Fiction
Wanita Kedua [8]

18 May 2012


<<<  Cerita Sebelumnya

Aku sangat memahami sifat ke­ibuan Mama. Aku pun merasa se­dih melihat nasib Dito. Sempat terpikir olehku untuk membawa Dito tinggal bersama kami. Apalagi, Dito hanya ditemani pembantu di rumahnya. Tapi, tentu saja aku harus membicarakan hal itu pada Mama terlebih dahulu.

Hari itu, setelah seminggu lebih membisu dan mengurung diri dalam kamarnya, Mama mengajakku berbicara empat mata.

“San, Mama mau minta penda­patmu. Mama berencana untuk me­ng­adopsi Dito secara resmi. Mama sudah berkonsultasi de­ngan seorang pengacara.”

Aku tidak menyangka akan mendengar kata-kata itu dari Mama. Apa yang Mama usulkan itu jauh lebih baik dibandingkan yang akan kuminta padanya. Aku hanya ingin memelihara Dito sebagai adikku, tapi Mama malah ingin menga­dopsinya.

“Benar, Ma?” tanyaku, tak percaya.

Melihat senyumku yang begitu lebar, Mama tak ragu lagi dengan ke­putusannya.

“Kata pengacara, masalah yang tersulit adalah Dito hanya hidup berdua dengan mamanya. Padahal, di pengadilan nanti harus ada wali dalam pembuatan surat adopsinya. Tapi, menurut pengacara itu, kita harus menelusuri saudara atau wali dari pihak Jeanny. Dia optimistis, hal itu bisa dilakukan, karena tidak mungkin Jeanny tidak memiliki keluarga lain, ‘kan?”

“Syukurlah, Ma, kalau itu bisa diurus. Itu juga yang membuat Sandra ragu-ragu dengan status Dito yang hanya punya seorang ibu, tanpa seorang saudara pun.”

“Tapi, Dito akan memiliki kita, Sa­yang. Dia akan punya mama dan kakak. Dia juga akan punya ayah....”

Aku terkejut.

“Maksud Mama?”

Wajah Mama sedikit berubah.

“Begini, Sandra. Ini adalah misteri yang disembunyikan Papa selama ini. Dan, Mama baru saja menyadarinya. Mama akhirnya mengetahui maksud perkataan Papa menjelang ajalnya dulu. Mama memang tidak pernah menceritakannya padamu, karena Mama sendiri tak mengerti apa maksudnya. Mama pikir, mungkin Mama hanya salah dengar.”

“Ada apa, sih, sebenarnya, Ma?” tanyaku, dengan cemas.

“Dulu, sebelum papamu meninggal, Papa sempat minta maaf dan mengatakan sesuatu....”

“Mengatakan apa, Ma?”desakku tak sabar.

“Waktu itu, Papa bilang, ‘Ma, saya titip Dito.’”

“Lalu...?”

“Kamu ingat nggak, sebelum meninggal, Jeanny kan juga minta maaf pada Mama. Meskipun apa yang dikatakannya tidak begitu jelas, Mama mendengar dengan jelas pesan terakhirnya. Dia berkata, ‘Tante... saya titip Dito.’”

Aku terpana mendengar cerita Mama. Pikiranku bekerja cepat, menghubungkan serpihan-serpihan kisah yang kude­ngar itu, lalu menyusunnya seperti permainan puzzle. Selanjutnya, aku tak perlu lagi mendengar penjelasan Mama. Karena, bagiku, itu sudah jelas. Sangat jelas. Papa adalah pria yang menikahi Jeanny secara siri dan Papa adalah ayah dari Dito. Dengan kata lain, Dito adalah adik satu ayah denganku. Pantas... kami memiliki banyak sekali kemiripan!

Kebisuan Mama selama seminggu ini terjawab sudah. Mama memerlukan waktu untuk merenungi semua yang terjadi dan akhirnya membuat sebuah keputusan terbaik. Dan, aku bahagia karena memiliki seorang ibu yang berhati sangat mulia.

Bagi seorang wanita, tentu sangat sulit menerima kenyataan bahwa suaminya memiliki wanita lain. Apalagi, dari hubungan itu telah lahir seorang anak. Tapi, dengan kebesaran jiwanya, Mama bersedia mengadopsi Dito menjadi anaknya. Bahkan, wanita mulia itu tidak keberatan Jeanny dimakamkan berdekat­an de­ngan Papa, meski saat itu dia sudah mulai menyadari hubungan Papa dan Jeanny.

“Mama sadar, semua ini tidak terjadi begitu saja. Mama juga punya andil dalam kisah tragis ini. Sepuluh tahun yang lalu, hubungan Mama dengan Papa sempat rusak. Kami bahkan sudah pisah ranjang. Mungkin, saat itulah papamu dekat dengan Jeanny, yang kemudian dinikahinya secara siri. Tapi, Mama tetap percaya, papamu seorang pria yang baik. Buktinya, dia mengeluarkan Jeanny dari dunia hitamnya. Yang jelas, Mama percaya pada takdir, termasuk bagaimana kita akhirnya dipertemukan dengan Jeanny dan Dito. Dito adalah amanah dari Papa dan Jeanny yang harus kita jaga. Karena itu, Mama memutuskan untuk menga­dopsi Dito secara resmi.”

Aku tak melepaskan pelukanku pada Mama. Aku bangga padanya. Kuakui, tadinya aku sempat terpukul, ketika tahu bahwa Papa yang selama ini kuanggap sempurna, ternyata pernah mengkhianati Mama. Sempat juga terpikir bahwa Jeanny mendekatiku karena ingin balas dendam pada anak seorang pria yang pernah menikahinya secara siri, tapi kemudian meng­a­baikannya.

Tapi, setelah kupikir matang-matang, bila Jeanny memang bermaksud buruk padaku, pasti dia akan membiarkan aku menikah siri dengan Gunawan, supaya apa yang Papa lakukan pada­nya akan terbalas padaku. Namun, Jeanny justru membukakan mataku sehingga menyadari bahwa pernikahan siri itu adalah sebuah kesalahan.

Ya, dia tahu bahwa itu adalah sebuah kesalahan. Karena, dia telah merasakan sendiri betapa menderitanya menjadi wanita kedua, tanpa status yang jelas dan tanpa diakui keberadaannya. Derita itu harus ditanggungnya seumur hidup. Dia bahkan tak sempat merasakan manisnya sebuah perkawinan. Seandainya umur Jeanny masih panjang, ingin sekali aku mencarikan jodoh yang baik untuknya. Tapi, aku sadar, itu akan sia-sia, karena Jeanny pernah berkata bahwa tubuhnya bisa dimiliki oleh ba­nyak pria, tapi cinta sejatinya hanya untuk papanya Dito.

“Semoga kau bertemu dengan cinta sejatimu di alam sana, Jean.” (Tamat)


Penulis: Nurma


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?