama bertahun-tahun. Aku juga mempelajari banyak hal, seperti cara membuat sepatu dari kertas warna cokelat, atau membuat ikan, buah dan sepotong daging dari kayu serta kertas berwarna. Atau cara membersihkan topi yang dikenakan para pemain dengan potongan-potongan roti, agar tampak seperti baru kembali.

Siang dan malam Will selalu sibuk. Aku tak tahu kapan ia tidur. Ia bermain dalam beberapa drama, ia juga menulis naskah dramanya sendiri, ia masih juga membaca buku, lalu bertemu dengan penulis lainnya, berkumpul bersama teman-temannya... ia selalu belajar, belajar, dan belajar.

Suatu hari kami minum bir bersama Richard Burbage di Boar’s Head. Burbage adalah seorang aktor di kelompok teater Lord Strange’s Men. Ia sangat akrab dengan Will.

"Kau telah menulis empat naskah, Will," katanya. "Karya yang bagus. Dan semakin hari kau bermain semakin baik. Dan aku semakin hari bermain semakin baik pula. Bekerjalah untuk Lord Strange’s Men di Teater Rose, Bankside. Kau juga bisa menulis naskah drama untuk kami."

Akhirnya kami pergi ke Teater Rose. John Heminges dan Augustine Phillips, seorang aktor berbakat juga, turut serta bersama kami.

Di Rose, kami bekerja lebih giat. Pertunjukan selalu dimulai selepas tengah hari, disebabkan cuaca yang cerah. Pagi hari kami latihan, dan saat makan siang tiba, orang-orang mulai berdatangan untuk segera mendapatkan tempat duduk mereka.



Penulis: Jennifer Bassett





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?