Fiction
Titi Wangsa [9]

29 Mar 2012

<<< Cerita Sebelumnya

Waktu Sekarang
Waktu terasa berputar dengan cepat. Tiba-tiba saja jarum di arlojinya telah menunjukkan pukul 13.00 waktu Malaysia. Ia sudah terlambat setengah jam dari waktu yang dijanjikan untuk bertemu Alexandra. Sementara kereta monorail yang ditumpanginya seolah tak cukup kencang berlari mengejar sang waktu.

Semua ini gara-gara Keisha, wanita yang dilihatnya sedang asyik melihat-lihat jadwal penerbangan bersama seorang pria. Wanita yang sudah dua tahun ini mengenakan cincin pertunangan darinya. Gara-gara terlibat pertengkaran kecil dengan Keisha, Nicholas tertinggal kereta yang seharusnya dinaikinya. Terpaksa ia menunggu kereta berikutnya. Masih segar terbayang di ingatannya ekspresi keterkejutan di mata Keisha, saat Nicholas menghampiri dan menyapanya.

“Nicholas? Apa yang kau lakukan di sini?” desah Keisha.

“Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu!” balas Nicholas, seraya melirik pria di samping Keisha. Pria itu terlihat bergerak gelisah, merasa tak nyaman dengan situasi tersebut.

“Aku sedang liburan, sambil menunggu masa kuliahku mulai lagi,” jelas Keisha.

Well... well, sungguh mengejutkan! Tunanganku tengah menikmati libur musim panasnya di Malaysia dan ia sama sekali tak bercerita kepadaku! Nicholas membatin, sembari sibuk mengira-ngira, sudah berapa lama Keisha menjalin hubungan dengan pria tersebut. Namun, entah kenapa, ada perasaan lega dalam hatinya. Ternyata, bukan hanya dia yang menginginkan terlepas dari ikatan tersebut.

“Lantas, siapa dia?” tanyanya, tak dapat menyembunyikan rasa kesalnya, lantaran telah dibohongi Keisha.

“Dia….”

“Siapa dia, Keish? Pria iseng yang mengganggumu?” Pria di samping Keisha langsung maju.

Nicholas mengangkat bahu. “Kurasa, Andalah yang mengganggu kami berdua.”

“Sebentar, Lud!” ujar Keisha pada pria itu.

Keisha menyeret Nicholas menjauh. “Aku tidak bahagia dengan ini semua, Nicholas. Aku sudah punya pilihan sendiri, tapi Papa selalu memaksakan kehendaknya. Bisakah kita hentikan ini semua?” ujarnya, dengan mata penuh permohonan.

“Kita bicarakan masalah ini di Jakarta saja, oke? Masa liburan musim panasmu masih panjang, bukan? Kurasa kau masih sempat mampir sebentar ke Jakarta, sebelum kembali ke London.”

“Ya. Tapi, aku takut mengatakannya. Bagaimana dengan Papa dan Mama?”

Air mata terlihat menggenangi kedua matanya. Keisha sangat cantik, sebenarnya. Hati pria mana pun pasti akan luluh jika melihatnya, terutama jika ia menangis seperti itu.

“Jangan takut, Keish. Aku akan datang dan menjelaskan semuanya pada Papa, tanpa menyinggung insiden ini,” hibur Nicholas.

“Terima kasih, Nicky. Kau sangat baik. Kuharap, kau baik-baik saja dan segera menemukan pengganti yang lebih baik.”

“Terima kasih. Aku baik-baik saja, Keish. Jangan khawatirkan aku. Tapi, sekarang aku harus pergi, karena ada urusan yang sangat penting,” ujarnya tergesa, tiba-tiba ingat Alex yang pasti sudah gelisah menunggunya di Stasiun Titi Wangsa. “Selamat tinggal. Selamat bersenang-senang!”

Nicholas melambaikan tangan dan melompat masuk ke bus yang akan membawanya ke KL Sentral. Dari sana nanti, dia masih harus berganti kereta monorail menuju Stasiun Titi Wangsa untuk menjemput putri impiannya.
Dan sekarang, dia duduk sendiri di dalam kereta yang membelah hutan beton. Sibuk memikirkan Keisha dan Alexandra, dua wanita yang hadir mengisi hidupnya dengan cara yang sungguh sangat berbeda. Keisha selalu manja dan menuntut perhatian berlebih. Itulah yang membuatnya merasa sangat dibutuhkan oleh wanita itu. Sementara, Alexandra sangat mandiri, sedikit tak acuh dan dingin. Kadang-kadang, ia tak yakin apakah Alex menginginkan dan membutuhkan kehadirannya?

Namun, hatinya telah memilih Alex. Ia tak dapat mengingkari hati kecilnya. Ia tak bahagia bila sehari saja tak mendengar suara Alex atau menatap ekspresi wajahnya kala ia menjelaskan sesuatu dengan bersemangat.
Ia bisa saja berkilah bahwa Alex hanyalah batu sandungan kecil dalam hubungan percintaanya dengan Keisha. Namun, nyatanya itu tak benar. Berhari-hari ia berusaha melupakan Alex dan menepiskan Alex dari pikirannya. Tapi, makin ia menolak Alex, hati kecilnya makin tak bahagia. Ia membutuhkan Alex lebih dari apa pun di dunia ini.
Ya, hanya bersama Alex ia bisa bebas bercerita apa saja, kenyamanan yang selama ini tak pernah diperolehnya dari Keisha. Bersama Alex, ia seperti menemukan teman diskusi yang tepat. Buktinya, mereka selalu betah ngobrol berjam-jam dan seperti tak ada habis-habisnya topik yang mereka obrolkan. Seperti bendungan ambrol, obrolan mereka mengalir deras.

Kereta yang ditumpanginya telah sampai di Stasiun Titi Wangsa. Nicholas berdiri dan bersiap melompat turun. Pintu-pintu terbuka secara otomatis. Ia dan beberapa penumpang melompat turun. Tak berapa lama, pintu di belakangnya kembali menutup dan kereta itu bergerak pergi meninggalkannya.

Nicholas mencari sosok yang dicintainya. Di mana dia? Mungkinkah sudah terlambat baginya untuk mengungkapkan semua isi hatinya? Nicholas mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru stasiun. Dan... itu dia! Ia melihat kelebat tubuh Alex di antara tubuh para penumpang yang tengah berjalan menuruni tangga, menuju pintu keluar. Nicholas berlari secepat kakinya bisa melangkah.

“Alex!” ia berteriak, sambil melompati dua anak tangga sekaligus.

Oh, syukurlah, Alex mendengar teriakannya. Wanita itu menghenti-kan langkah dan menunggunya di ujung anak tangga, membiarkan o-rang-orang melewatinya.

Dengan satu lompatan, Nicholas mendarat tepat di depannya. “Oh, syukurlah aku bisa menemukanmu!” ujarnya, penuh rasa syukur.

Senang rasanya bisa melihat Alex kembali, sekalipun wajah cantik itu terlihat lelah dan marah.

“Kau terlambat 30 menit, Nicholas. Kupikir, kau tidak datang dan melupakan semuanya!”

“Bila aku sudah berjanji datang, maka aku pasti datang, Alex, sekalipun mungkin kau memintaku untuk menemuimu di ujung dunia sana! Maaf, aku terlambat. Aku sempat tertahan di bandara. Tapi, sekarang semua sudah beres.”

“Ada apa? Barang bawaanmu tertahan di bandara?” ada nada cemas di suara Alex.

“Oh, bukan itu. Masalah lain. Nanti saja aku ceritakan.”

“Baiklah. Aku sudah menemukan kedua arca itu. Tapi, aku tak bisa membawanya pulang, karena berada di luar kewenanganku. Kamu harus mengupayakan kerja sama dengan Polis Diraja Malaysia untuk mendapatkan kembali kedua arca itu. Oke?”

“Kurasa, itu bisa diatur, Tuan Putri!” kata Nicholas, mengangguk. “Sekarang, bagaimana dengan kita? Kau masih marah padaku?”

Alex mengangkat bahu. “Tergantung.”

“Tergantung apa?’

“Tergantung dari seberapa besar usahamu….”

“Apakah kedatanganku di sini, tepat di depanmu, bukan merupakan bukti bahwa aku sepenuh hati mencintaimu dan aku tidak membohongimu?” tanya Nicholas, seraya mengamati sepasang mata cokelat Alex. Sepasang mata yang dinaungi bulu mata lebat dan lentik. Sungguh sangat cantik!

“Itu saja tidak cukup, Nicholas. Kau harus membuktikan melalui tindakan dan usaha yang lebih keras lagi.”
“Baiklah. Bagaimana dengan ini?” Nicholas mengeluarkan kotak beledu dari saku jaketnya dan membukanya. “Maukah kau menerima cintaku, Alexandra?” ujarnya.

Alex terbelalak.
Tapi, reaksi yang ditunjukkan Alex, sungguh di luar dugaan Nicholas. Alex justru mengambil kotak itu dan menutupnya rapat-rapat. “Simpan benda ini, Nicholas. Aku tak butuh limpahan hadiah dan materi. Aku hanya ingin bukti berupa tindakan nyata!” ujarnya tegas, seraya mengangsurkan kembali kotak itu ke tangan Nicholas.
“Baiklah,” kata Nicholas. Heran, dia tidak sakit hati oleh kata-kata Alex. Mungkin, ia sudah terbiasa dengan keterusterangan Alex. “Sekarang, ke mana kita?” tanyanya riang.

“Cari makan dan sesudah itu, kembali ke Bukit Bintang, mencarikan penginapan untukmu. Nanti malam, kita bisa jalan-jalan, mengukur kaki lima sepanjang Bukit Bintang.”

“Sepertinya, kau sudah punya banyak rencana di kepalamu!” ledek Nicholas, sambil mengacak rambut Alex dengan gemas.

Alex tersenyum. Bergandengan tangan, mereka menuruni tangga menuju pintu keluar. “Kita pasti seperti sepasang arca Agastya dan Nandiswara, ya,” kata Nicholas tiba-tiba.

“Astaga… Nicholas!” Alex menghentikan langkah dan berbalik menatap Nicholas. Sepasang matanya menghujam tajam ke mata Nicholas. “Kau tentu tak berpikir Agastya dan Nandiswara sebagai sepasang kekasih, bukan? Sebab, Agastya adalah penyebar agama atau pendeta dan Nandiswara adalah penjaga pintu. Mereka bukan sepasang kekasih seperti Rama dan Shinta!” kata Alex, gemas.

“Oh, ya? Aku baru tahu sekarang! Kupikir mereka adalah sepasang kekasih seperti Rama dan Shinta!” ujar Nicholas, naif.

Alex menggeleng-gelengkan kepala, tak dapat menyembunyikan rasa gelinya. Mereka saling melempar tatapan yang penuh makna. (Tamat)

Penulis: Astrid Prihatini WD


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?