Fiction
Tanggul Kali Bedog [6]

21 May 2012

<< cerita berikutnya

Migrasi kupu-kupu
Ada kejadian-kejadian yang tak ingin diingatnya, waktu-waktu yang tak hendak dikenang, nama-nama yang minta dilupakan. Lubang hitam itu menganga dalam dirinya, tak meloloskan sepercik cahaya pun, bahkan lama sesudahnya. Enam tahun cukup lama bagi kebanyakan pria. Baginya, jarak itu hampir tak ada. Hari ini dia tetap sama dengan kemarin, kemarinnya lagi, dan jauh sebelumnya. Meski begitu, bila sebatang pohon terlalu lama sembunyi dari matahari, dia akan mati. Pasti akan mati. Begitulah dia. Pria yang kesakitan, pohon yang tengah sekarat.

Heru tak melukiskan dirinya secara berlebihan. Sampai kemarin dia masih merasa kehidupan menjauhinya dan dia tengah bertanya-tanya, mengapa bisa bertahan sejauh ini dengan begitu sedikit alasan. Tentu dia harus bertahan, demi putrinya. Demi murid-muridnya yang ingin dia bagi sedikit rasa terima kasih. Demi orang tuanya. Lalu, demi dirinya sendiri? Heru bahkan tak peduli orang menyebutnya pria setia. Dia tak mengerti arti kata setia. Dia hanya tahu, sejak tiada Hesti, dirinya kosong sama sekali.

Lalu, pada suatu siang berawan di antara hari-hari yang penuh gerimis, hanya suatu hari yang tak tampak istimewa di antara ribuan hari yang telah dan akan silam, dia terdampar di tepian Kali Bedog, bersama wanita yang dikenalnya bernama Ana Murti. Sesuatu yang datang dari sekian belas tahun lalu, melewati masa-masa tak terdeteksi dan kemudian mengalir kembali padanya bersama arus Kali Bedog dan angin lengas bulan November.

Heru ingat perasaannya waktu itu. Sesuatu tentang rumah. Tentang ingatan yang nyaris musnah dari memorinya. Dan, katanya, dia datang untuk mencari pelangi.

Sekarang Heru bisa menggambarkan dengan cukup mudah setiap detailnya. Bagaimana angin mengibas roknya dan menerbangkan anak-anak rambut di keningnya. Ana tak mengenakan make up. Sandal jepitnya sudah tua, menopang sepasang kaki ramping yang terpetak jelas oleh jejak angin. Badannya segar.

Untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun, Heru mendapati dirinya berpikir tentang badan wanita. Wanita yang nyata. Entah bagaimana, kehangatan yang sederhana namun lembut, mulai bergerak mengisi dirinya. Dia bisa melihat bungkah-bungkah tanah retak yang pucat berdebu mulai melembap dan merapat oleh jatuhnya gerimis. Hanya sesuatu yang sederhana memang. Hujan di penghujung kemarau, yang senantiasa kembali menghidupkan tetumbuhan sekarat dan sungai-sungai kering di bukit-bukit tandus Pegunungan Kidul. Demikianlah alur-alur tua dalam dirinya mulai bernapas lagi.

Pada saat yang sama, secara naluriah, dia mengerti, Ana juga merasakannya. Dia tak dapat menjelaskan prosesnya. Namun, begitulah. Naluri dalam dirinya seakan tahu saat tangannya terulur, dan dari seberang sepasang tangan lain bergerak menyambutnya. Pada saat yang singkat itu mereka berdampingan, bergandengan, bersentuhan, saling mencari dan menautkan. Tidak perlu kata-kata. Bahkan tak perlu apa-apa. Hanya keheningan yang menyusul dan menenteramkan.

Dia tidak tahu apakah sebuah kisah mesti ada kelanjutannya? Mestinya, ada. Kini waktu bergulir begitu cepat dan dia tak bisa menghentikannya atau menemukan alur lain, kecuali jalan itu. Dalam keliaran yang menakutkan maupun detik-detik lambat penuh siksaan, persimpangannya tetap saja mengarah ke sana. Kembali ke tepian itu. Dia membiarkan dirinya terbawa. Begitu lama sudah kekosongan membunuhnya, hingga ia tak punya kesanggupan mati sekali lagi dan membiarkan cahaya berlalu begitu saja melewatinya.

Lantas, dengan keyakinan yang hanya dapat dimengerti olehnya sendiri, dia tahu, cepat atau lambat Ana akan mencari jalan kembali padanya.

Entah sudah berapa lama dia menunggu. Siang-siang dan sore-sore, baik yang mendung ataupun bergerimis, lewat. Dia tidak berusaha menipu diri dengan pura-pura mencari sesuatu di sungai. Hanya menunggu. Menunggu di tanggul Kali Bedog, tempatnya bertemu dan berbincang dengan Ana tempo hari. Sudah dua kali dia melihat pelangi melengkung di ujung barat. Seandainya saja Ana tahu.

Kadang, dia berpikir Ana memang tahu. Tapi, dengan alasan tertentu yang sepenuhnya dia pahami dan maklumi, sengaja tak menghiraukannya. Kadang, dia pulang dalam guyuran hujan, merunduk di sela-sela kilat dan guntur yang bersahutan. Namun, dalam kedinginan itu tak pernah terlintas dalam pikirannya suatu pe­nyesalan atau perasaan sia-sia. Dia sudah cukup lama menanti untuk sampai ke sini.

Lalu, suatu hari, penantiannya terbayar. Ana berdiri di depannya. Berekor kuda, dengan sandal jepit yang sama dan rok yang terkebas angin, seperti waktu itu juga. Heru tak bisa berbuat lain, kecuali tersenyum kepadanya.
Ana menyilangkan tangan ke dada, merasakan gigilan badannya. Dia juga menatap Heru. Matanya agak berkaca-kaca.

“Kau melewatkan dua pelangi,” ucap Heru, lembut.

“Aku... sebetulnya tak ingin ke sini,” kata Ana tergagap. Dia tak mampu menahan dirinya untuk tidak mengatakan hal itu, seakan itulah hal terpenting yang harus atau ingin diketahui Heru. “Aku sungguh-sungguh tak ingin.”

“Aku tahu.”

“Suamiku tak di rumah. Aku sudah mencoba memintanya tidak pergi. Aku selalu mengingat anak-anak. Aku menyibukkan diri dengan mereka. Aku bahkan minta ibuku datang dan menemaniku. Aku membaca semua buku nasihat perkawinan, melihat album pernikahan kami, foto-foto lama kami, mendengarkan kaset ceramah pengajian, dan semua hal yang memungkinkan aku tetap tinggal di rumah. Tapi, lihatlah, aku ada di sini.”

Ana merasa begitu tak berdaya hingga meleleh air matanya.

Itu juga aku tahu, pikir Heru. Itulah yang membuatnya bersabar melewati hari-hari penuh ketidakpastian di tanggul Kali Bedog ini. Dimasukkannya kedua tangannya ke saku celana, semata-mata karena keinginan tak terkendali untuk mengusap air yang mengaliri pipi Ana, tak hendak diturutinya.

“Tidak layak wanita baik-baik menyelinap menemui pria asing selagi suaminya pergi. Tak pantas seorang istri mencari pria yang bukan suaminya. Seumur hidup, itulah keyakinanku. Sampai detik ini pun masih kuyakini, sambil aku berdiri di depanmu dan merasa diriku bukan lagi wanita baik seperti yang kuingini selama ini. Tapi, aku tetap datang dan tetap mencarimu. Mengapa?”

Heru memandang ke dalam matanya. “Ada kupu-kupu yang terlahir di suatu perjalanan. Di suatu persinggahan dalam salah satu musim, di antara siklus panjang migrasi nenek moyang. Merekalah yang tinggal dalam gulungan dedaunan di hutan-hutan tak bernama, di tempat-tempat tak dikenal, menjadi mimpi baru, ketika generasi terdahulu berguguran sebelum sampai tujuan. Mengapa mereka terbangun dan tumbuh, mengisi diri dan memenuhi, mengepakkan sayap-sayapnya dan memaksa pergi ke arah yang tak pernah mereka kenal atau pelajari, persis seperti jutaan generasi terdahulu melewati waktu, menelusuri rute yang sama, musim yang sama dalam ritual yang sama, untuk tiba di tempat yang sama. Mengapa mereka melakukannya? Aku hanya perlu katakan, mereka mengikuti arus migrasinya, seperti kau dan aku menjalani migrasi hingga sampai di sini.”

Ana membalas tatapannya, tersenyum gemetar, lalu menyeka pipi dengan ujung jari. Dia tahu, akan begitulah jawaban Heru. Sejak pria itu memasuki wartelnya pada suatu senja bergerimis dan dengan begitu saja menerobos kehidupannya sekaligus pikiran dan hatinya, dia telah membuka diri untuk tahu segala yang perlu diketahui tentang Heru, tanpa merasa terkejut atau terganggu. Pada kenyataannya, pengetahuan itu muncul begitu saja dalam dirinya, seakan memang sudah tersedia dari mula dan sengaja menunggu waktu agar dia bisa berkata, ”Ah, aku telah mengenalmu, bahkan jauh sebelum kita sadar telah terdampar di pulau yang sama dan mengarungi lautan ruang dan waktu tanpa saling menyapa.”

Dia tak menginginkan jawaban lain, bahkan sama sekali tak memerlukan jawaban. Tak setiap pertanyaan selalu harus dijawab, tak semua kejadian memerlukan alasan.

Kini mereka bersisian, membincangkan migrasi kupu-kupu. Begitulah Heru menyebut kedatangan Ana padanya, di tanggul Kali Bedog, yang menderukan arus deras kecokelatan pada suatu sore berawan di awal bulan Desember.
Ana teringat tahun-tahun yang telah berlalu dan mimpi-mimpi yang terlupakan. Umurnya tiga lima. Istri dan ibu yang bahagia. Memandang pelangi dan merasa jatuh cinta lagi adalah kombinasi yang selayaknya jadi milik anak remajanya.

Dalam salah satu perbincangan, yaitu saat-saat Heru usai menelepon putrinya dan dia menggantikan Eni menjaga wartel, Ana pernah menyinggungnya. “Karena baru sekarang kita saling jatuh cinta, dan bukannya dulu, meski kita pernah saling mengenal?”

“Itu juga kupikirkan.”

“Kau tak akan pernah bisa menjawabnya,” kata Heru saat itu. “Cinta datang dalam dua puluh detik atau harus merenangi waktu begitu lama, sebelum sadar bahwa kita nyaris dilewatinya. Tak peduli sebahagia atau sesedih apa pun, bahkan andai kita tak menghendakinya. Rasanya, tak masuk akal. Tapi, kenyataan bukan sesuatu yang bisa diperdebatkan masuk akal atau tidak. Barangkali, itu karena akal kita terlalu kecil, jika dibandingkan keseluruhan alam ini, hingga tak sanggup menampung semuanya, betapapun kita bergerak lebih cepat dari putaran waktu dan mendobrak keterbatasan ruang. Kurasa, hanya hatilah yang sanggup menerima beban itu, dan yang menjawab pertanyaanmu tadi. Sangat personal.”

“Kau tidak menganggapnya sesuatu yang aneh.”

“Tidak. Memang tidak. Aku merasa kita ini seperti dua pejalan yang memulai dari tempat dan waktu berbeda, menempuh jalur berlainan. Tanpa tahu bahwa jalur itu akan menuju suatu titik persilangan, yang membuat kita bertemu dan ternyata memutuskan menempuh rute yang sama. Lewat perjalanan yang tak direncanakan, kita tiba di satu pintu dan sama-sama takut membukanya. Kita tak tahu ke mana pintu itu hendak menuju atau apa yang akan kita temui di baliknya. Aku tak merasa ini suatu yang aneh, hanya kejadian mendadak yang sedikit membingungkan. Lewat beberapa waktu, saat ini, tak ada lagi kebimbangan. Tidak sedikit pun. Aku telah membuka pintu untuk berjalan ke arahmu, Ana.”


Penulis: Wahyuni Sayekti Kinasih
Pemenang Pertama Sayembara Mengarang Cerber femina 2006



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?