Fiction
Tambatan Hati [3]

26 Mar 2012

<< Cerita Sebelumnya

Mobil meluncur di jalan mengilat terpantul terik mentari siang. Aku menyetir perlahan menuruni tebing menuju kota. Wa Tia di sebelahku tampak santai menikmati pemandangan.

“Enaknya kita ke mana?” aku memecah keheningan.

“Kalau kamu suka sejarah, di dekat sini ada rumah adat Buton.”

“Oke, kita ke sana. Arahnya ke mana?”

“Lurus saja, nanti di depan belok kiri.”

Memasuki gerbang rumah adat, mobil menanjak lambat melintasi pekarangan teduh yang rimbun pepohonan. Tampak rumah panggung bercat biru dari kayu yang besar menjulang. Seluruh bangunan terbuat dari kayu jati tua dan tebal bertingkat empat. Dikelilingi jendela–jendela besar berkisi kayu. Atapnya terbuat dari seng yang sudah rusak termakan karat.

Mobil terparkir di samping rumah, bernaung pohon. Sebelum masuk aku sempat memotret rumah itu dari berbagai sudut, kemudian menapaki tangga kayu besar menuju pintu depan yang terbuka lebar.

“Assalamu’alaikum,” sapa Wa Tia. Tidak ada sahutan.

Aku melongok ke dalam, tampak ruangan besar, seperti sebuah ruang tamu berkursi kayu model kuno. Angin menyerbu dari sela kisi jendela–jendela besar di sana.

Seorang wanita setengah baya sekonyong muncul. Berkulit hitam dengan rambut keriting, mengenakan kaus dan rok kembang usang.

“Saya antar teman dari Jakarta, mau melihat–lihat.”

Wa Tia melepas sandal, melangkah masuk.

Wanita itu menyingkir, membiarkan kami masuk. Wa Tia becerita tentang sejarah mengenai rumah adat bernama Malige ini. Rumah ini dahulu adalah istana Sultan Hamidi dengan tiga orang istri. Namun, istri pertamanya atau yang dikenal sebagai permaisuri, tinggal sendirian di istana kecil di atas bukit. Di sini kedua istri dan seluruh anaknya tinggal bersama dengan damai.

Di kamar tidur sultan terdapat dipan besar dari kayu jati kehitaman. Seperti sebuah boks bayi yang sangat luas. Ada pula ruang tempat menyimpan segala pernak–pernik kerajaan, seperti lemari kaca dan meja rias antik dari kayu. Yang menarik adalah jubah putih kusam yang tergantung dalam lemari itu. Jubah yang dipakai sultan kala pelantikan. Beberapa foto hitam putih berbingkai terpajang di dinding kayu. Termasuk foto sultan mengenakan jubah itu.

Menuju ke belakang terdapat sebuah teras sempit yang mengarah ke halaman samping. Di sana terdapat tangga kayu menuju paviliun di bawah, yang ternyata sebuah dapur. Terbayang betapa sibuknya tempat itu di masa lalu. Memasak untuk dua keluarga besar!

Aku dan Wa Tia mulai menapaki tangga kayu menuju lantai dua. Tampak sebuah ruangan besar menyeramkan. Agak gelap dan lembap, sedikit membuatku bergidik. Empat belas bilik berpintu kecil yang terdapat di sisi kanan-kiri ruangan, konon adalah kamar anak–anak sultan.

Berlanjut ke lantai tiga, kami kembali menapaki lantai kayu. Berbeda dari ruangan di lantai dua, ruangan di lantai ini lebih terang dan hangat. Sinar mentari masuk dari segala penjuru lewat kisi beberapa jendela besar. Aku mendekati jendela, melihat panorama pelabuhan kota Buton dengan alam bebukitan yang indah. Dalam ruang itu terdapat sebuah rak buku. Aku melihat deretan buku tua berdebu. Beberapa sudah rusak termakan rayap. Kebanyakan adalah novel berbahasa Jerman dan Inggris. Buku yang dahulu biasa dibaca anak-anak sultan sebelum tidur.

“Mari kita turun.”

Wa Tia mendadak meraih sebelah tanganku. Aku menurut, walau masih ingin melihat sisa lantai di atas. Perlahan kami turun dan melewati ruangan demi ruangan, hingga tiba di lantai bawah. Wanita penjaga rumah sudah menunggu.

“Sudah semua dilihat?” wanita itu mengamati kami.

“Ya, terima kasih. Sebentar lagi kami pulang. Agak seram di atas.”

“Memang rumah ini sudah tua dan banyak penghuninya.” Wanita itu tersenyum. “Banyak anggota keluarga sultan yang meninggal dan disemayamkan di sini. Kadang, ada yang bisa melihat mereka muncul.”

Sebetulnya, aku tidak terlalu percaya pada hantu. Namun, di lantai dua tadi aku merasa aneh.

“Tadi saya merasa ada yang mengawasi di atas,” kata Wa Tia, setelah kembali dalam mobil yang perlahan meninggalkan pelataran. Kuamati wajahnya yang terlihat tegang.

Sebetulnya aku pun merasakan keanehan itu di kamar anak–anak sultan, yang kebanyakan sudah meninggal. Jangan–jangan penjaga itu benar.

“Sekarang kita ke mana?”

“Kalau kamu mau, kita bisa melihat Keraton yang dikelilingi benteng zaman perang. Tapi, agak jauh, di atas bukit sana.”

Aku melirik jam tangan, sudah hampir setengah empat.

“Mungkin lain kali aja, takut terlalu sore. Sebentar lagi aku harus pulang, bersiap untuk pergi berenang.”

Tante Liyan sudah siap. Duduk menunggu di teras depan. Aku memarkir mobil di muka gerbang. Wa Tia bergegas turun dan sekilas melambai pada Tante, sebelum berjalan menuju rumahnya untuk mengambil perlengkapan renang.

La Gani membawa kami melaju di jalan panjang bersemak. Melintasi perkampungan nelayan dengan pemandangan bukit dan laut yang indah di sore cerah.

Tante Liyan duduk di depan, sesekali mengobrol dengan La Gani. Sementara Wa Tia terdiam di sisiku, memandang jendela. Entah apa yang dipikirnya, apakah dia sedang memikirkan kekasihnya? Usianya sudah kepala tiga, sama denganku. Sudah lumrah untuk menikah. Sungguh aneh, bila wanita daerah seumurnya masih lajang. Jangan–jangan kami senasib, selalu gagal saat berurusan dengan pria!

Cerita Selanjutnya >>

Penulis: Athma


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?