Fiction
Tanggul Kali Bedog [7]

21 May 2012

<< cerita sebelumnya

“Dan aku berjalan ke arahmu. Mungkin, sejak kau melangkah memasuki pintu wartelku sore itu, sebelum aku sempat menyadari apa yang sesungguhnya terjadi padaku. Itulah yang paling aneh, Her. Karena, sesungguhnya saat itu aku merasa dalam keadaan paling bahagia, paling tidak kekurangan. Sampai kau masuk, dan aku berpikir tentang diriku sendiri dan semua yang telah terjadi. Aku tidak merasa kecewa, menyesal atau perasaan-perasaan lain sejenis itu. Aku hanya merasa…,” Ana berhenti, memikirkan istilah yang tepat untuk menggambarkan perasaannya.

“Kosong?” Heru membantunya.

“Kosong. Ya, itu benar. Kosong. Seakan ada tempat besar yang tak pernah kusadari keberadaannya menganga dalam diriku. Kau membuatku melihatnya. Dengan cara yang cukup menyakitkan. Sesungguhnya aku tak ingin mengakui tempat itu ada. Setidaknya, sebelum kau datang, aku tak tahu ada tempat semacam itu dalam diriku. Ketika aku tahu, aku tak bisa berhenti berusaha untuk mengisinya. Sebenarnya, aku ingin menimbuninya saja, kalau bisa, tapi ternyata tak bisa.” Dia menatap Heru yang berjarak satu kursi darinya. “Kau bilang, aku terbang padamu untuk bermigrasi.”

“Begitu juga aku.”

“Apakah seekor kupu-kupu tahu bahwa dia akan bermigrasi?”

“Aku rasa dia tahu begitu saatnya tiba. Tak ada yang lebih pasti daripada takdir itu. Semesta bergerak dan berjalan untuk memung­kinkan terwujudnya kepastian itu. Tak peduli bagaimana cara atau berapa lama pun waktu mesti menunggu. Sungguh, aku tak pernah mempersoalkannya.”

Bagi Ana, hal itu selalu menjadi soal. Di suatu tempat, jauh dalam dirinya, selalu ada kata mengapa menggapai-gapai. Dia sadar, logikanya belum bisa dengan damai menerima kenyataan bahwa dia jatuh cinta. Heru menariknya begitu saja. Dia jatuh dari zona tak bertuan (begitulah Ana menyebut hatinya) ke dimensi tak bernama. Pun begitu saja.

“Mengapa kau menyebutnya jatuh?” tanya Heru.

“Sebab, seperti banyak peristiwa jatuh lainnya, aku kehilangan orientasi dan kendali. Bahkan atas diriku sendiri.”

“Aku juga. Hanya aku merasa diriku melesat, dari satu fase pertumbuhan ke puncak piramida perkembangan. Kau tahu, dari se­ekor ulat, entah bagaimana dalam satu detik terbangun dan mendapati diriku telah jadi kupu-kupu. Di mana fase kepompongku? Mungkin aku telah melewatinya tanpa kusadari, entahlah, hari ini aku merasa jadi makhluk baru dan sempurna.”

“Itu tidak berarti jatuh cintamu lebih hebat dariku, bukan?”

“Aku merasa begitu,” sahut Heru.

“Tak mungkin,” bantah Ana. “Tak ada yang bisa jatuh cinta lebih hebat daripada wanita, apalagi jika dia bersuami dan punya anak. Dia memberikan lebih dari sekadar hati atau hidupnya.”

Heru tersenyum. Sebenarnya dia ingin sekali memegang tangan Ana dan mengucapkan terima kasih, sambil menatap matanya. Namun, kemungkinan bahwa setiap saat dapat muncul seseorang dari balik pintu kaca dan melihat keintiman mereka, selalu menjagakan kesadarannya. Cinta ternyata telah menjelma jadi barang mewah baginya. Pada saat bersamaan, secara ironis mencintai hanyalah rongsokan buruk yang harus rapat disimpan dari penglihatan orang agar tidak memalukan. Tapi, dia pun tahu bahaya. Demi Ana dengan segenap ketenteraman hidupnya, dia bersedia bersabar.

Sampai suatu batas yang dia sendiri tidak tahu.

Tak lama, suami Ana pulang. Itu berarti hilangnya saat-saat berharga, ketika berbincang di wartel, sambil saling memandang dan tersenyum lembut. Bukan sesuatu yang sangat spesifik. Ana bicara tentang lagu-lagu kesukaannya dan dia menceritakan penga­lamannya di sekolah. Dari saat ke saat dia bisa merasakan Ana makin dekat padanya dan dia pada Ana.

Segala sesuatu pada diri Ana menariknya dengan kekuatan yang sulit dia ungkap. Namun, ada yang lebih berarti daripada sekadar hasrat lahiriah. Heru menyebutnya kemurnian remaja. Memang, suatu ketika, saat cinta telah diletakkan dengan segala kehormatannya di seputar ranjang, adalah absurd, bahkan munafik, segala kemungkinan untuk memberi tempat bagi cinta di luar area kamar tidur. Ketulusan pun merosot jadi semacam hal yang gombal.

Heru memikirkan dirinya dan kesanggupannya bersabar. Itu adalah hal biasa saja baginya, seperti telah terbukti selama beberapa tahun terakhir ini. Sampai saat ini pun dia tetap pria penyabar. Meski, dalam batas-batas tertentu, dia tetap menyadari bekerjanya dorongan-dorongan naluriah dalam tubuhnya. Dia membayangkan hal itu, seperti kecenderungan sebagian serangga pada nyala api. Ana adalah cahaya yang telah menarik rama-rama malam seperti dirinya, dalam nyala yang melumatkan segala. Bukankah Ana pun ingin terlumat di dalamnya? Dia bisa merasakan jauh ke dalam diri Ana, menembus segala kegamangan dan rintangan.

Lalu, ada kalanya dorongan itu demikian kuat menyerbunya. Dia hanya manusia biasa. Pria yang sedang jatuh cinta.

Untuk pertama kali, sejak bertahun-tahun lalu, dia meninggalkan sekolah sebelum jam pelajaran usai. Kerinduannya tak tertahan. Ana menyambutnya dengan terkejut, khawatir, sekaligus senang. Heru berdiri di muka pintu, gelisah. Dia tersenyum gugup.

“Aku hanya ingin bertemu denganmu,” katanya, setengah berbisik. “Sudah lama sekali kita tak ketemu.”

“Kemarin lusa kau ke wartel,” Ana mengingatkan, sambil tersenyum. Dia mundur, memberi jalan Heru masuk ruang tamunya.

Heru menyelinap antara Ana dan pintu. Tangannya menggapai daun pintu, lalu mendorongnya pelan. Celah yang menghubungkan mereka dengan dunia luar menutup habis. Jendela ruang tamu Ana terbuat dari kaca gelap. Cahaya siang Januari yang mendung menyisakan penerangan sekadarnya. Tangan Heru terulur. Ana membiarkan dirinya jatuh, atau menjatuhkan diri, ke pelukannya.

Mereka berciuman. Dia terbawa arus ke suatu arah yang tak diketahuinya. Dia bisa merasakan bibir Heru, dan bibirnya sendiri, saling melumat dan menggapai. Dia seperti melihat sesuatu di kejauhan memanggil-manggil, dan dia tergagap-gagap ingin meraihnya. Heru merengkuhnya erat, dia menekankan badannya pada Heru, seakan ingin merasukinya. Tubuhnya meleleh. Ana melingkarkan lengan. Dia merasakan Heru tersengal di lehernya, menciumi, dan membisikkan sesuatu yang terdengar serupa bait-bait puisi.

Aku adalah gerimis bulan Oktober…

Jangan, Her. Dia mendengar suaranya menyelinap dari suatu tempat di kejauhan dengan suara asing yang tak dikenalnya. Jangan….

Heru merenggangkan pelukannya. Kedua lengan Ana masih menumpang di bahunya, tapi kepalanya menunduk, menghindari tatapan Heru. Sisa napasnya terlihat dari pundak yang bergelombang naik-turun tak teratur. Sesaat kemudian, barulah Ana menguasai diri. Ketika menjatuhkan diri di kursi dia tahu tubuhnya gemetar. Heru berlutut. Badannya juga gemetar.

“Ana….” Tak ada kata-kata lain yang sanggup diucapkan Heru.

Jangan sekarang, pikir Ana dengan benak berputar-putar. Tidak di sini. Tidak di rumah tempat ia menjadi istri dan ibu. Pikiran itu menembus kepala Ana bagai kabut beracun, yang malayang dari suatu tempat tak dikehendaki. Barangkali, kabut itu berasal dari lapisan debu di jok-jok kursi, yang telah melihat banyak kejadian di ruang ini, atau dari lipatan gorden jendela, yang sering mendengar gelak tawa anak-anaknya, lalu menembuskannya, serupa panah-panah kecil tak berbentuk yang membuatnya tercekat kesakitan.

“Kenapa kau melepaskan aku?” bisik Ana, lirih.

Aku tak ingin melepasnya, pikir Heru dalam kekalutan. Dira­pikannya kancing baju wanita itu.

“Aku belum siap…,” ucap Ana. Dia merasakan isak kecil mengintip di ujung kerongkongannya, ketika keinginan menggebu dalam dirinya tertahan dalam kegugupan yang menyakitkan.

“Aku tahu.”

“Tidak, mungkin kau tidak tahu,” Ana mengangkat wajah agar bisa memandangnya dengan mata yang berkabut. “Aku bukan tidak siap menerima dirimu. Aku menginginkannya sebesar keingin­anmu padaku. Kau pasti bisa merasakannya. Tapi, tidak sekarang. Jangan sekarang, Her. Tidak di sini. Ini rumahku. Rumahku bersama suami dan anak-anak. Aku tidak bisa mengkhianati mereka di tengah semua kenangan yang kami bangun bersama. Itu terlalu kejam. Maaf, aku pakai kata mengkhianati. Meski perasaanku padamu tak bisa diperdebatkan lagi, meski sebesar apa pun hakku atas perasaan dan diriku sendiri, itu tidak menghapus kenyataan, bahwa aku adalah seorang istri dan ibu.”

Heru tidak menyela. Ana bersyukur. Dia memperoleh kembali kekuatan yang sempat tercerai-berai dari dirinya, merasakan wajah kulitnya kembali bernapas. Namun, tangannya masih gemetar.

“Terima kasih kau berhenti. Meski jika kau paksa, aku tidak akan menolak. Tapi, aku takut. Takut pada semua hal di luar dirimu.”

Heru menghela napas. Diambilnya tangan Ana, “Aku mengerti.”

Ana menatapnya. “Tetapi, sampai kapan?”

“Aku telah lama bersabar untuk sampai padamu, Ana. Aku tak akan merusak semuanya untuk sebuah keinginan kecil tak terkendali.”

“Itu bukan keinginan kecil, Her.”

“Kau benar. Itu bukan keinginan kecil.” Heru tersenyum. “Aku menginginkan dirimu seluruhnya. Tak ada keraguan sedikit pun. Bahkan, andai aku harus membawamu, sambil berlari dan melawan seluruh dunia. Tapi, aku akan melakukannya hanya dengan izinmu. Karena, aku tak akan tahan melihatmu menangis atau menderita.”

Ana tersenyum. “Ada hal yang tak bisa dihindari, yang memaksa kita menyerah pada waktu untuk memutuskannya. Yang kutahu, waktu itu bukan sekarang dan tidak di sini. Terlalu berat untuk memutuskannya dalam satu helaan napas, Her. Aku masih membutuhkan sedikit waktu.”

“Kau akan mendapatkannya, sebanyak yang kau butuhkan.”

Ana masih mengingat percakapan mereka, selagi dia menyusuri jalan setapak berkerikil, yang menghubungkan bangunan utama tempat penerimaan tamu dan pondok-pondok kecil, yang terpencar di antara tanaman dan semak-semak bunga. Dia mengetahui tempat ini dari majalah. Dia pernah berpikir, alangkah senangnya melewatkan akhir pekan di sini hanya berdua suaminya. Soni menolak. Ana merasakan satu ironi, ketika mengusulkan tempat ini pada Heru. Namun, toh, dia tidak menyesalinya. Kini, sambil berjalan di antara semak hortensia yang basah oleh gerimis, dia merasa tempat ini indah sekali.

Dia meneliti dandanannya berkali-kali. Gaun yang dikenakannya berikut kardigan dan syal membuatnya tampak feminin dan hangat. Make up tipis saja, dengan lipstik warna merah muda dan parfum beraroma lembut, membungkus dirinya. Tatapan Heru saat menyambutnya membuat pipinya terasa panas, dan merasa kembali menjadi anak remaja di kencan pertamanya.

Heru tersenyum, tanpa kata-kata, mengungkapkan ketakjubannya. Dia bergerak selangkah ke samping, dan Ana mengayunkan kaki melewati ambang pintu. Sekilas Ana melihat sebuah ranjang yang masih tertutup bed cover, sepasang kursi dari anyaman eceng gondok berlapis busa tebal, yang mengapit sebuah meja pendek, serta jendela yang gordennya terbuka, memamerkan pemandangan taman tropis di lereng gunung dan langit abu-abu.
Entah kenapa dia teringat pada jemuran yang ditinggalkannya di rumah, dan makan siang yang disiapkannya buat Asa dan Johan. Dia memejamkan mata, mengusir ingatan itu. Didengarnya pintu menutup. Dia tahu Heru memandanginya dari belakang.

“Heru menghela napas. “Aku merasa seperti murid SMA lagi, untuk pertama kalinya mengajak wanita yang kucintai berkencan. Aku takut akan mengacaukan segalanya dan membuatmu kecewa. Jangan mengira pria kebal dari perasaan semacam itu.”

Ana tertawa kecil. “Aku tidak meragukanmu, Her.”

Heru berdiri di belakangnya. Ana merasakan kehangatan napasnya di tengkuknya. Sesaat dia ingat malam-malam yang dilaluinya dengan perasaan tersiksa, setelah suaminya memejamkan mata. Ia berbaring di samping pria yang menemaninya selama 14 tahun dan memberinya 2 anak, menangis diam-diam, merasa lemah, karena tak mampu mencegah hati dan badannya yang setengah mati merindukan pria lain.

Sering ia bangun dengan mata bengkak, dan dengan gugup mencari alasan sekenanya dari rasa ingin tahu Soni. Alasan itu kian hari kian tak meyakinkan. Setiap kali memikirkan hal itu, sesuatu meleleh dalam dirinya, seperti bongkahan es batu dalam gelas berisi sirop. Meleleh dan perlahan menghilang.

Ana ingin menanyakan soal itu pada Heru. Namun, saat bersamanya, semua kekhawatiran tak lagi ia rasakan. Tak ada yang perlu diingat, kecuali bahwa ia dan Heru saling mencintai, dan bahwa mereka telah begitu lama menunggu, untuk sampai pada saat ini.

Ia berbalik. Mereka berciuman. Sesaat Ana bisa merasakan kasur di bawah tubuhnya melesak ketika mereka berguling di atasnya.


Penulis: Wahyuni Sayekti Kinasih
Pemenang Pertama Sayembara Mengarang Cerber femina 2006



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?