Fiction
Sunyi [9]

12 May 2012


“Ada apa, Nina?


Aku menoleh. Dokter Wisnu. Kulirik tubuh Ibu yang sedang diangkat dari kursi roda ke atas pembaringan. Lidahku membatu. Aku malu telah menyebabkan keributan ini. 

“Ibumu sudah tenang sekarang. Mari ikut saya.”

“Tapi, saya….”

“Saya cuma mau memberimu minum….”

Bagai kerbau dicucuk hidung, aku mengikuti langkahnya. Kupandang sekeliling ruangan dengan perasaan limbung. Dokter Wisnu memberi segelas air putih dingin. Ia memandangku, sambil tersenyum. “Ya, saya menyukai warna biru. Ruang kerja saya selalu berwarna biru. Karena, mengingatkan saya pada langit. Kalau kau, apa warna yang kau suka, Nina?”

“Hitam. Tapi, untuk ruangan tentunya tak hitam, ya?”

Ia mengangguk-angguk dan tertawa kecil. Senyap.

“Nina, bagaimana perasaanmu akhir-akhir ini?”

“Baik. Itu sebabnya saya datang. Ada yang ingin saya tanyakan pada Ibu. Mungkin, sudah terlambat, kalau melihat kondisinya.”

Dokter Wisnu memandangku dalam diam. Membuatku je­ngah. Kutarik napas berkali-kali, mencoba mengendalikan diri. “Saya, seperti yang dulu pernah saya ceritakan, saya tak pernah tahu tentang Ayah. Ah, bahkan saya tak tahu kapan terakhir bertemu dia. Saya bahkan kesulitan untuk mengingat wajahnya. Yang saya tahu, ia pergi. Mengapa ia pergi pun saya tak tahu?”

Aku tertunduk. Ada batu besar yang mengimpit dadaku. Tapi, tatapan lembutnya membuatku ingin menghancurkan batu itu dan menyingkirkan selamanya dari dadaku! “Saya lelah dipanggil anak berengsek seumur hidup oleh Ibu, tanpa tahu alasannya. Bayangan Ayah sudah begitu samar. Saya cuma dapat mengingat, waktu Ibu marah, Ibu sering mengusir saya agar ikut Ayah. Saya ketakutan setengah mati. Saya tak tahu siapa dia, di mana dia, lalu bagaimana saya dapat pergi dengannya?”

Mataku memanas. Kukuatkan diri untuk tak menangis. Kugigit bibir keras-keras. Bayangan Ibu yang menjambak rambutku dan menendangku keluar, mengusirku kalau ia mendadak kesal, berkelebat dan membuat kepalaku terasa berat. Mungkin, lebih baik aku amnesia saja!

“Saya hanya ingin tahu, di mana ia sekarang. Paling tidak, saya tahu, mengapa ia meninggalkan saya. Saya sudah tak punya martabat sejak saya dapat mengingat dunia, Dok. Saya merasa binatang peliharaan Ibu! Bisa seenaknya ia tendang atau pukul kalau kesal, dan tak bisa melawan karena ia adalah majikan yang memberi saya makan!”

Bau pil-pil obat kembali memenuhi kerongkonganku. Dokter Wisnu menghampiriku dan memberiku minum. Tapi, mengapa ia memelukku? Aku melepaskan pelukannya. Matanya basah? Ia menangis! Aku memandangnya dengan bingung.

“Maafkan saya, Nina, adikku…. Ya, Tuhan, aku tak pernah menyangka bahwa kau begitu menderita selama ini.”
Adikku? Aku tak salah dengar?

Ia menyusut matanya yang basah. Mengangguk pelan, seolah ia mengerti pertanyaan yang berkecamuk di hatiku saat ini. 

“Kita satu ayah, Nina. Dengar dulu penjelasanku.” Ia menggenggam tanganku, menguatkan kegamangan yang kurasakan. “Aku anak Bambang Suripto, ayah kita. Ibuku bernama Retno. Aku tak punya saudara lain, karena Ibu tak bisa punya anak lagi. Dulu, Lestari, ibumu, adalah bunga desa. Konon, banyak pria yang ingin jadi suaminya, termasuk ayah. Suatu saat, ia menghendaki ibumu menjadi istri mudanya. Tentu saja tanpa sepengetahuan ibuku. Tapi, ibumu menolak. Ayah khilaf, memperkosa ibumu.”

Aku terbelalak. Aku tak dapat memercayai cerita ini.

“Dokter bohong!” kutarik jemariku dari genggamannya. 

Ia mengembuskan napas berat dan memegang bahuku erat-erat. “Pandang mataku, Nina. Apa aku seperti sedang berbohong?”

Aku terpana. Ia terlihat terbebani dengan kisah yang dibawanya.

“Kakekku orang terpandang di kampung. Ayah bukan orang kaya saat mengawini ibuku. Jadi, Kakek amat marah mengetahui kejadian menggegerkan dan memalukan keluarganya itu. Menantu miskin tak tahu malu, begitu katanya. Lantas, ia menyuruh Ayah menceraikan ibuku. Sejak itu, aku pun kehilangan sosok Ayah. Ia ingin bertanggung jawab dengan menikahi ibumu. Ibumu menolak, karena ia sudah mempunyai kekasih. Tapi, belakangan ia menjadi depresi ketika dilecehkan, dihina, dan ditolak oleh kekasihnya. Sementara perutnya yang membesar, tak dapat ditutupi lagi.

“Namun, akhirnya Ayah bisa menikahi ibumu. Kabarnya, kakek dan nenekmu, juga Ayah, sampai harus memasung ibumu selama hamil, karena ia terus memukuli perutnya dan berusaha menggugurkan kandungannya. Maaf bila cerita ini menyakitimu.”

Tulangku lunglai. Tapi. sebagian dari jiwaku seakan bergairah mendengar rahasia hidupku terungkap.

“Setelah kau lahir, kau pun harus dijauhkan dari ibumu, karena semua orang takut ia akan mencekik bayinya sendiri. Tapi, rupanya Ayah benar-benar mencintai ibumu. Dengan sabar beliau merawatnya. Hingga beberapa bulan kemudian, ibumu mulai tenang. Kadang-kadang, aku sembunyi-sembunyi melewati rumah Ayah, melihatnya sedang menggendongmu. Aku cemburu, Nina. Aku kehilangan sosok yang memanjakanku selama sembilan tahun kehidupanku! Mungkin, karena tak tahan menjadi pergunjingan orang dan juga demi ketenangan jiwa ibumu, Ayah berniat membawamu dan ibumu ke kota.

”Aku masih ingat, suatu malam, Ayah memanggilku. Ia mengajakku ke rumahnya dan memperkenalkan aku pada ibumu, dan menuntunku ke kamar untuk melihatmu. Aku menyentuhmu saat bayi, Nina, mengelus-elus kepalamu, tanganmu, dan jemari kakimu yang mungil. Ada rasa hangat di hatiku yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Saat itu Ayah mengatakan bahwa ia hendak membawa kalian pergi dan menyuruhku untuk selalu mengingat bahwa beliau menyayangiku. Ia mengatakan, aku mempunyai seorang adik perempuan dan aku harus mencarinya kalau dewasa nanti. Aku memeluk Ayah, menangis tersedu-sedu, dan baru berhenti kala kau menangis. Tak dapat kulupakan pandangan ibumu saat itu. Matanya begitu dingin. Ia bahkan tak bergerak untuk menggendongmu saat kau menangis begitu keras.”

Setidaknya, kini aku tahu Ayah menyayangiku.

“Lalu, bagaimana Dokter dapat menemukanku?”

“Berhentilah memanggil aku Dokter, Nin. Aku kakakmu. Kakek membiayai kuliahku hingga selesai. Suatu saat ibuku sakit parah. Ia menyuruhku mencari tahu tentang keberadaan Ayah melalui pamanmu, Satrio. Pamanmu memang sudah menetap di Jakarta, tapi ia selalu pulang kampung saat Idul Fitri. Dari beliau aku tahu, Ayah rupanya putus asa dan sudah tak tahan lagi untuk tinggal bersama ibumu, yang makin sering mengamuk. Jadi, akhirnya ia meninggalkan kalian. Sejak itu, ibumu mencari nafkah sendiri. Entah menjahit atau berjualan makanan di pasar.”

Aku mengangguk. Sebenarnya, kini aku berbalik menjadi kagum pada Ibu. Dengan jiwanya yang labil, ia masih dapat menghidupi aku secara layak. Aku tak menyangka kisah hidupnya begitu pahit.
“Lalu, Ayah?”

“Ayah berubah jadi pemabuk sejak ia tinggal di Jakarta. Mungkin, karena tekanan hidup yang berat. Yang pasti, ibumu makin membencinya karena kebiasaannya itu. Ibumu makin sering kambuh amukannya. Lalu, Ayah jadi pemarah dan kadang-kadang memukul ibumu tanpa sadar. Maafkan aku, Nina, karena tak mencarimu lebih awal.”

                                                            cerita selanjutnya >>

Penulis: Inawati


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?