Fiction
Tambatan Hati [6]

26 Mar 2012

<< Cerita Sebelumnya

“Maaf, kalau saya mengganggu. Wa Tia menyambut di teras depan.

“Ada apa?” Aku menyeruput kopi yang masih mengepulkan asap. Aliran hangat seketika menjalari tubuh, mengurangi dinginnya udara pagi. Pagi yang bernuansa biru dengan laut berselaput kabut. Seperti kelabu di mata Wa Tia.

“Saya kemungkinan berhenti kuliah.” Wajah Wa Tia berubah menjadi sendu.

“Kenapa?” tanyaku, kaget.

“Orang tua saya tidak akan membiayai kuliah, kalau saya tidak menikah dengan La Darumba secepatnya. Saya tidak punya uang untuk membayar semester depan. Hari ini adalah batas pembayaran. Saya bingung tidak bisa membayar. Lea, kalau boleh, aku mau pinjam uang.”

Aku termanggu. Sebetulnya, aku bisa saja menolong Wa Tia dengan uang dari tabungan. Namun, apakah itu adalah suatu penyelesaian?

“Kalau begitu, tunggu sebentar. Aku mandi dulu.” Entah mengapa aku tidak tega melihat mata bulat itu meredup.

Tidak berapa lama, kami sudah dalam perjalanan menuju kota. Duduk di jok belakang mobil kijang.

“Kalian mau diantar ke mana?” tanya Tante Liyan, dengan tatapan sedikit curiga.

“Wa Tia mengajakku melihat–lihat kampusnya. Tapi, aku mau mampir sebentar di bank.”

“La Gani, kita antar mereka dulu.”

Sebuah wartel berada tepat di sebelah bank. Aku melangkah masuk ke dalam sebuah bilik ATM. Sementara Wa Tia menunggu di depan wartel. Beberapa menit kemudian kami duduk di bangku panjang tepi laut tidak jauh dari wartel. Memandang kesibukan di sekitar. Kapal motor berseliweran membawa penumpang menyeberang pulau. Pegawai negeri, anak-anak sekolah dan mereka yang keluar pagi mencari rezeki.

Sekilas aku menoleh ke kanan-kiri, sebelum mengeluarkan lembar­an uang dari dalam dompet.

“Apakah ini cukup untuk membayar semester?” aku menyerahkan lima lembar uang seratus ribu.

Wa Tia menggigit bibir dan mengangguk. “Tapi, bagaimana saya bisa cepat mengganti uangmu? Kamu akan pulang beberapa hari lagi, ’kan?”

“Jangan dipikir. Aku hanya ingin membantu. Sungguh.” Aku mencoba meyakinkan, walau sebetulnya aku ragu. Mungkin ini hanya memanjakan egoku. Tidak sudi melihat ketidakberdayaan kaumku yang terpaksa menyerah atas kekuasaan pria. Uang adalah sebentuk perjuangan untuk melawan kesemena-menaan itu.

Tangan Wa Tia gemetar saat memasukkan uang ke dalam tasnya.

“Kenapa kamu mau menolong saya?” kata Wa Tia.

“Kamu adalah temanku.”

“Hanya karena itu?”

“Kenapa? Kamu tidak percaya? Aku cuma tidak ingin kamu sampai berhenti kuliah gara–gara menolak nafsu pria.”

“Hanya karena itu?”

“Ya! Kamu tidak percaya?”

“Maaf, saya… saya hanya tidak menyangka kamu bisa sangat baik. Kita belum lama berteman.”

Kami terdiam memandang ke laut lepas yang semarak oleh kapal motor aneka warna. Di antara mobil, motor, dan becak yang kian ramai memenuhi jalan.

“Lebih baik kamu sekarang ke kampus dan membayar uang semester itu.”

“Kamu bagaimana? Pulang dengan apa?”

Aku mengibas tangan. “Aku bisa pulang sendiri, kok.”

“Kamu bisa naik ojek sampai di rumah. Hanya tiga ribu. Jangan mau kalau diminta lebih.”

Ini pertama kali aku berjalan di kota Bau-Bau sendiri. Aku sempat mampir di wartel, menelepon Mama. Sekadar mendengar suaranya yang riang menyambut. Namun, yang membuatku senang adalah mengobrol dengan Dita, yang sangat antusias mendengar ceritaku. Aku bercerita mengenai La Radi yang menyebalkan. Seperti biasa, dia menasihati agar aku bisa membuka hati. Ya, tapi bukan untuk pria feodal itu!

Aku menebar pandang ke alam sekitar laut yang sibuk di lepas pagi. Melewati beberapa meja tempat penjual kasuami di tepi jalan. Makanan kegemaran Tante Liyan itu bagaikan gunung–gunung kecil di hamparan meja. Namun, aku lebih berminat pada sekelompok kue pastel hangat dengan saus sambal asam. Membelinya beberapa potong untuk mengemil di teras nanti.

Aku melangkah ringan menuju gerombolan ojek di persimpangan. Sebuah mobil hitam berpelat merah tiba-tiba mendekat.

“Lea! Kamu mau menumpang?” wajah seorang pria tersembul di jendela.

La Radi. Aku tergesa berjalan.

“Terima kasih. Aku sedang jalan–jalan.”

“Biar saya antar.”

“Tidak usah. Aku sudah lama tidak olahraga.”

Mobil itu menepi, kemudian berhenti di depanku. La Radi meloncat dari mobil dan setengah berlari ke arahku. Ia terlihat tegap berseragam lengkap. Rambutnya tersisir rapi dengan minyak rambut menyengat hidung.

“Kamu hendak jalan–jalan ke mana?”

“Iseng saja. Kamu tidak ke kantor?”

“Ya, sebentar lagi. Apa kamu tidak takut pulang sendiri?”

“Aku hanya perlu naik ojek dan bayar tiga ribu.” Tergesa aku berlalu. Meninggalkan pria itu termanggu di belakangku.

“Tadi pagi, kenapa kamu jalan–jalan sendiri? Ke mana Wa Tia?” tanya Tante Liyan, saat kami sudah melaju di jalan berhutan. Siang ini aku menemani Tante Liyan menemui dukun langganannya itu.

“Setelah melihat kampus, aku pulang, karena Wa Tia kuliah.”

Dasar bawel! Pasti La Radi mengadu pada Tante Liyan.

“Kenapa kamu tidak mau diantar pulang oleh La Radi?”

“Ah, Tante, aku mau jalan–jalan dulu. Lagi pula, dia harus segera berangkat kerja.”

Aku sempat melihat sekilas senyuman di bibir La Gani. Entah apa yang dipikirkannya. Apakah dia senang dengan perjodohan ini?

“Nanti malam La Radi mengundang kita makan malam di restoran Cina pinggir laut.”

Aku diam. Pandanganku tertuju pada rumah-rumah reyot sebuah perkampungan di luar jendela. Seharusnya mereka yang perlu dipikirkan Tante Liyan. Sebagai anggota dewan, tentu tugasnya adalah menyejahterakan masyarakat, bukan menjodohkan pejabat!

Dalam sebuah ruang berdinding papan, aku duduk berselonjor. Mengamati Tante Liyan yang serius berbicara pada bapak tua yang meringkuk di sudut. Sementara anaknya sibuk menerjemahkan. Mereka berbicara seputar orang–orang yang terlibat dalam pemilihan.

“Minum air ini untuk menjaga diri dari serangan orang-orang yang ingin bersaing.” Tangannya yang kehitaman menyodorkan sebotol air mineral.

Tante Liyan menyimpan botol itu ke dalam tas. Kemudian, menyisipkan selembar uang seratus ribu ke jemari keriput bapak tua, sembari berpamitan.

Aku menunduk, sambil mengaduk isi piring. Sejumput mi bersiram saus dengan potongan udang gemuk di atasnya. Hidangan lezat ini tidak lagi mengundang selera dengan kehadiran La Radi di sisiku.

“Kamu makan sedikit sekali. Biasanya kamu suka mi siram seafood,” kata Tante Liyan, memandang curiga.

“Apa kamu sakit?” kali ini La Radi bersuara.

Aku menggeleng. “Hanya sedikit mengantuk.”

“Kalau begitu, sebentar lagi kita pulang.” Tante Liyan mengelap bibirnya dengan serbet.

Ada perasaan bersalah. Sungguh, aku tidak ingin mengecewakan Tante Liyan. Namun, pria ini telanjur membuatku muak.

La Radi sekilas mengamati. Entah apa yang ada di benaknya. Mendadak aku teringat perkataan Tante Liyan mengenai tradisi masyarakat pulau ini, yang gemar memakai jasa dukun. Walau tidak terlalu percaya, hal itu membuatku berhati-hati dalam bertingkah laku. Tidak boleh berbuat kasar terhadap siapa pun di sini. Terlebih pada La Radi, yang memiliki banyak uang, sehingga bisa saja membayar dukun tercanggih daerah ini untuk mengirim guna-guna.

Ingatanku kembali pada peristiwa malam lalu. Suara benda jatuh menimpa atap membuatku teringat pula pada ucapan Dita. Bunyi semacam itu dianggapnya sebagai serangan gaib dari dukun santet. Aku langsung bergidik. Tetapi, kalau benar bunyi itu adalah santet, siapa yang diserang? Aku tidak merasa menyakiti La Radi. Belum...

“Lea, ayo, kita pulang.” Tante Liyan sudah berdiri di sisiku. Aku melihat La Radi berada di depan meja kasir.

Cerita Selanjutnya >>

Penulis: Athma


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?