Fiction
Titi Wangsa [8]

29 Mar 2012

<<< Cerita Sebelumnya

Di tanah asing ini, Nicholas tak perlu takut bakal tersesat. Sebab, Alex sudah menjelaskan semua. Jadi, ia tak perlu bertanya ke sana-kemari. Dia tinggal mengikuti semua petunjuk Alex. Dari bandara internasional ia naik bus menuju KL Sentral. Dari sana nanti, ia harus berganti kereta monorail untuk menemui Alex di Stasiun Titi Wangsa. Ia hanya membawa tas ransel, sebab ia memang tak berniat berlama-lama di Kuala Lumpur. Ia hanya ingin menjemput dan meminang Alex.

Nicholas tersenyum. Pelan, meraba kotak terbungkus beludru lembut di saku kemejanya. Ia sudah mantap dengan keputusannya. Cincin ini akan menjadi bukti rasa cintanya pada Alex. Tetapi, tiba-tiba senyumnya raib dari wajahnya. Nicholas mengusap matanya berkali-kali. Ia tak yakin pada pengelihatannya sendiri. Tapi, sosok yang dilihatnya itu bukan fatamorgana.

Ia melangkah menghampiri sosok yang masih asyik melihat-lihat jadwal penerbangan itu.

Tiga jam sebelumnya…
Alex menghela napas, menikmati keindahan yang terbentang di depan matanya. Ketika kali pertama menginjakkan kaki di Kuala Lumpur dua tahun lalu, Alex langsung jatuh hati pada kota ini. Dan kini, dia kembali lagi. Bukan untuk liburan, melainkan untuk sebuah urusan menyangkut aset bangsa yang harus diselamatkan. Alex suka Kuala Lumpur karena kota ini sangat modern, namun tenang dan tak sepadat Jakarta.

Rasanya seperti berada di kota Solo, namun dalam versi yang lebih modern, pikir Alex.

Kereta monorail yang membawanya dari Stasiun Bukit Bintang menuju Stasiun Titi Wangsa, melaju tenang, nyaris tanpa suara. Boleh dibilang kereta lumayan sepi penumpang, mungkin karena bertepatan dengan jam kantoran. Tak tampak rombongan pekerja ataupun anak sekolah di dalam kereta. Hanya dia dan beberapa turis Jepang. Kereta terus bergerak, membelah belantara hutan beton.

Sesekali, dia dapat melihat menara kembar Petronas mengintip dari sela-sela gedung pencakar langit lainnya.
Alex menghela napas panjang. Kenangan tentang masa lalunya yang pahit, melintas lagi di benaknya. Seperti menara kembar Petronas yang selintas-selintas terlihat dari balik gedung-gedung pencakar langit lainnya itu, begitu juga kenangannya tentang pria itu. Pria yang pernah menorehkan sejumput luka di hatinya dua tahun lalu.
“Maafkan aku, Alex, aku tak bisa meneruskan hubungan ini. Karena terlalu banyak perbedaan di antara kita,” begitu ucapan pria itu.

Perbedaan yang menjadi alasan, padahal Alex tahu pasti wanita lainlah yang telah hadir mengusik kebersamaan mereka. Kini luka dan ketakutan terluka lagi itu, masih ada. Namun, Alex sadar, bila ia ingin menemukan cinta, maka ia tak boleh selalu terpaku pada masa lalu. Bila ingin menemukan cinta, maka dia harus menceburkan diri sepenuhnya ke dalam lautan cinta! Oh, lagi-lagi ia terpengaruh pemikiran Jalaluddin Rumi. Ia tersenyum sendiri.

Kereta sudah memasuki Stasiun Titi Wangsa. Alex berdiri, menepis remah-remah roti dari celana jinsnya, seperti menepis serpihan-serpihan kenangan yang menyakitkan dari hidupnya. Ia pun turun dengan mantap. Panas matahari langsung membakar kulitnya, saat ia melangkah menyusuri jalan untuk mencari alamat yang tertera di kertas yang dibawanya. Dia memperoleh alamat itu dari temannya, seorang wartawan harian Bernama Malaysia.
“Kamu coba datang saja ke toko milik teman saya ini. Dia bisa bantu kamu,” begitu pesan temannya itu lewat e-mail.

Setelah berjalan beberapa blok, plus berkali-kali berhenti untuk melihat peta, akhirnya ia menemukan toko yang dimaksud. Sebuah toko kecil, menyelip di antara bangunan-bangunan tinggi menjulang. Letaknya juga tak terlalu strategis, di dalam perkampungan padat penduduk. Tanpa ragu, ia langsung mendorong pintu yang menimbulkan bunyi bergemerincing. Agaknya, sang pemilik toko sengaja menempatkan lonceng di atas pintu masuk.

“Halo, ada orang?” sapa Alex dalam bahasa Inggris.

Sekilas, ia melihat benda-benda kuno yang dipajang di toko itu. Seorang pria tua tergopoh-gopoh keluar dari balik pintu hubung. Agaknya, toko ini punya dua ruangan.

“Ya, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya, dalam bahasa Inggris yang lumayan fasih.

Oh, syukurlah! Temannya di harian Bernama pernah bercerita bahwa orang Malaysia tak begitu fasih berbahasa Inggris. Mereka lebih suka mempergunakan bahasa Melayu. Tetapi, meski satu rumpun dengan Indonesia, bahasa Indonesia yang mereka pergunakan agak sulit dipahami oleh orang Indonesia.

“Saya Alexandra dari Indonesia,” kata Alex, sambil mengulurkan tangan.

“Oh! Alex! Ya… Tuan dari Bernama itu sudah bercerita tentang Anda. Ada yang bisa saya bantu?” jawab pria itu, sambil melompat ke sisi Alex dan mengambil sikap sebagai kurator, yang siap memberikan keterangan tentang benda-benda kuno tersebut.

“Saya dengar, Anda punya barang yang saya cari,” ujarnya singkat.

Mata pria itu langsung berbinar. “Wah, Anda punya selera yang bagus terhadap benda-benda kuno!”

Kemudian ia membimbing Alex ke salah satu sudut toko. Di situ berdiri patung Agastya. “Ini patung Agastya. Ia bentuk lain dari Siwa…,” pria itu nyerocos menjelaskan Arca Agastya yang terpajang di lemari pajangan.

Dalam mitologi Hindu, Agastya dianggap sebagai pendeta yang menyebarkan agama Hindu di India Selatan. Karena jasanya itulah, dia dianggap sebagai salah satu aspek dari Dewa Siwa Mahayogi. Bentuk arcanya, Agastya digambarkan berdiri, bertangan dua, dan berjanggut panjang. Dalam konstelasi arca pada candi Hindu, Agastya diletakkan pada salah satu sisi ruang candi utama. Ia seperti mendengar suara pegawai dari Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala yang bersemangat menjelaskan patung Agastya di Candi Prambanan beberapa waktu lalu.

Tapi, patung di toko itu, berbeda dari patung koleksi Museum Kota. Setidaknya, patung di toko itu punya badan, bukan hanya berwujud kepala, seperti benda yang hilang dari Museum Kota. Tetapi, bisa juga sama. Bisa saja, pencurinya memesankan tubuh patung itu kepada pemahat.

Pertanyaan Nicholas yang sangat naif kembali terngiang. “Kenapa hanya kepala Agastya dan Nandiswara yang dicuri dari Museum Kota?”

“Kamu tahu kenapa?” ulang Alex, melemparkan tatapan lembut kepada pria yang telah membuat hatinya meleleh itu.

Nicholas menggeleng.

“Kamu pernah pergi ke Candi Borobudur atau candi-candi lain di negeri ini? Coba amati, beberapa patung telah hilang kepalanya. Kenapa? Yang jelas, bukan karena kepala-kepala itu terlepas dan menggelinding entah ke mana.”

“Lantas, kenapa?” ulang Nicholas, naif.

“Karena, aspek yang paling penting dan berharga dari sebuah patung adalah…kepalanya. Itulah sebabnya, banyak arca di candi-candi Indonesia kehilangan kepalanya. Di masa penjajahan Belanda, pemerintah Belanda juga kerap menjadikan kepala patung-patung itu sebagai suvenir kepada negara sahabat. Maka, tak heran bila banyak pencuri yang hanya mengambil kepala patung. Mereka tak perlu susah-susah menggotong seluruh tubuh patung yang berat. Cukup kepala, sudah laku dijual,” jelas Alex panjang lebar.

Alex mengamati Arca Agastya dengan hati bertanya-tanya, kenapa seluruh orang menginginkannya? Apakah keistimewaannya, sehingga seluruh orang sepertinya rela melakukan apa saja untuk mendapatkannya? Sayangnya, ia tak dikaruniai bakat untuk menaksir keaslian patung itu yang diklaim berasal dari abad ke-7 SM. Sebab, bisa saja, arca Agastya itu buatan zaman sekarang.

“Bagaimana dengan Nandiswara? Anda punya?” tanya Alex.

Pria itu kembali manggut-manggut.

“Saya punya semua yang Anda inginkan, Nona. Sebenarnya, kedua patung ini sudah diminati orang. Tetapi, kelihatannya Anda berminat sekali dan sangat mengerti tentang patung-patung ini. Rasanya, saya lebih suka melepaskannya buat Anda, kalau harganya cocok,” ujar pria itu.

Alex menghela napas. “Sir, bisakah Anda menahan selama beberapa saat kedua patung itu untuk saya? Saya janji akan kembali lagi,” ujar Alex, mantap. Ia tak bisa memastikan apakah patung-patung di toko itu benar merupakan koleksi Museum Kota yang raib enam bulan lalu. Ia harus kembali ke tempat ini dengan ahli yang bisa menaksir dan petugas kepolisian, mungkin, untuk masalah penyitaan. Ia tak berani masuk terlalu dalam, karena sudah memasuki wilayah hukum antarnegara.

“Well, karena saya sudah kenal baik dengan tuan dari Bernama itu, bolehlah. Tapi, jangan terlalu lama. Sebab, banyak yang berminat.”

Alex mengangguk. “Saya janji secepatnya kembali ke sini! Saya tinggalkan ini dulu sebagai jaminan. Tapi, saya juga minta bukti penerimaan dari Anda. Oke?” Ia menyerahkan selembar cek. Pria itu mengangguk dan membuatkan kuitansi untuknya.

Ia melirik arlojinya. Sudah waktunya ia kembali ke Stasiun Titi Wangsa. “Terima kasih atas waktunya, Sir. Senang bertemu Anda,” ujarnya, seraya menjabat tangan pria itu.

Setengah berlari Alex meninggalkan toko itu menuju Stasiun Kereta Monorail Titi Wangsa. Panas matahari yang menyengat dan asap kendaraan, tak lagi dihiraukannya. Ia yakin Nicholas akan datang. Ia yakin Nicholas telah sampai pada satu keputusan. Sebab, ia tak ingin lagi dipermainkan. Bila Nicholas menginginkan dan mencintainya, maka dia harus menunjukkannya lewat perbuatan, bukan sekadar kata-kata tanpa makna.

Ia berlari melompati anak tangga menuju Stasiun Titi Wangsa.


Penulis: Astrid Prihatini WD


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?