Fiction
Wanita Kedua [7]

18 May 2012



Dengan sedikit panik aku segera berlari keluar dari rumah Jeanny, menemui satpam kompleks dan meminta mereka membantuku membawa Jeanny ke rumah sakit terdekat. Tapi, baru beberapa meter berjalan, aku mengubah keputusan. Rumah sakit, seberapa pun dekatnya, terasa sangat jauh dalam kondisi seperti ini. Aku pun melarikan mobil dan melesat ke klinik 24 jam yang ada di dekat perumahan itu.

Jeanny segera ditangani dokter jaga. Aku dan Dito menunggu di ruang tunggu dengan tubuh yang gemetar.

“Mama kenapa, Kak?” tanyanya, sambil menangis.

“Mama sakit. Doakan Mama, ya, Sayang,” bujukku, sambil merangkulnya, mencoba meredakan tangisnya.

Aku menghubungi Mama, memintanya untuk datang. Dan, tidak berapa lama, Mama muncul di pintu klinik. Wajah-nya tampak sangat cemas. Aku menceritakan apa yang terjadi. Ma-ma menebak bahwa Jeanny sedang berusaha menggugurkan kan-dungannya. Sama seperti yang kupikirkan.

Kemudian, seorang perawat menghampiri kami.

“Apakah Anda keluarga Ibu Jeanny?”

“Ya,” sahutku, cepat.

“Pasien mengalami perdarahan hebat. Keguguran. Kami perlu persetujuan untuk melakukan operasi.”

“Kami boleh melihatnya, Suster?”

Suster itu terdiam.

“Sebentar, saya tanyakan pada dokter dulu.”

Setelah menunggu beberapa saat, kami diperbolehkan melihat Jeanny. Kami dituntun ke sebuah kamar serba putih. Aku melihat, di atas tempat tidur itu tubuh Jeanny terbaring lemah. Ada dua selang disambungkan ke lengannya. Satu selang infus, dan satunya lagi selang transfusi darah.

Hatiku hancur melihat kondisinya.

“Kenapa kamu nekat, Jean?” aku berbisik pelan di dekat teli-nganya.

Tidak ada reaksi. Bibirnya pucat. Seperti menahan kesakitan yang lama dan tak terperikan.

Mama menitikkan air mata. Bagaimanapun juga, Mama sudah menganggap Jeanny seperti anaknya sendiri. Yang paling menyedihkan adalah Dito. Bocah 9 tahun itu tak tahu harus mengatakan apa, selain terus-menerus memanggil mamanya, sambil memegangi tangan satu-satunya orang yang dimilikinya di dunia ini.

Aku tak sanggup menahan air mata melihat pemandangan yang begitu mengharukan ini.

Jeanny membuka matanya perlahan. Saat melihat Mama, mata-nya berkaca-kaca, lalu air mata pun mengalir di pipinya.

“Tante...,” ucapnya, lirih.

Mama menggenggam tangan Jeanny.

“Tante sangat baik...,” ucapnya, pelan. Sepertinya, Jeanny berusaha keras agar matanya tetap terbuka.

“Jangan banyak bicara dulu, Jean. Kamu harus istirahat, biar cepat sembuh,” kata Mama, sambil berlinangan air mata.

“Tapi... aku ja... hat....”

Kalimat yang diucapkannya terpatah-patah.

“Apa maksud kamu, Jean?” Mama membelai kepalanya. “Bertahanlah, kamu pasti sembuh.”

“Bertahun-tahun... aku jadi o... rang kedua dalam... ru... mah... tang... ga... Tante,” ucapan Jeanny terdengar makin jelas, seolah ia ingin menyelesaikan kata-katanya.

Pandangan mata Jeanny kian redup. Cengkeraman tangannya pada tangan Mama kulihat makin kuat, seolah dia ingin mene-gaskan sesuatu. Sambil memandang kami berdua bergantian, Jeanny menghela napas.

“Dito mana?”

“Kamu mau bertemu Dito?” tanyaku, cepat.

Aku menoleh pada Dito yang ada di sebelahku, dan kusuruh dia mendekati mamanya.

Dito menatap Jeanny dengan tatapan yang cemas. Dia segera meraih tangan mamanya.

“Mama, Mama kenapa?” tanyanya, sambil menangis.

Jeanny memandang putranya dengan sedih. Lalu, matanya beralih pada Mama dan padaku.

“Tante, sa... ya... ti... tip... Dito....”

Aku dan Mama terkejut mendengar ucapannya itu. Firasat buruk segera menyelimuti pikiran kami. Apalagi, setelah itu, mata Jeanny terpejam. Rapat. Aku berteriak memanggil namanya. Namun, Jeanny tidak bereaksi. Mama juga panik dan segera menekan bel untuk memanggil suster. Perawat segera datang, disusul dokter. Kami lalu disuruh menunggu di luar.

Di depan kamar, aku dan Mama berpelukan sedih. Terbayang, hampir setahun yang lalu kami juga mengalami hal yang sama, ketika Papa dalam keadaan kritis.

Aku tiba-tiba tersadar, ketika melihat Dito menangis sendirian di sudut ruangan. Kami segera menghampirinya dan memeluk bocah malang itu.

Sekitar setengah jam kemudian, barulah dokter keluar dari ruangan. Melihat raut wajahnya yang penuh penyesalan, aku dan Mama tak mampu menahan tangis.

“Bagaimana, Dok?”

Dokter terdiam sebentar, seperti berusaha memikirkan kata-kata yang harus diucapkannya.

“Ibu, Mbak, kami sudah berusaha. Tapi, kondisinya sangat lemah akibat perdarahan yang dialami. Kami minta maaf, karena pasien tidak tertolong.”

Aku berteriak histeris.

Mama segera memeluk Dito, yang langsung menangis dengan keras. Dito sudah cukup besar untuk mengetahui apa yang te-ngah terjadi, tanpa perlu lagi dijelaskan. Tak dapat kugambarkan apa yang kami bertiga rasakan malam itu. Meski sebentar, Jeanny sempat menjadi kakak dan teman bagiku. Kini, kebahagiaan yang baru sebentar kami rasakan itu harus lenyap dalam sekejap.

Tiba-tiba aku menyesal karena tidak menahannya saat ia akan meninggalkan kafe sore tadi.

Saat pemakaman Jeanny di sebuah TPU di Jakarta Selatan, aku begitu nelangsa melihat begitu sedikit orang yang menga-n-tarnya ke peristirahatannya yang terakhir. Keputusan Jeanny untuk keluar dari pekerjaannya dulu sebagai wanita simpanan membuat dirinya benar-benar tidak memiliki siapa-siapa. Tak ada kawan, apalagi saudara yang datang di pemakamannya. Wilman pun tak tampak batang hidungnya.

Tapi, menurutku, lebih baik begitu. Kehadirannya hanya akan menambah luka di hati kami. Gunawan pun tak tampak. Kurasa, dia mengetahui apa yang menyebabkan Jeanny meninggal. Mung-kin, dia merasa tidak enak hati karena sahabatnya telah membuat Jeanny nekat menggugurkan kandungannya dan kemudian berakibat Jeanny kehilangan nyawanya.

Hanya ada aku, Mama, Dito, pembantu rumah tangganya, beberapa tetangga terdekat, serta beberapa orang pengurus masjid tempat dia disalatkan. Entah kebetulan atau tidak, Jeanny dimakam-kan tidak terlalu jauh dari makam Papa. Bagiku, ini memudahkan kami bila akan menziarahi Papa dan Jeanny. Mama juga setuju dengan pendapatku, meski aku melihat ada sesuatu di raut wajah-nya yang tak bisa kutebak.

Aku sungguh tak menyangka Mama justru memerlukan waktu lebih lama untuk menghilangkan kesedihannya karena ditinggal oleh Jeanny. Saat aku sudah kembali beraktivitas, Mama kulihat lebih banyak mengurung diri di kamar. Bila tidak berada di kamar, Mama mengunjungi Dito. Mungkin, Mama kasihan pada Dito, karena di usianya yang baru 9 tahun, ia sudah harus menjadi yatim piatu.



Penulis: Nurma



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?